Amerika dan Khilafah: Masa Lalu & Masa Kini

Oleh : Sharique Naeem

Dalam percaturan politik internasional saat ini, Amerika terus menunjukkan dirinya sebagai kekuatan global tunggal yang tak tertandingi. Meskipun negeri itu sedang mengalami kesulitan dan ekonominya memburuk, dan menderita kemunduran dalam perang yang panjang di Irak dan Afghanistan, namun tetap mengklaim dirinya sebagai negara adidaya. Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika telah membuka front perang baru. Mulai dari meningkatkan pertempuran di Somalia, penyerangan dengan pesawat tanpa awak di Yaman dan Pakistan, dan penyerangan terhadap Libya, Amerika telah bertindak sendirian, maupun dengan para sekutu NATO-nya. Dunia Muslim dilanda serangan badai negeri-negeri imperialis. Meskipun memiliki sumber daya yang sangat besar, Dunia Muslim telah menyaksikan gejolak di negerinya sendiri, sebagai akibat dari para penguasanya yang menjadi kacung Amerika dan memberikan apa saja yang dituntut Amerika. Ini adalah realitas suram negeri-negeri muslim dalam menghadapi Amerika saat ini.

Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa secara historis umat Islam pernah menjadi kekuatan utama dunia selama berabad-abad, di bawah naungan Khilafah. Banyak yang telah ditulis dan diketahui tentang zaman umat Islam yang gemilang di bawah naungan Khilafah. Pusat-pusat pembelajaran yang didirikan di Baghdad, Kairo, Maroko dan negara-negara lain dikenal dalam sejarah. Perkembangan ilmiah yang luar biasa telah dicapai umat Islam pada zamannya dalam masa yang panjang. Namun sedikit yang menjadi perhatian jika berkaitan dengan sebuah negara adidaya pada masa lalu, yakni Khilafah jika dibandingkan dengan kekuatan superpower pada masa kini, yakni Amerika.

Akar sejarah Amerika dan hubungannya dengan dunia luar biasanya mengacu ke zaman Christopher Columbus, yang dianggap berjasa dalam memimpin penemuan benua Amerika. Namun, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sekitar tujuh abad sebelum kunjungan Columbus, para penjelajah Muslim dari negeri Khilafah telah mendarat di Amerika, dan mulai memiliki nenek moyangnya di negeri itu.

Berbagai penggalian arkeologi, termasuk penemuan koin-koin, banyak peralatan dan perkakas telah menunjukkan keberadaan kaum Muslim di Amerika. Juga, analisis linguistik dan filologis bahasa dan penggunaan nama-nama permukiman di Amerika menunjukkan kemiripan dengan yang digunakan oleh umat Islam pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah.

Penemuan-penemuan dari penelitian Profesor Barry Fell (dari Harvard University, anggota Society of Scientific & Archeological Discoveries) telah menyoroti kenyataan bahwa umat Islam tiba di benua itu pada zaman Utsman, Khalifah ketiga. Profesor Fells menyajikan sejumlah fakta untuk mendukung jejak sejarah ini. Penemuan-penemuan itu termasuk penggalian arkeologi di Colorado, New Mexico dan Indian bersama dengan tulisan-tulisan, gambar-gambar pada batu-batu dalam kaligrafi Kufic (dari Afrika Utara yang berbahasa Arab), yang menunjukkan bahwa umat Islam tidak hanya datang dari negeri Khilafah dan menetap di wilayah tersebut, tetapi mereka juga mendirikan lembaga-lembaga pengajaran yang memberi pelajaran pada mata pelajaran seperti matematika, geografi, navigasi, sejarah dll. Hal ini juga diketahui, bahwa Khilafah telah mendorong pembentukan pusat-pusat pembelajaran di seluruh wilayah negeri itu.

Peta Piri Reis yang terkenal juga diambil sebagai bukti kehadiran kaum Muslim di Amerika, karena ia merupakan peta kecil Amerika, yang memuat pengukuran akurat atas jarak antara Afrika dan Amerika. Juga menurut Salvatore Michael Trento (mantan direktur Pusat Penelitian arkeologi di Middletown, New York) sebelum melakukan pelayaran pertamanya ke Amerika, Columbus telah membaca buku Roger Bacon dari Universitas Oxford, yang memuat kompilasi dari berbagai sumber berbahasa Arab, tentang wilayah geografis di seberang Atlantik itu.

