Biro Investigasi Federal (FBI) memperbarui mekanisme perekrutan informan dan penanaman mereka di masjid-masjid untuk memata-matai kaum Muslim Amerika, setelah FBI mencapai puncak ancaman pada tahun 2009, ketika lebih dari tiga puluh organisasi Muslim dan hak asasi manusia mengancam untuk menghentikan kontak dan berurusan dengan FBI.
Beberapa laporan membenarkan tingginya jumlah informan yang direkrut untuk bekerja pada FBI, yaitu tiga kali lebih tinggi daripada 25 tahun yang lalu. Hal ini dianggap sebagai terobosan dalam aktivitas Biro Federal yang setelah serangan 11 September 2001 mendapat misi tambahan yaitu memerangi terorisme, di samping misi memerangi kejahatan terorganisasi dan penyelundupan obat-oabatan terlarang.
Menurut beberapa pengacara dan pengamat laporan peradilan yang berkaitan dengan kegiatan teroris, bahwa ada peningkatan jumlah informan, yang diperkirakan lebih dari 15 ribu, berasal dari berbagai komunitas, dengan tugas memantau masyarakat Muslim, kegiatannya, serta pusat dan program-program keagamaannya.
Mereka yang direkrut tidak hanya bertugas sebagi informan dan agen FBI yang menyamar untuk memata-matai dan mengawasi, tetapi juga untuk menghasut dan mendorong masyarakat agar terlibat dalam operasi fiktif, untuk menguji loyalitasnya dalam upaya membongkar sumber atau orang yang terlibat dalam berbagai kegiatan ilegal.
Dalam konteks ini, para aktivis dan pekerja organisasi hak asasi manusia dan hak-hak sipil mempertanyakan “legitimasi” pembuatan perangkap dan pemanfaatan warga, terutama karena banyak dari penyelidikan menunjukkan bahwa informan memilih para korbannya dari kelas-kelas miskin, dan berpendidikan rendah yang tidak tahu tentang Islam selain dasar-dasarnya saja, itupun tidak sempurna. Hal ini terungkap dari apa yang biasa disebut “sel teroris”.
Berbagai organisasi dan lembaga hak asasi manusia mengklaim bahwa operasi perekrutan informan telah melanggar undang-undang kebebasan sipil, serta menargetkan kaum Muslim Amerika dan kaum Muslim yang tinggal di Amerika Serikat karena alasan agama mereka. Dan hal ini, sungguh sangat telanjang bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat.
Meskipun FBI secara teratur membantah telah merekrut para informan, atau menugaskan agen rahasia untuk memantau masjid-masjid, namun para pejabat di kantor mengakui bahwa mereka berkali-kali “mengawasi individu tertentu dalam masjid.” Sebagaimana mereka mengakui bahwa mereka membantu para informan dan membatalkan pendeportasian beberapa dari mereka, yang namanya masuk dalam daftar deportasi.
Telah beredar di berbagai media kisah warga India, Arvinder Singh yang direkrut oleh FBI setelah serangan 11 September. Singh diperintah untuk “mengunjungi sejumlah masjid, dan memata-matai kaum Muslim,” demikian menurut pengacaranya yang mengatakan kepada media.
Gelombang kampanye politik dan media selalu menempatkan masjid-masjid dan kaum Muslim Amerika yang jumlahnya tidak mencapai 1% dari total populasi sebagai ancaman keamanan. Dalam beberapa dengar pendapat yang dilakukan oleh Kongres terkait masalah ini, terlihat jelas bahwa salah satu Ketua Komite Keamanan dalam Negeri di Kongres, wakil dari partai Republik Rep Peter King berkata: “Di Amerika Serikat ada banyak sekali masjid.” Kemudian ia mengklaim bahwa 85% dari masjid-masjid itu dukuasai oleh “kelompok ekstremis” (islammemo.cc, 24/8/2011).