Dana Otonomi Khusus sebesar Rp 28 triliun lebih telah digelontorkan untuk Papua. Namun anehnya indeks kehidupan masyarakat Papua tidak kunjung membaik. Tuntutan untuk memisahkan diri pun terus bergaung.
Apa yang terjadi dengan dana Otsus untuk Papua? Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan bulan April 2011 menemukan adanya dugaan penyelewengan dana Otsus Papua sebesar Rp 1,85 triliun.
Dana sebesar itu dipertanyakan, karena parkir dan tidak diketahui jelas pemanfaatannya dan didepositokan di beberapa bank nasional dan daerah. Padahal, seharusnya dana Otsus ini diperuntukkan bagi sejumlah program kesejehateraan rakyat Papua. Misalnya pendidikan dan kesehatan, bukan didepositokan di perbankan.
Rincian temuan BPK itu, pertama soal dana Rp 66 miliar pengeluaran dana Otsus tidak didukung bukti yang valid. Dalam pemeriksaan tahun 2010 dan 2011, ditemukan Rp 211 miliar tidak didukung bukti termasuk realisasi belanja untuk PT TV Mandiri Papua dari tahun 2006-2009 sebesar Rp 54 miliar tidak sesuai ketentuan.
Kemudian Rp 1,1 miliar pertanggungjawaban perjalanan dinas menggunakan tiket palsu. Serta temuan sebelumnya belum sepenuhnya ditindaklanjuti Rp 354 miliar.
Kedua, soal pengadaan barang dan jasa melalui dana Otsus senilai Rp 326 miliar tidak sesuai aturan. Antara lain, pertama Rp 5,3 miliar terjadi di Kota Jayapura tahun anggaran 2008 tidak melalui pelelangan umum. Kedua, pengadaan dipecah Rp 1.077.476.613 terjadi di Kabupaten Merauke tahun 2007 dan 2008. Ketiga, pengadaan tanpa adanya kontrak Rp 10 miliar yang terjadi di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, tahun anggaran 2009. Di samping itu terdapat temuan tahun 2002-2009 yang belum ditindaklanjuti Rp 309 miliar. Ketiga, dana Rp 29 miliar dana Otsus fiktif.
Dalam tahun anggaran 2010 terdapat Rp 22,8 miliar dana Otsus yang dicairkan tanpa ada kegiatan atau fiktif. Rincian kegiatan fiktif tersebut yakni detail engineering design PLTA Sungai Urumuka tahap tiga Rp 9,6 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua.
Kemudian, detail enginering design PLTA Sungai Mambrano tahap dua Rp 8,7 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Ketiga, studi potensi energi terbarukan di 11 Kabupaten Rp 3,1 miliar pada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua. Keempat, fasilitas sosialisasi anggota MRP periode 2010-2015, Rp 827,7 miliar pada Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Daerah tahun 2010. Sedangkan bagian tindak lanjut tahun sebelumnya Rp 6 miliar.
Lalu Rp 1,85 triliun dana Otsus periode 2008-2010, didepositokan. Dengan rincian Rp 1,25 triliun pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379012 per 20 November 2008. Rp 250 miliar pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379304 per 20 Mei 2009 dan Rp 350 miliar pada Bank Papua dengan no seri A09610 per 4 Januari 2010.
BPK menegaskan penempatan dana Otsus dalam bentuk deposito bertentangan dengan pasal 73 ayat 1 dan 2 Permendagri 13 tahun 2006. “Kegiatan fiktif tersebut akan sangat pasti menjadi persoalan hukum. Dana itu harusnya digunakan untuk program pendidikan dan kesehatan rakyat Papua,” tutur anggota BPK Rizal Djalil.
Kejanggalan ini pun memunculkan sejumlah isu mulai dugaan dana dikorupsi sejumlah pejabat daerah dan pusat. Bahkan isu makin liar menyebutkan dana itu ditabung untuk mendukung gerakan kemerdekaan Papua.
Maka perlu diperiksa lebih lanjut penggunaan dana otsus Papua apakah sudah sesuai untuk tujuan menyejahterakan rakyat atau belum. Juga harus diteliti apakah dana itu sampai atau tidak. “Jangan-jangan malah digunakan untuk memprovokasi gerakan revolusioner,” tuding Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Desk Papua dan Aceh DPR Priyo Budi Santoso.
M Ridha Saleh, Wakil Ketua Komnas HAM yang juga anggota Subkomisi Mediasi Komnas HAM, yang menangani masalah Papua, juga mempertanyakan penggunaan dana Otsus. Kasus serangkaian kerusuhan akhir-akhir ini menunjukkan masalah di Papua makin rumit. Pendekatan kemakmuran dengan memberikan dana otsus saja tak cukup.
“Masalah Papua bukan menggelontorkan dana besar di sana, tapi bagaimana menciptakan situasi yang adil dengan melibatkan tokoh-tokoh untuk berdialog,” ujar Ridha.
Namun dugaan miring itu dibantah Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Papua. Pendepositoan dana Otsus Rp 1,85 triliun di Bank Mandiri dan Bank Papua diklaim sudah sesuai ketentuan.
“Dana didepositokan karena Pemprov belum membutuhkan,” kata Kepala BPKAD Papua Achmad Hatari. Hatari lantas menepis tudingan BPK yang menilai penempatan dana sebagai deposito di Bank Mandiri dan Bank Papua itu sebagai sesuatu kebijakan yang menyalahi pasal 73, ayat 1 dan 2, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah.
“Mereka tidak melihat di pasal 71 ayat 1 dan 2 di Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Produk hukum ini adalah perubahan atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,” ujarnya.
Hatari juga membeberkan pendepositoan uang itu sudah diklarifikasi KPK pada November 2010 lalu yang diikuti oleh pihak BPK beberapa waktu sesudahnya. “Bahkan Dirjen Perimbangan Keuangan dari Depkeu tadi pagi, tanpa diberitahukan, mengklarifikasi bahwa penempatan dana dalam bentuk deposito itu ada dalam aturan,” terang dia.
Menyinggung soal sah tidaknya penunjukan Bank Mandiri sebagai pemegang kas, Hatari mengatakan UU juga memungkinkan hal itu.
Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengingatkan menjaga persatuan bangsa memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Urusan persatuan bangsa kadang harus mengesampingkan inefisiensi biaya.
“Ada kalanya sedikit inefisiensi dalam pemerintahan adalah biaya yang harus kita pikul demi menjaga persatuan,” tegas Juwono pada detik+. (detiknews.com, 12/8/2011)