Pada penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Profesor Heizer dan Baumhoff California University pada penggalian di Nevada, ditemukan tulisan-tulisan dalam bahasa Arab dan tulisan bergaya Naskhi Cufic. Terdapat kesamaan kaligrafi antara berbagai gaya penulisan nama Nabi (Muhammad) yang ditemukan selama periode yang beragam, khususnya yang berkaitan dengan Afrika dan Amerika. (Misalnya Gambar A ditemukan di al-Ain Lahag, Maroko dan Gambar B ditemukan di Timor Sungai Walker; keduanya saat ini berada di University of California, juga Gambar C ditemukan di Nevada dan Gambar C dan D ditemukan di Churchill County dan juga saat ini diawetkan di University of California); Semua prasasti itu merujuk pada abad kedelapan dan kesembilan, dan semuanya menggambarkan kemiripan dalam gaya antara Afrika Utara dan Amerika Utara, dan karenanya menunjukkan bahwa sejumlah besar umat Islam telah melakukan perjalanan dari Afrika ke Amerika.

Dari sumber-sumber Islam, rincian-rincian seperti itu jarang ditemukan, dan sebagian besar kesimpulan tersebut di atas telah didasarkan pada bukti-bukti arkeologi. Beberapa peneliti berpendapat, bahwa pada abad kedua belas suku Athapcan, yang terdiri dari penduduk asli Navajo dan Apache, telah menyerbu wilayah yang didiami oleh orang-orang Arab. Kemudian, para pemukim Muslim itu harus melarikan diri, atau diasingkan ke arah selatan.

Penemuan lain yang mengejutkan atas kehadiran Muslim di Amerika, adalah pada tahun 1787, ketika Pendeta Tadeus Mason Harris mendapatkan beberapa koin yang ditemukan oleh para pekerja selama pembangunan jalan di Massachusetts. Koin-koin itu dikirim ke perpustakaan Harvard College. Setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui bahwa koin-koin itu sebenarnya adalah dirham Samarqand dari abad kedelapan dan kesembilan dan prasasti pada koin-koin itu menyatakan ‘La ilaha ill-Allah MUHAMMADUN Rasulullah’ (Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya) dan Bismillah (Dengan nama Allah). Hal ini menunjukkan bahwa Khilafah memiliki sistem moneter yang digunakan bahkan di wilayah-wilayah terjauh dari daerah dimana kaum Muslim bepergian.

Columbus dan para penjelajah Spanyol dan Portugis lainnya, telah diuntungkan dari pengetahuan berbasis geografis dan navigasi yang dipersiapkan oleh kaum Muslim. Misalnya karya Al-Masudi Muruj’uz-Zahab(871-957 CE), yang didasarkan atas kompilasi dari para pedagang Muslim dari seluruh Asia dan Afrika.

Selain itu, dua kapten kapal Columbus pada pelayaran pertamanya, dalam kenyataannya, adalah dua orang Muslim: Martin Alonso Pinzon yang bertanggung jawab atas kapal Pinta, sementara saudaranya Vicente Yanez Pinzon adalah kapten yang ditunjuk untuk kapal Nina; keduanya berasal dari Dinasti Maroko Marinid, yang merupakan keturunan dari Sultan Abu Zayan Muhammad III (r. 1362-1366). Terdapat juga catatan dari para misionaris abad keenam belas di Amerika yang mengungkapkan bahwa tambang tembaga lokal di Virginia, Tennessee dan Wisconsin dioperasikan oleh orang-orang dari Timur Tengah, yang dihormati oleh penduduk asli.

Juga penelitian menunjukkan bahwa sejumlah 565 nama, 484 di Amerika dan 81 di Kanada, yakni nama-nama kota, desa, gunung, sungai dan danau dll secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yang ditunjuk oleh para penduduk setempat jauh sebelum kedatangan Columbus. Banyak dari nama-nama ini sebenarnya sama dengan nama-nama tempat-tempat suci Islam misalnya Mecca di Indiana, Medina di Idaho, Medina di New York dll.

Struktur rumah dan gedung yang ditemukan dalam penggalian arkeologi yang dilakukan di Afrika Utara dan Amerika Utara menunjukkan tingkat kesamaan antara bangunan-bangunan abad kesembilan. Misalnya struktur rumah Berber dari Pegunungan Atlas, Maroko adalah persis sama dengan sebuah rumah di New Mexico. Kesamaan yang persis terlihat antara Kastil Montezuma yang ditemukan di Arizona dan sisa-sisa reruntuhan yang ditemukan di Mesa Verde di Colorado dengan struktur umum bangunan-bangunan Berber.
Profesor Cyrus Thomas (Smithsonian Institute) menunjukkan dalam salah satu penelitiannya bahwa terdapat kesamaan antara sebuah pondok kecil yang dibangun dari tumpukan batu yang ditemukan di Ellenville, New York dengan sebuah kabin, yang juga terbuat dari batu, yang ditemukan di sekitar Aqabah, Arabia Selatan, yang menunjukkan sekitar abad kedelapan.

