Teror Norwegia tak ayal lagi telah membongkar ‘penyakit’ media masa Barat selama ini. Profesor jurnalisme politik di City University London, Ivor Gaber menyebutnya dengan fenomena ‘kemalasan’ dan ‘kedengkian’. Malas karena media tidak lagi serius menjelaskan fungsi dasar jurnalistiknya 5w+H. Dengan cepat menuding pelakunya sebagai teroris Islam, jaringan Al Qaida, atau mualaf yang dicuci otaknya oleh teroris Islam. Tanpa melakukan investigasi yang mendalam.
Kemalasan itu pulalah yang membuat para jurnalis tidak lagi mencari tahu fakta sesungguhnya. Namun lebih suka ‘menelepon’ mereka yang selama ini dijuluki pakar teroris Islam atau sekadar pengamat teroris Islam. Yang celakanya, juga dihinggapi penyakit kemalasan yang sama. Sehingga kalau bicara pasti mengkaitkan pelakunya dengan teroris Islam.
Tentu saja, ditambah dengan bumbu-bumbu fakta-fakta teror masa lalu seperti serangan WTC, kelompok jaringan Al Qaida, hingga pemikiran yang mendorong pelaku seperti jihad dan ingin mendirikan negara Islam dan syariah Islam. Tanpa peduli apakah pelakunya punya hubungan atau tidak dengan semua itu.
Inilah yang membuat media massa seperti The Sun membuat headline-nya: Al Qaida Massacre: Norway 9/11. Jelas-jelas menuding pelakunya adalah Al Qaida. Editorial Wall Street Journal mengaitkan dengan kampanye jihad melawan Denmark akibat kartun yang menghina nabi. Washington Post tidak kalah konyolnya. Jennifer Rubin mengaitkan serangan ini jaringan internasional jihadis mulai dari kelompok Anshar Islam al Kurdi hingga cabang Al Qaida di Irak utara. Yang lebih memalukan lagi, tidak ada upaya media massa itu untuk mengkoreksi atau meminta maaf atas keliruan ini.
Sementara faktor ‘kedengkian’ tidak bisa dilepaskan dari menguatnya propaganda kebencian terhadap imigran asing terutama Muslim di Eropa dan Amerika saat ini. Xenophobia (ketakutan terhadap orang asing) maupun Islamophobia, telah mematikan nalar para jurnalis yang seharusnya jeli dalam mengungkap dan menyimpulkan fakta. Media kemudian mencari jalan pintas dengan mengikuti selera kedengkian yang populer di masyarakat.
Meningkatnya sentimen anti Islam (Islamophobia) di Eropa tampak dari kemenangan beberapa partai ultranasionalis yang dikenal anti imigran dan anti Islam di berbagai kawasan Eropa. Dalam berbagai pemilu di negara Eropa, partai-partai ekstrim itu ternyata cukup mendapat tempat. Geert Wilders – yang menyerukan untuk membakar setengah dari Alquran-sukses di parlemen Belanda, perlahan mendapatkan banyak suara. Jimmie Akeson dari partai Demokrat Swedia mendapat 20 suara di Swedia. Partai Nasional Inggris (BNP) dan Liga Pertahanan Inggris (EDL) Inggris juga memiliki pandangan yang sama.
Untuk mendapat legitimasi di parlemen, partai-partai ultranasionalis Eropa mulai dari Denmark, Norwegia, Belanda, Prancis, hingga Austria berencana untuk bersatu. Mereka pun berusaha mencari simpati dari kelompok garis Neo-Nazi dan kaum muda rasialis ‘skinhead’.
Xenophobia dan Islamophobia ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan negara Eropa yang menyudutkan Islam, seolah membenarkan pandangan kelompok ultranasionalis selama ini. Seperti larangan berkerudung dan Burga di Prancis, larangan pembangunan menara masjid. Sikap jaksa di Belanda yang justru membebaskan Wilders dari tuduhan menghina Islam, membuat Islamophobia semakin mendapat seolah dengan dukungan pengadilan.
Para politisi pun untuk kepentingan pragmatisme politik malah memberi angin terhadap kebencian ini. Pada bulan Februari 2011, Perdana Menteri Inggris David Cameron ketika berbicara pada sebuah konferensi keamanan di Munich, ia menyerang doktrin multikulturalisme dan mengaitkannya dengan seruan bagi umat Islam untuk bergaya hidup lebih kebarat-baratan. Pidato itu dipuji oleh pemimpin rasis Front Nasional Perancis, Marine Le Pen.
Pada Juli 2010 Komisi Eropa untuk Rasisme dan Intoleransi (ECRI) pada Juli 2010 telah memperingatkan bahaya ini. Laporan ECRI Januari-Desember 2009 yang memperlihatkan tren utama rasisme, diskriminasi rasial, xenophobia, anti-Semitisme dan intoleransi di Eropa. Salah satu temuan utama ECRI menggarisbawahi bahwa kaum Muslim adalah korban terbesar dari diskriminasi pekerjaan, penegakan hukum, perencanaan kota, imigrasi, dan pendidikan, serta pembatasan hukum tertentu yang diberlakukan baru-baru ini.
Tidak sedikit yang khawatir pandangan penuh kebencian ini akan memakan korban. Bukan hanya berupa pelecehan terhadap Muslim atau penyerangan mesjid. Dan ini kemudian terbukti. Anders Behring Breivik, pembenci Muslim, yang menganggapnya sebagai tentara perang salib, dan memiliki misi menyelamatkan orang-orang kristen Eropa, melakukan pembantaian yang korbannya justru warga Eropa ‘asli’ sendiri. Sesuatu yang membuat sedih para Muslim Eropa yang tidak menginginkan terjadinya pembunuhan pada siapapun. (Farid Wadjdi)