Hukum Seputar I’tikaf

I’tikaf berasal dari kata ‘akafa–ya’kufu wa ya’kifu–‘akf[an] wa ‘ukûf[an]. I’tikaf secara bahasa artinya al-lubtsu wa al-habsu wa al-mulâzamah (diam, menahan adiri dan menetapi) (Imam an-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, kitab al-I’tikâf). I’tikaf juga berarti, luzûm asy-syay’i wa iqbâl ‘alayh (menetapi sesuatu dan menghadap padanya) (Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha; Muhammad ibn Abi al-Fatah al-Ba’li, al-Muthalli’).

Jadi, secara bahasa i’tikaf adalah luzûm asy-syay’i wa al-ihtibâs fîhi (menetapi sesuatu dan menahan diri di dalamnya), yaitu tidak menyibukkan diri dengan yang lain.

Kata ‘akafa dan bentukannya itu dinyatakan di dalam al-Quran sembilan kali. Tujuh kali di antaranya dalam makna bahasanya itu, yaitu QS al-A’raf [7]: 138; Thaha [20]: 91, 97; al-Anbiya’ [21]: 52; al-Hajj [22]: 25; asy-Syu’ara [26]: 71; dan al-Fath [48]: 25. Dua kali dalam makna syar’i-nya yaitu di QS al-Baqarah [2]: 125 dan 187.

Adapun secara syar’i, i’tikaf adalah al-lubtsu fî al-masjid muddat[an] ‘alâ shifah makhshûshah ma’a niyyah at-taqarrub ilalLâh (diam di masjidk selama jangka waktu tertentu dalam kondisi yang spesifik disertai niat taqarrub kepada Allah SWT (Syaikh Mahmud bin Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jâmi’ li Ahkâm ash-Shiyâm).


Beberapa Hukum Tentang I’tikaf

I’tikaf merupakan ibadah sunnah. Aisyah ra. menuturkan:

أَنَّ النَّبِىَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi saw. ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau ber-i’tikaf sepeninggal beliau (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad).


Bahkan saat Nabi saw. tidak bisa ber-i’tikaf karena melakukan safar selama Ramadhan, beliau ber-i’tikaf selama dua puluh hari pada Ramadhan berikutnya. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf merupakan taqarrub, yakni ibadah. Ibadah itu bisa fardhu atau sunnah. I’tikaf adalah ibadah sunnah. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasulullah saw. bersabda, “Aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertama mencari malam ini (Lailatul Qadar). Lalu aku ber-i’tikaf sepuluh hari pertengahan. Kemudian aku didatangi dan dikatakan kepadaku bahwa itu di sepuluh hari terakhir. Karena itu, siapa di antara kalian yang suka (mau) ber-i’tikaf hendaklah ia ber-i’tikaf.” Abu Said berkata, “Lalu orang-orang ber-i’tikaf bersama beliau.” (HR Muslim, al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Malik).

Rasul saw menyandarkan pelaksanaan i’tikaf itu kepada kesukaan (kemauan) orang-orang. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf hukumnya sunah. Sebab jika wajib, niscaya tidak akan disandarkan pada kemauan orang.

I’tikaf dilakukan di masjid. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, di masjid manapun seorang Muslim boleh ber-i’tikaf. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 187)

Selain itu banyak hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw. ber-i’tikaf hanya di masjid. Abu Said al-Khudzri menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda, “Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, tetapi aku dilupakan (waktu persisnya). Karena itu, carilah di sepuluh hari terakhir pada malam ganjil. Aku diperlihatkan bahwa aku sujud di atas air dan tanah. Maka dari itu, siapa saja yang telah ber-i’tikaf bersama Rasulullah saw. hendaklah kembali (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).

Jika i’tikaf itu tidak harus di masjid, niscaya Nabi saw. tidak menyuruh para Sahabat untuk kembali ke masjid. Semua ini menunjukkan bahwa tempat i’tikaf itu di masjid. Kata al-masâjid atau al-masjid dalam hadis-hadis tentang i’tikaf merupakan kata umum, dan tidak ada nas yang mengkhususkan masjid tertentu saja. Karena itu, i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja, selama itu adalah masjid.