Dalam banyak sumber-sumber Islam, meskipun referensi mengenai Amerika hampir tidak didokumentasikan, penting dicatat bahwa selama periode Kekhalifahan Andalusia, umat Islam di Spanyol dan Afrika Utara telah membuat banyak perjalanan ke luar negeri. Hal ini sangat mungkin bahwa banyak dari mereka sebenarnya bepergian menuju Amerika.

Benteng Islam terakhir di Spanyol, Granada, jatuh sebelum terjadinya Inkuisisi Spanyol yang didirikan pada tahun 1492. Inkuisisi itu, yang memaksa banyak orang non-Kristen untuk pindah agama menjadi Katolik atau menghadapi pengasingan sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dari tindakan kejam. Selama periode ini, pada tahun 1539 suatu titah Raja Spanyol Charles V, dipraktekkan menjadi kenyataan yakni titah yang melarang imigrasi kaum Muslim ke pemukiman di Barat, perintah ini kemudian diperluas dengan mengusir semua Muslim dari luar negeri di Koloni Spanyol tahun 1543. Semua ini, ditambah dengan bukti-bukti lain menunjukkan kehadiran kaum Muslim di Spanyol yang berbahasa Spanyol Amerika sebelum tahun 1550.

Meskipun kaum Muslim menderita kerugian teritorial di Spanyol, kehadiran mereka di wilayah-wilayah seperti Amerika, rupanya tidak diperkuat. Namun di jantung peradaban Islam, Khilafah terus menjadi mercusuar yang merupakan peradaban yang kaya dan dihormati. Otoritas politik kekhalifahan mendominasi koridor-koridor kekuatan dari wilayah-wilayah yang kemudian menjadi penting di arena internasional.

Lebih dari dua abad kemudian, kekuasaan politik Kekhalifahan, masih kuat berdiri. Pada tahun 1783, Amerika mengerahkan kapal-kapal pertama angkatan lautnya, yang mulai berlayar di perairan internasional. Dalam waktu dua tahun, kapal-kapal itu ditangkap oleh angkatan laut Kekhalifahan Utsmani, dekat Aljazair. Hal ini penting untuk dicatat, bahwa Angkatan Laut Kekhalifahan itu berasal dari wilayah yang termasuk governorat Afrika Utara dari Aljazair, Tunisia, dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Sebagai perbandingan mencolok, wilayah ini pada hari ini, adalah wilayah terbaru dari front perang yang dibuka oleh Amerika dan NATO yang mengincar lokasi yang strategis dan cadangan minyak, meskipun tujuan itu disamarkan dengan dalih mendukung pemberontakan yang sah dalam melawan diktator Gaddafi.

Penangkapan kapal-kapal Amerika, membawa Amerika ke dalam konflik langsung, dan karenanya hubungan tingkat negara dengan negara Khilafah menjadi perlu.

Pada tahun 1786 Thomas Jefferson, yang kemudian menjadi Duta Besar Amerika untuk Prancis, dan John Adams, yang kemudian menjadi Duta Besar Amerika untuk Inggris, bertemu di London dengan Sidi Haji Abdul Rahman Adja, Duta Besar Khilafah untuk Inggris, dalam rangka untuk menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian, yang akan didasarkan pada pendanaan dari pemungutan suara di Kongres. Ini mungkin merupakan kontak tingkat tinggi pertama antara pejabat tinggi Amerika dan Khilafah.

Setelah pertemuan itu, kedua orang yang merupakan Presiden Amerika masa depan, melaporkan kepada Kongres AS, dan memberikan informasi mengenai alasan permusuhan umat Islam terhadap Amerika dengan kata-kata ini: “… bahwa (kekhalifahan) didirikan berdasarkan Hukum Nabi mereka, bahwa hal itu ditulis dalam Al-Qur’an mereka, bahwa semua negara yang tidak mengakui otoritas mereka adalah negara yang berdosa, bahwa adalah hak dan kewajiban mereka untuk berperang terhadap negara-negara itu di mana saja mereka bisa ditemukan … dan bahwa setiap Musselman (Muslim) yang terbunuh dalam peperangan pasti akan masuk surga.” Kesan pertama dari umat Islam, yang bersatu di bawah naungan Khilafah, pada para duta besar Amerika adalah sangat berlawanan dengan realitas pada saat ini, dimana para penguasa negeri-negeri Muslim bersaing untuk dihargai oleh para duta besar Amerika. Dan seperti yang diungkapkan Wikileaks para penguasa yang memalukan itu mencari dan meminta semua jenis bantuan, dan kemudian berterima kasih kepada para duta besar mereka atas bantuan dalam mencapai jenjang kekuasaan. Selain itu, mereka melaporkan persaingan di dalam negeri mereka kepada para dubes itu, dan mencari bantuan untuk mengatasi satu sama lain.

