KH Drs. Hafidz Abdurrahman, MA: Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Membutuhkan Khilafah

Pengantar:

Alhamdulillah, tahun ini mayoritas kaum Muslim di seluruh dunia—kecuali hanya segelintir orang—mengawali Ramadhan serentak pada hari dan tanggal yang sama. Kita berharap tahun ini kaum Muslim juga mengakhiri Ramadhan dan merayakan Idul Fitri pada hari dan tanggal yang sama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan pada tahun-tahun yang akan datang, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sering muncul perbedaan di tengah-tengah kaum Muslim mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan. Mengapa perbedaan itu kerap terjadi? Apa faktor penyebabnya? Adakah ini murni semata-mata alasan fiqhiyah yang ditoleransi? Ataukah ada alasan lain? Mungkinkah perbedaan ini disatukan? Jika mungkin, bagaimana caranya? Itulah beberapa pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) KH Hafidz Abdurrahman, MA. Berikut petikan wawancaranya.


Kadang terjadi perbedaan di tengah kaum Muslim tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Mengapa bisa terjadi perbedaan itu?

Perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan ini bisa terjadi karena tiga faktor: faktor astronomi, fikih dan faktor politik. Dari ketiga faktor ini, faktor politiklah sebenarnya yang paling dominan. Sebagai contoh, ketika pemerintah Yaman mengumumkan hilal tanggal 7/12/1999 sehingga 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 8/12/1999, pemerintah Arab Saudi tidak mau mengikuti mereka sehingga menetapkan 1 Ramadhan di Arab Saudi jatuh pada tanggal 9/12/1999. Padahal dari segi jarak, Yaman dan Saudi adalah dua wilayah yang berdekatan.

Sebagian bersandar pada perhitungan atau hisab baik hisab astronomis ataupun perhitungan dengan teori lainnya. Apa yang menjadi argumentasi mereka?

Mereka yang berpatokan pada hisab (perhitungan bulan/matahari) bersandar pada sabda Nabi saw. yang menyatakan: Fain ghumma ‘alaykum faqduru lahu (Jika mendung menutupi pandangan kalian maka hitunglah bilangan bulan tersebut) (HR Muslim, an-Nasa’i dan Ibn Majjah). Ibn al-‘Arabi menyatakan, bahwa dalam memahami maksud faqduru lahu (hitunglah bilangan bulan tersebut) ada dua pandangan. Pertama: melakukan perhitungan terhadap bulan/matahari. Kedua: menghitung jumlah hari (menggenapkan hitungan hari).

Bagaimana yang lain bersandar pada rukyat, apa yang menjadi argumentasi mereka?

Argumentasi yang bersandar pada rukyat adalah hadis Nabi saw.: Shumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi (Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berhari rayalah kalian karena melihat hilal) (HR Muttafaq ‘Alaih). Bagi mereka, konotasi faqduru lahu (hitunglah bilangan bulan tersebut) juga jelas, bukan melakukan perhitungan bulan/matahari, tetapi menghitung jumlah hari untuk mengenapkan hari bulan tersebut. Sebab, dalam riwayat lain, Nabi saw. Menyatakan: fa akmilu ‘iddata Sya’bana tsalatsina yawm[an] (maka genapkanlah jumlah hari Sya’ban menjadi 30 hari) (HR Bukhari).

Lalu menurut Kiai, mana yang paling kuat?

Dari kedua argumentasi tersebut, yang paling kuat jelas berpuasa dan berhariraya dengan rukyat. Mengapa? Pertama: karena dengan jelas Nabi saw. memerintahkan kita agar berpuasa dan berhari raya dengan merukyat hilal, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis riwayat al-Bukhari, Muslim dan lain-lain. Kedua: dalam riwayat Muslim yang lain, Nabi saw. menegaskan, bahwa satu bulan itu berjumlah 29 hari. Kemudian baginda melarang kita berpuasa dan berhari raya hingga melihat hilal Ramadhan/Syawal. Hadis yang kedua ini disertai takhshish bi al-ghayah, yaitu hatta tarawhu (hingga kalian melihat hilal). Dengan kata lain, larangan berpuasa dan berhari raya tersebut bersifat umum, berlaku untuk siapapun hingga mereka melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Ketiga: jika tarkib (frasa) faqduru lahu (hitunglah bilangan hari) tersebut dianggap mujmal, karena ambigu, antara perintah menghitung dan perintah menyempurnakan jumlah hari, maka adanya riwayat lain yang menyatakan fa akmilu ‘iddata Sya’bana tsalatsina yawm[an] (genapkanlah jumlah hari Sya’ban menjadi 30 hari), telah mengugurkan ke-mujmal-an tersebut. Dengan demikian, konotasi “perintah menghitung” atau hisab tersebut sudah hilang, karena sudah dijelaskan dengan dalil lain. Dalam kaidah ushul dinyatakan, jika ada konotasi yang mujmal dan mubayyan, maka mubayyan-lah yang harus digunakan, sedangkan yang mujmal harus ditinggalkan.

Secara syar’i, apakah boleh ada perbedaan awal dan akhir Ramadhan di tengah kaum Muslim?

Perbedaan seperti ini sebenarnya telah terjadi sejak zaman Nabi saw. Namun, perbedaan ketika itu lebih disebabkan karena faktor keterbatasan sarana komunikasi sehingga hasil rukyat di satu wilayah tidak bisa sampai kepada penduduk di wilayah lain. Padahal belum tentu kedua wilayah yang berbeda tersebut sama-sama bisa melakukan rukyat. Karena itu, Ibn Abbas, sebagaimana dalam riwayat Kuraib, membenarkan adanya perbedaan tersebut. Riwayat yang sama kemudian digunakan oleh Imam as-Syafii untuk membenarkan perbedaan awal dan akhir Ramadhan, karena perbedaan mathla’.

