POLISI London sudah menerbitkan foto-foto tersangka pelaku penjarahan dan kerusuhan di situs foto Flickr. Sebagian besar foto tersangka yang dipasang adalah foto warga kulit hitam. Keberadaan warga Inggris berkulit hitam dalam kerusuhan di Manchester dan Birmingham juga sangat terlihat dari berbagai tayangan televisi. Mereka menjarah dan bentrok dengan polisi seraya membakar mobil.
Semua itu menyiratkan, kerusuhan yang meluas di Inggris saat ini dipicu oleh masalah ras. Namun, benarkah demikian?
”Kerusuhan ini terkait dengan ras. Mengapa hal ini diabaikan?” itulah yang ditulis Katharine Birbalsingh, seorang guru berkulit hitam di London, di The Telegraph online. Dia menekankan bahwa kerusuhan di London dan kemudian menyebar ke sejumlah kota tidak lain adalah soal ras.
Dalam acara temu polisi dengan siswa untuk menjelaskan kejahatan bersenjata, kata Birbalsingh, polisi menayangkan foto-foto tersangka, yang hampir seluruhnya orang kulit hitam.
Polisi kemudian menjelaskan, 80 persen pelaku kejahatan bersenjata di London berkulit hitam. Sisanya bukan orang kulit hitam, tetapi melibatkan orang berkulit hitam saat menjalankan aksi kejahatannya.
Dari statistik kasar itu seperti terlihat bahwa warga kulit hitam menjadi ”trouble maker” dalam masyarakat Inggris. Meski sudah banyak tokoh kulit hitam yang berusaha menepis kesan itu, stereotip orang kulit hitam terlibat kejahatan masih melekat di kalangan polisi, setidaknya di London.
Namun, setelah beberapa hari kerusuhan terus meluas sampai ke beberapa kota besar di luar London, tampak bahwa pelakunya sudah menyebar ke berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya warga kulit hitam, tetapi juga kelompok masyarakat Asia, bahkan penduduk kulit putih.
Aksi mereka kemudian menjadi ungkapan ketidakpuasan generasi muda Inggris terhadap pemerintah mereka sekarang. Para pemuda—yang mungkin pengangguran atau merasa tersingkir dari masyarakat—ini mengikuti ”pesta penjarahan”.
Rasa tidak puas remaja, yang disebut ”tidak lagi menghormati orang tua dan masyarakat”, ini semakin meluas, bahkan hingga ke kota-kota kecil seperti Gloucster, Bristol, Leicester, dan Wolverhampton.
Ketidakpuasan itu diperburuk oleh tingginya angka pengangguran, kurangnya peluang kerja, dan pemotongan tunjangan kesejahteraan rakyat akibat langkah penghematan pemerintah terkait krisis ekonomi Eropa.
Polisi dan Perdana Menteri David Cameron berkeras bahwa kerusuhan ini adalah tindak kriminal murni dan tidak memiliki konteks sosial-ekonomi. Namun, menurut Profesor John Pitts, kriminolog yang menjadi penasihat pemerintah lokal London, kerusuhan seperti yang terjadi saat ini adalah sebuah proses yang sangat kompleks dan tak bisa dijelaskan sekadar sebagai ”kriminalitas murni”.
Menurut Pitts, peristiwa ini harus dilihat dari sudut pandang rasa ketidakpuasan yang makin besar di masyarakat, terutama di kalangan anak muda, atas tingginya angka pengangguran anak muda, kesempatan memperoleh pendidikan, dan perbedaan penghasilan yang sangat mencolok di tengah masyarakat Inggris.
Menurut dia, sebagian besar perusuh berasal dari kantong- kantong kemiskinan, yang sudah tidak takut kehilangan apa pun. ”Mereka tak punya karier yang harus dipikirkan. Mereka bukan ’kita’. Mereka hidup di pinggiran, marah, kecewa, dan mampu berbuat sesuatu yang buruk,” tutur Pitts. (kompas.com, 11/8/2011)