Dalam hal status quo, kaum muslimin di bawah kekhalifahan sangat berbeda dengan realitas pada hari ini. Pada tahun 1793,  Amerika sekali lagi memasuki wilayah perairan yang didominasi oleh Khilafah, dan kali ini 12 kapal Angkatan Laut Amerika ditangkap. Untuk menanggapi hal ini, Kongres Amerika memberikan mandat pada Presiden Washington, pada bulan Maret 1794 untuk membelanjakan hingga 700.000 koin emas dengan tujuan membangun kapal-kapal untuk armada angkatan laut yang kuat yang terbuat dari baja. Namun, armada ini hilang lagi dalam konfrontasi dengan Angkatan Laut Khilafah itu.

Sejak itu Amerika telah menyadari mereka berhadapan dengan kekuatan negara adidaya : Khilafah. Setahun kemudian Amerika Serikat menandatangani Perjanjian Barbary dengan negara Khilafah. Kata Barbary merujuk pada governorat Afrika Utara untuk wilayah Aljazair, Tunisia, dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah.

Ketentuan dalam Perjanjian Barbery itu mewajibkan Amerika untuk membayar sejumlah besar uang kepada Khilafah sebagai imbalan izin untuk berlayar di Samudra Atlantik dan Laut Mediterania dan mengembalikan kapal-kapal yang ditangkap, mulai dengan pembayaran dengan methode one off payment yang bernilai $ 992.463. Sebagai imbalannya, Pemerintah Amerika harus membayar lagi $ 642.000 yang setara dengan emas. Selain itu, Amerika setuju untuk membayar pajak tahunan (upeti) senilai $ 12 000 dalam bentuk emas. Sangat menarik untuk dicatat, bahwa Khilafah lebih lanjut menegaskan supremasi diplomatiknya, dengan mewajibkan Amerika untuk membayar upeti tahunan, menurut kalender Islam dan bukan menurut kalender Kristen. Selanjutnya, sebagai tebusan untuk tentara Amerika yang ditangkap, Amerika harus membayar $ 585.000 dibayar. Selain dari upeti yang bernilai sangat besar ini, Amerika setuju untuk membangun dan memberikan dengan biaya sendiri armada kapal baja bagi Khilafah. Karena kapal-kapal ini terbuat dari baja, dan biaya untuk tiang-tiangnya, dan papan-papan yang berat, sangat besar dan bahan-bahannya sulit untuk didapatkan, dan ditambah dengan biaya transportasi yang besar, yang pernah diberikan Amerika sebenarnya negara itu telah membayar tiga puluh kali lipat perkiraan harga dalam perjanjian itu.

Perjanjian ini kemudian sesuai dengan status quo kekuasaan yang ditulis dalam bahasa negara Khilafah, yaitu bahasa Turki dan ditandatangani oleh Presiden Washington. Perjanjian itu merupakan satu-satunya dokumen hukum Amerika yang pernah dibuat dalam bahasa asing, dan yang menarik adalah ini merupakan satu-satunya perjanjian yang pernah ditanda tangani Amerika yang menyetujui untuk membayar pajak tahunan kepada bangsa lain. Perjanjian itu tetap berlaku, sampai Khilafah runtuh.

Pada tahun 1862, perjanjian penting yang lain ditandatangani. Abraham Lincoln menandatangani Perjanjian Perdagangan dan Navigasi dengan Khilafah Utsmaniyah. Perjanjian itu berkaitan dengan masalah perniagaan, perdagangan dan navigasi. Hal yang menarik tentang perjanjian ini adalah di dalamnya ada klausul yang menunjukkan bagaimana Amerika dengan panjang lebar mengatakan bahwa negara itu bukanlah negara yang memusuhi dengan cara apapun bagi Khilafah. Pasal 11 perjanjian itu menyebutkan: “Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam arti apapun, didirikan berdasarkan agama Kristen, karena tidak memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, atau ketenangan, dari Mussulmen (Muslim), dan, negara Amerika yang disebut dalam perjanjian ini tidak pernah terlibat dalam setiap perang, atau melakukan tindakan permusuhan terhadap bangsa yang beragama Islam, hal yang dinyatakan oleh para pihak dalam perjanjian, sehingga tidak ada alasan yang timbul dari pendapat keagamaan, yang akan menghasilkan gangguan keharmonisan diantara kedua negara .

Ketika baru menjabat di kantor pemerintahan, pada tahun 1876, Sultan berpartisipasi dalam seratus tahun kemerdekaan Amerika, dengan mengirimkan koleksi besar buku-buku Utsmani untuk dipamerkan di Philadelphia, buku-buku itu kemudian disumbangkan kepada Universitas New York.