Namun, argumentasi multi-mathla’ ini, selain dalilnya lemah, karena menggunakan pendapat Ibn Abbas, juga tidak relevan dengan fakta saat ini karena keterbatasan sarana informasi dan komunikasi tidak lagi terjadi. Saat ini, jika ada penduduk di satu wilayah berhasil merukyat hilal, maka pada jam yang sama informasi tersebut bisa sampai kepada penduduk di wilayah lain. Karena itu, jika pada zaman seperti ini masih terjadi perbedaan, sebenarnya bukan karena tidak ada informasi hasil rukyat yang sampai kepada mereka, tetapi lebih disebabkan oleh faktor politik. Jika masalahnya adalah masalah politik, maka solusinya harus solusi politik, yang bisa menghentikan perbedaan fikih, astronomi hingga politik.

Apa yang menyebabkan kesatuan awal dan akhir Ramadhan itu sulit diwujudkan saat ini? Apakah karena kendala teknis, politis, ekonomi, perbedaan mazhab atau yang lainnya?

Secara teknis sebenarnya tidak ada kendala. Perbedaan mazhab juga bisa di-tarjih sehingga pendapat yang dipandang lemah dengan mudah bisa ditinggalkan. Namun masalahnya, sekali lagi, bukan itu, melainkan masalah politis, termasuk kepentingan ekonomi di balik perpecahan tersebut, yaitu penjajahan terhadap Dunia Islam.

Bisakah kendala-kendala itu ke depan dihilangkan?

Jelas bisa.

Kalau begitu, bisakah ke depan seluruh kaum Muslim mengawali dan mengakhri Ramadhan secara bersamaan?

Bisa. Karena secara teknis, itu mungkin. Apalagi dengan teknologi satelit, internet dan sebagainya. Tinggal, apakah ada political will yang menyatukan itu, ataukah tidak? Di situlah relevansi Khilafah, yang akan menghilangkan seluruh perbedaan baik fikih, astronomi maupun politik. Saya membayangkan, kalau ada Khilafah, maka menjelang awal Ramadhan, Khalifah dengan sangat serius mempersiapkan upaya pemantauan hilal, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah saw. Khalifah akan mengerahkan ulama, pakar astronomi di berbagai kawasan negeri Khilafah mulai dari Indonesia hingga Spanyol. Teknologi pun dipersiapkan untuk membantu siaran langsung dari berbagai kawasan pemantauan dari seluruh dunia dilakukan, seperti siaran langsung piala dunia. Kemungkinan detik-detik terlihatnya hilal bisa disaksikan oleh kaum Muslim di seluruh dunia.

Setelah hilal terlihat, Khalifah segera mengumumkan masuknya 1 Ramadhan; atau bulan Sya’ban digenapkan 30 hari, kalau belum terlihat. Siaran langsung pidato Khalifah dipancarkan secara langsung oleh televisi ataupun radio Departemen Penerangan dari ibukota negara Khilafah yang akan disaksikan dan didengarkan via satelit oleh hampir 1,5 milyar umat Islam di berbagai penjuru dunia. Dengan kecanggihan sains dan teknologi ini tidak ada kendala untuk menyampaikan pesan penting ini dengan cepat dan akurat di seluruh dunia. Pidato Khalifah ini sekaligus merupakan keputusan politik yang akan mengakhiri perbedaan di kalangan umat Islam, sebagaimana kaidah ushul yang menyatakan: Amru al-Imam yarfa’ al-khilaf (Perintah Imam/Khalifah bisa menghilangkan perbedaan). Seluruh rakyat pun satu kata, taat dan patuh pada instruksi sang Khalifah, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Jadi, apa yang dibutuhkan umat ke depan?

Fakta ini menyadarkan kita, bahwa umat Islam membutuhkan Khilafah. Khilafah adalah institusi tunggal bagi kaum Muslim di seluruh dunia, yang dipimpin oleh seorang khalifah. Khilafahlah satu-satunya institusi yang mempunyai otoritas untuk menyatukan kata umat Islam. Dengan Khilafah, umat Islam di seluruh akan mempunyai satu suara, termasuk dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Sebaliknya, tanpa adanya Khilafah, umat Islam saat ini tetap centang-perenang; tidak bisa satu kata dalam menentukan keputusan mereka.

Mengapa harus Khilafah? Karena sudah terbukti bahwa persatuan apapun yang dibentuk oleh umat Islam, termasuk para penguasa mereka, nyatanya tidak bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan yang hakiki. Justru, organisasi-organisasi “persatuan” bentukan mereka ini—seperti OKI, Rabithah al-‘Alam al-Islami, atau yang lain—malah meninabobokkan umat Islam dari kewajiban utama mereka, bersatu sebagai satu umat di bawah naungan Khilafah.

Tegasnya, apa yang harus kita lakukan ke depan?

Tidak diragukan lagi, bahwa yang harus dilakukan oleh umat Islam ke depan adalah berjuang sungguh-sungguh untuk sesegera mungkin mengakhiri permasalahan ini, dengan cara menegakkan Khilafah bersama para pejuang yang ikhlas. Hanya itu satu-satunya agenda yang akan bisa menyelamatkan mereka dari perpecahan, dan perbedaan permanen yang tidak pernah berujung ini. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*