Waktu I’tikaf

Tentang waktu untuk ber-i’tikaf, tidak ada nas yang membatasi waktunya. Waktu untuk i’tikaf itu adalah sepanjang tahun, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. ‘Aisyah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah ber-i’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal, yakni di akhir Syawal (riwayat al-Bukhari), atau awal Syawal (riwayat Muslim). Umar ra. pernah bercerita kepada Nabi ra. bahwa ia pernah ber-nadzar semasa Jahiliah untuk ber-i’tikaf semalam di Masjid al-Haram. Nabi saw. lalu bersabda, “Penuhi nadzar-mu!” (HR al-Bukhari). Di sini Nabi saw. tidak membatasi waktunya, artinya i’tikaf boleh malam apa saja sepanjang tahun. Memang, Nabi saw. mendawamkan ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Itu sekadar menunjukkan keutamaannya. I’tikaf sendiri sah dilakukan kapan saja sepanjang tahun, hanya saja di bulan Ramadhan itu lebih utama, dan yang paling utama adalah di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar. Karena itu, hendaknya seorang Muslim bersungguh-sungguh untuk bisa ber-i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama untuk mencari keutamaan Lailatul Qadar.

Nabi saw. pernah ber-i’tikaf di bulan Syawal, dan itu bukan bulam puasa. Nabi saw. juga hanya menyuruh Umar ra. agar memenuhi nadzar i’tikaf-nya tanpa menyebutkan harus berpuasa. Jadi, shaum bukan syarat i’tikaf.

I’tikaf juga boleh dimulai kapan saja. Tidak ada nas yang menentukan waktu untuk memulai i’tikaf. Memang ada penuturan Aisyah ra., “Rasulullah saw., jika ingin ber-i’tikaf, menunaikan shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf beliau.” (HR Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad). Hadis ini hanya menjelaskan fakta i’tikaf yang dilakukan Nabi saw. Di dalamnya tidak ada penentuan waktu; juga tidak ada larangan untuk memulai i’tikaf di waktu lainnya.

Tentang berapa lama waktu i’tikaf, tidak ada nas yang menentukan batasan jangka waktunya. Karena itu, lamanya ber-i’tikaf kembali pada kemutlakannya. Untuk batas maksimalnya, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimal jangka waktu i’tikaf. Sedangkan untuk batas minimal, maka batas minimalnya, adalah jangka waktu yang bisa disebut al-labtsu (diam). Imam asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq ibn Rahuwaih mengatakan, bahwa minimal adalah apa yang disebut al-labtsu (diam) dan tidak disyaratkan duduk. Abdurrazaq meriwayatkan, Ya’la bin Umayyah ra.—seorang Sahabat—berkata, “Mari pergi bersama kami ke masjid lalu kita beri’tikaf di dalamnya sesaat.


Aktifitas Selama I’tikaf

Saat seseorang ber-i’tikaf, ia boleh keluar dari masjid untuk melakukan sesuatu yang harus dan mendesak dia lakukan saat itu dan hal itu tidak membatalkan i’tikaf-nya. Itu ada dua. Pertama, untuk melakukan kewajiban yang tidak bisa ditunda di waktu lain. Kedua, untuk memenuhi keperluannya sebagai manusia seperti mandi, buang hajat, muntah; mengambil makanan jika tidak ada yang mengantarkan kepadanya; mengambil selimut, mengambil kipas ketika kegerahan; dsb; atau sesuatu yang mendesak harus dia lakukan seperti anaknya sakit dan harus dibawa ke dokter/RS. Dalam kondisi demikian sang mu’takif boleh keluar dan mengantarkan anaknya ke dokter/RS, atau yang semisalnya. Semua itu boleh dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bias kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa harus berniat kembali. Adapun hal-hal sunnah atau tidak mendesak dan bisa ditunda di waktu lain, maka jika ia keluar dari masjid untuk melakukannya, i’tikaf-nya batal atau terputus.

Saat ber-i’tikaf di masjid itu, semua hal yang dilarang dilakukan di dalam masjid, juga dilarang dilakukan oleh sang mu’takif dan tidak membatalkan i’tikaf-nya. Setelah melakukan semua itu, ia bisa kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikaf-nya tanpa mempengaruhi i’tikaf-nya.


I’tikaf
Wanita

Wanita sah ber-i’tikaf. Tempatnya adalah di masjid, terpisah dari laki-laki. Jika ia bersuami, maka i’tikaf-nya harus atas izin suaminya. Ia boleh ber-i’tikaf bersama suaminya ataupun tidak, asal i’tikaf-nya itu atas izin suaminya. Namun, ia tidak boleh ber-i’tikaf, jika dia punya suami atau anak yang masih kecil yang tidak ada yang merawat/melayani mereka, sebab hal itu adalah wajib bagi dirinya, sementara i’tikaf adalah sunnah. Jika keduanya berbenturan, yang wajib tentu harus dikedepankan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*