Pada masa Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), meskipun Khilafah telah menjadi lemah secara signifikan dikarenakan kondisi masa lalu, negara itu masih menjaga pengaruhnya pada politik internasional, dan dikenal sebagai kekuatan terkemuka, dalam bidang budaya, politik maupun militer. Khalifah Abdul Hamid II terkenal karena penolakannya untuk menjual tanah Palestina kepada Zionis dan dihormati tidak hanya oleh kalangan muslim tetapi juga oleh kalangan non-Muslim.

Pada tahun 1893,  saat menandai ulang tahun ke-empat ratus penemuan benua Amerika, Khalifah Abdul Hamid adalah kepala negara asing pertama untuk menerima undangan untuk menghadiri Columbian Exposition  yang diadakan di Chicago. Khalifah tidak hadir, namun sekitar seribu orang dari Yerusalem mengunjungi pameran itu.

Di Chicago, sekitar tahun yang sama, pada acara acara pengukuhan Parlemen Agama-Agama Dunia (World Parliament of Religions), delegasi kekhalifahan memamerkan koleksi besar barang-barang Khilafah Utsmani dan juga membangun sebuah masjid kecil.

Abdul Hamid, dalam masa jabatannya pernah bertanya kepada duta besar Amerika di Istanbul, Samuel Sullivan Cox dan penyelenggara Sensus Amerika modern, untuk memperkenalkan perkembangan ilmu statistik kepada umat Islam.

Menariknya, pada saat salah seorang diplomat Amerika A.M. Keiley dinyatakan persona non grata oleh pemerintah Austro-Hungaria hanya karena “keturunan Yahudi”, Duta Besar Amerika Oscar S. Straus (seorang diplomat Yahudi) disambut oleh Khilafah.

Khilafah juga memiliki jangkauan dan pengaruh atas kaum Muslim yang tinggal di luar wilayahnya, di daerah yang jauh terpencil. Pada musim semi tahun 1899, Amerika meminta bantuan dari kekhalifahan, dalam ekspedisi melawan wilayah Filipina yang dikontrol oleh Spanyol. Sekretaris Negara Amerika John Hay menulis kepada Oscar S. Straus, dan bertanya apakah “Sultan dalam situasi yang mungkin dibujuk untuk memerintahkan orang-orang Islam dari Filipina, yang selalu menolak Spanyol, untuk datang dengan sukarela agar bisa berada di bawah kendali kami.” Straus kemudian secara resmi mengunjungi khalifah dan merujuk kepada perjanjian sebelumnya. Pasal 21 perjanjian antara Tripoli dan Amerika Serikat berbunyi: “Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam arti apapun, didirikan berdasarkan agama Kristen, karena tidak memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, atau ketenangan, dari Mussulmen (Muslim), dan, negara Amerika yang disebut dalam perjanjian ini tidak pernah terlibat dalam setiap perang, atau melakukan tindakan permusuhan terhadap bangsa yang beragama Islam, hal dinyatakan oleh para pihak dalam perjanjian, bahwa tidak ada alasan yang timbul dari pendapat keagamaan, yang akan menghasilkan gangguan keharmonisan diantara kedua negara.

Dalam perjanjian itu, Abdul Hamid menjelaskan posisinya tentang masalah Filipina, dengan mengatakan bahwa “orang-orang Islam yang bersangkutan mengakuinya sebagai Khalifah kaum Muslim dan dia merasa yakin mereka akan mengikuti sarannya.”. Setelah instruksi ini, Duta Besar Staus menulis: “Orang Islam Sulu …menolak untuk bergabung dengan para pemberontak dan telah menempatkan diri di bawah kendali tentara kita, dengan demikian mengakui kedaulatan Amerika.”

Letnan Kolonel John P. Finley (yang menjabat Gubernur Amerika untuk Provinsi Zamboanga di Filipina selama sepuluh tahun) menulis sebuah artikel yang diterbitkan dalam edisi April 1915 pada Journal of Race Development yang menyoroti peristiwa ini. Finley menulis: “Pada awal perang dengan Spanyol, Pemerintah Amerika Serikat tidak menyadari keberadaan setiap orang Islam di Filipina. Ketika fakta ini ditemukan dan disampaikan kepada Duta Besar kami di Turki, Oscar S. Straus, dari New York, dia kemudian melihat kemungkinan yang terbentang di depan kita sebagai jihad (perang suci)…. Dia kemudian membicarakannya dengan Sultan Abdul Hamid, dan memintanya sebagai Khalifah dalam agama Islam untuk bertindak atas nama para pengikut Islam di Filipina…. Sultan sebagai Khalifah mengirimkan pesan untuk dikirim kepada orang-orang Islam di Kepulauan Filipina yang melarang mereka untuk masuk ke dalam setiap permusuhan terhadap Amerika, karena gangguan atas agama mereka tidak dibenarkan di bawah kekuasaan Amerika. “

Setelah konflik usai, Presiden McKinley mengirim surat pribadi yang mengucapkan terima kasih kepada Duta Besar Straus karena bekerja dengan sangat bagus, menyatakan bahwa ia telah menyelamatkan Amerika Serikat “setidaknya dua puluh ribu tentara dari medan pertempuran.” Semua ini telah dimungkinkan, karena posisi politik Khalifah, Abdul Hamid II.

Sejarah interaksi kekhalifahan dengan Amerika, mengungkapkan banyak informasi tentang status global kaum Muslim yang dihargai. Pada hari ini, situasi Internasional menjadi bertentangan dengan masa lalu yang merupakan masa keagungan umat Islam.

Namun, pada saat penghapusan kekhalifahan pada tahun 1924, Amerika dengan cepat menyambut gerakan itu, dan bersekutu dengan Mustafa Kemal, dalam upaya untuk menciptakan sebuah negara bangsa Turki yang sekuler.

Pada tahun 1938, Duta Besar Amerika Joseph Clark berdiri dengan Mustafa Kemal dan menyatakan “Nama Mustafa Kamal akan selamanya dikaitkan dengan pembangunan, pendiri Turki, negara Turki baru yang modern, dan selamanya akan tertulis dengan tidak terhapuskan pada perjalanan sejarah”.

Mustafa Kamal menambahkan: “Bangsa Turki adalah bangsa yang demokratis secara alami, saya tidak meragukan bahwa bangsa Amerika yang telah begitu jauh terlibat dalam hal yang ideal ini, yang merupakan kerabat negara Turki dalam mencapai tujuannya.” Kamal yang sekuler, menyimpulkan aliansi baru itu dengan mengatakan: “ini bisa mengarah kepada dunia yang penuh cinta dengan menghapus semua prasangka lama dan semua negara berada dalam kedamaian dan kemakmuran”

Rantai peristiwa yang menyertainya secara diametris berlawanan dengan apa yang Kamal nyatakan dengan liciknya. Dunia Muslim melihat penjarahan sumber daya alamnya, negerinya dikerat-kerat, dan sejak itu penindasan di tangan para diktator terjadi dengan seterusnya selama beberapa dekade. Selain itu, banyak negara-bangsa yang keluar dari naungan khalifah, dan akhirnya selama bertahun-tahun menghadapi intervensi militer langsung oleh Amerika. Somalia, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Irak, Libya dan Yaman adalah diantara negara-negara bangsa yang menderita hebat akibat intervensi negara-negara imperialis.

Dengan penghapusan kekhalifahan, pada hampir satu abad lalu, interaksi antara Amerika dan Khilafah telah terkubur, dan dunia Muslim kewalahan menghadapi banyaknya masalah.

Pada hari ini, status quo saat ini berada di ambang suatu tantangan besar baru. Ketika merasakan tantangan ini, kaum imperialis, yang dipelopori oleh Amerika, mulai mengganggu dan membongkar perkembangan dari tantangan ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Barat telah berusaha untuk mendiskreditkan ide Kekhalifahan. Fitnah yang berulang atas ide sebuah negara super Islam yang bersatu dapat diamati dari pernyataan-pernyataan para politisi kunci dan para pembuat opini di Barat.

Dalam kata-kata mantan presiden Bush “Khilafah ini akan menjadi Imperium Islam totaliter yang meliputi semua negeri-negeri muslim saat ini dan yang dulunya adalah negeri-negeri Muslim, yang membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara.”.

Dalam bulan November 2004 Henry Kissinger dalam sebuah wawancara, mengungkapkan pandangannya dengan menyatakan: “… apa yang kita sebut sebagai terorisme di Amerika Serikat, tetapi sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekuler, dan terhadap dunia yang demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhalifahan “. Yang menarik, pada tahun yang sama (Desember 2004) dikeluarkan laporan setebal 123-halaman yang berjudul “Mapping the Global Future” oleh National Intelligence Council (NIC) dari CIA. Laporan itu mencakup antara lain skenario, kemungkinan terbentuknya suatu “Kekhalifahan Baru” tahun 2020. Laporan tersebut, ditujukan “untuk mempersiapkan pemerintahan Bush bagi tantangan-tantangan masa depan, dan telah disampaikan kepada Presiden AS, para anggota Kongres, para anggota kabinet dan para pejabat kunci yang terlibat dalam pembuatan kebijakan”

Selain menarik perhatian para politisi dan pembuat opini kunci, ancaman Khilafah juga telah disorot pada September 2005 oleh Angkatan Darat AS Jenderal John Abizaid, (Kepala Komando Pusat AS) dan juga oleh Jenderal Richard Myers (Ketua Kepala Staf Gabungan).

Pada tahun 2007, Gubernur Amerika Mitt Romney mengatakan: “Bagi Islam radikal, terdapat konflik dan tujuan menyeluruh –  yang menggantikan semua negara-negara Islam modern dengan sebuah Kekhalifahan, dengan menghancurkan Amerika, dan menaklukkan dunia.”

Pada tahun ini, pada tahun 2011, dengan munculnya pemberontakan di Timur Tengah, Media Barat telah gembira dan aktif dengan menggambarkan bahwa rakyat Arab memandang ke depan menuju demokrasi. Namun, Profesor di Harvard, Niall Ferguson dalam sebuah wawancara dengan The Telegraph, memperingatkan bahwa menjelang tahun 2021 hanya ada “kemungkinan kecil kita mendapatkan demokrasi gaya Barat di Timur Tengah”. Dia menambahkan bahwa “Lebih mengkhawatirkan ketika berpikir tentang “kebangkitan kembali Kekhalifahan “.

Prediksi Profesor Niall itu tampaknya masuk akal, dan gagasan munculnya sebuah Kekhalifahan diperkuat oleh banyak jajak pendapat (misalnya oleh World Public Opinion, Pew Global dll) yang dilakukan di dunia Muslim, yang menunjukkan aspirasi umat Islam untuk hidup di bawah Hukum Islam, dan negara yang bersatu.
Di antara banyak pernyataan oleh para tokoh terkemuka di Amerika adalah pernyataan Donald Rumsfeld yang menyatakan pada bulan Februari 2011: “Kami menghadapi musuh yang kejam, para Islamis radikal ada di sana, mereka berniat untuk mencoba untuk mendirikan Khilafah di dunia ini dan secara fundamental mengubah sifat negara bangsa “. Rumsfeld mengakui bahwa “kita enggan untuk terlibat dalam perang pemikiran”

Hari ini, di saat orang-orang yang berada di koridor kekuasaan di Barat sedang berusaha untuk memfitnah ide kekhalifahan, dan menciptakan narasi negatif tentang hal itu, sangat penting untuk disadari, bahwa sejarah adalah kesaksian dari sosok dan kecakapan kekhalifahan sehingga membantah jika ada narasi yang menjelek-jelekannya. Benar bahwa kekhalifahan, setelah terbentuk akan berusaha untuk menyatukan negara-negara Muslim, tapi adalah salah untuk meremehkannya sebagai negara yang regresif atau anti-modern. Ketika Kekhalifahan didirikan, ia akan menggabungkan dunia Muslim, dan dengan cepat memanfaatkan segala sumber daya untuk pengembangan infrastruktur, dan industri pertanian. Munculnya negara Islam yang  canggih ini juga akan berusaha mempensiunkan posisi strategis negara imperialis Amerika dari panggung internasional secara umum dan wilayah-wilayah Muslim pada khususnya. Namun, ini tidak berarti bahwa Khilafah akan terlibat untuk melakukan demonisasi atas warga negara berdasarkan ras, budaya, atau sejarahnya. Sejarah menunjukkan menunjukkan informasi yang luas tentang kemurahan hati kekhalifahan, terhadap bangsa-bangsa lain yang mencari bantuan. Juga, sebuah evaluasi ulang dari sejarah Amerika situ sendiri menjelaskan ke dalam budaya progresif dan kaya bahwa para penjelajah dari Khilafah sampai ke negerinya.

Pada hari, adalah ironis bagaimana mungkin sebagian orang di Barat mencoba untuk mencoreng citra kekhalifahan sebagai entitas penuh dengan kekerasan, sementara pada saat yang sama mengekspor demokrasi dan memuliakannya melalui invasi terang-terangan.

Tahun ini, di satu sisi ada negara-negara kapitalis Barat yang secara internal tersentak oleh pergolakan ekonomi dan terbelenggu dengan peperangan di luar negeri, dan di sisi lain ada kaum muslim yang berani melawan penindasan para tiran, hingga menyebabkan jatuhnya diktator satu demi satu. Dalam skenario seperti ini realisasi Kekhalifahan, semakin semakin dekat. (translated by riza)

Sharique Naeem adalah seorang insinyur otomatisasi, dan seorang komentator politik, dan penulis. Tulisan-tulisannya telah diterbitkan di surat-surat kabar nasional Pakistan, Bangladesh, India, Yaman & Iran. Dia dapat dihubungi di atshariq_n@hotmail.com

Referensi:

[1] Donald Rumsfeld http://www.rushlimbaugh.com/home/daily/site_020811/content/01125106.guest.html

[2] Governor Romney (Elected in 2002 as the 70th Governor of the Commonwealth of Massachusetts, ) (Governor Mitt Romney, Remarks At The George Herbert Walker Bush Presidential Library, 4/10/2007)

[3] Niall Ferguson http://www.telegraph.co.uk/finance/financevideo/8367183/Niall-Ferguson-In-2021-well-be-amazed-how-much-the-world-has-changed.html

[4] Treaty of tripoli http://www.stephenjaygould.org/ctrl/treaty_tripoli.html

[5] John Adams http://www.islam-watch.org/ThomasJefferson/Founding_Fathers_Fight_Islam.htm

[6] NIC Report: http://www.cia.gov/nic/NIC_globaltrend2020_s3.html#scen

[7] Henry Kissinger: http://nobelprize.org/peace/laureates/1973/kissinger-bio.html

[8] Bukti-bukti Arkeologi http://www.fountainmagazine.com/article.php?ARTICLEID=823

[9] Barbery Treaty http://avalon.law.yale.edu/18th_century/bar1795n.asp

13 comments

  1. al-khilafah Wa’dullah,

    Wa bushru Rosulillah…!

  2. Allohu Akbar….betapa umat merindukan Negara Modern Super Power itu….wahai umat Islam…berjuanglah utk kembalinya Negara Pelindung dan Pengayom Umat : KHILAFAH ISLAMIYAH! !

  3. Saat kebangkitan itu pasti datang… Tak lama lagi, karena harum kemuliaannya kian tercium. Karena tuntutannya kian membahana ke seantero bumi, dan karena janji-Nya pasti datang… Saatnya seluruh muslim mengucapkan selamat tinggal pada kedigdayaan negara AS, saatnya Khilafah memimpin dunia dengan rahmat dan kemuliaan, menggantikan keserakahan dan kedurjanaan kaum imperialis. Mari sambut kehadirannya dengan segenap daya upaya yang tercurah dalam da’wah Islam semata-mata karena Allah SWT. Maju terus pejuang Khilafah..! Allahu Akbar!!!

  4. Isu Kehadirannya saja menggelegar dan menakutkan para pemimpin Barat, Eropa dan Amerika, bagaimana kalau Khilafah benar-benar telah hadir….?? Ayau kaum Muslimin! tidakkah kalian merasakan dan terdorong untuk menolong kehadiran Sang Pemimpin DUnia ini ????

  5. ya rabb sudah cukup rasanya umat ini dihina dan dipojokkan,atas ridho-MU bantu kami mewujudkan khilafah ini ya rabb, allahu akbar

  6. Roda peradaban terus berputar, kalau dulu Islam pernah jaya, sekarang terpuruk, sebentar lagi akan kembali jaya. Karena Islam a’la wa layu’la alaihi. Rise..Rise Khilafah! Down..down..kapitalisme! Saatnya khilafah memimpin dunia !

  7. Kiamat sudah dekat, sejalan dengan itu Khalafah akan segera hadir di bumi ini untuk menyongsong kembalinya kejayaan Islam. Mari persiapkan diri kita masing – masing untuk bersiap diri menjadi bagiandari Khalifah, amin.

  8. Adam al faruq

    Subhanallah, sungguh saat jelas !!
    Mari bersama kita samakan pemikiran, perasaan dan peraturan derap dan langkah dalam satu kesatuan politik ISLAm yakni KHILAFAH demi tersejahterakannya Ummat Muslim dan Non-MUslim..!!
    Allahu akbar.. !!

  9. Khilafah……khilafah….khilafah.
    Allaaaaahu Akbar….., Allaaahu Akbar.
    Kami merindukanmu.

  10. Allaahu akbar….Saatnya Khilafah Memimpin dunia,…Pertolongan Allah sudah dekat kepada Ummat Islam…

  11. Wahai para perempuan, marilah kita berhenti untuk memamerkan AURAT, begitu hebatnya ISLAM telah memuliakan dan mengangkat derajat kita sebagai perempuan, mari bangkit untuk mewujudkan hidup sejahtera di bawah naungan Khilafah.
    Allahuakbar….Allahuakbar…..Allahuakbar……

  12. smua ini membuktikan bahwa bangsa barat tidk akan ada apa2nya tanpa islam,

  13. Rizzatul Azzam

    Melangkah pasti menuju khilafah dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar mulai dari diri kita, keluarga, dan masyarakat kita.Tunjukkan dengan aktifitas sehari hari bahwa kita adalah ummat terbaik.Jadilah pribadi pribadi yang dapat jadi teladan masyarakat berdasarkan ajaran Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*