Ambon Rawan Bergolak Lagi

AMBON rusuh lagi. Lima orang tewas, sejumlah kendaraan dibakar massa, dan kaca-kaca gedung hancur berantakan. Perang antarkelompok yang meletus pada Minggu (11/9) itu menyisakan trauma yang menakutkan. Menakutkan, karena warga masih menyimpan luka mendalam tentang konflik panjang di negeri rempah itu pada 1999.

Kerusuhan pada Minggu itu dipicu kabar mengenai tewasnya seorang tukang ojek bernama Darwis Saiman. Di tubuh korban ditemukan sejumlah luka. Satu versi menyebutkan luka-luka itu akibat pembantaian. Namun, polisi menyebutkan Darwis meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Kabar yang simpang siur itu seperti bensin yang disiramkan ke api.

Kerusuhan segera menjalar. Warga membakar sepeda motor dan menggulingkan mobil-mobil. Suasana Ambon yang tenang tiba-tiba berubah menjadi tegang mencekam. Warga panik, ketakutan, kemudian mengungsi ke tempat-tempat yang dianggap aman.

Setiap konflik di Ambon selalu menjadi mimpi buruk. Ada pengalaman pahit dan kelam yang belum pupus. Konflik yang berlarut-larut sejak Januari 1999 itu merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan hampir semua tatanan kemasyarakatan. Konflik baru reda setelah ditandatangani Perjanjian Malino II pada 11 Februari 2002.

Konflik yang berlarut di Ambon semestinya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk menjaga kohesitas masyarakat. Pemerintah harus lebih kreatif menemukan terapi-terapi sosial guna merawat kerekatan yang sudah terjalin antarberbagai kelompok masyarakat.

Namun, kerusuhan yang masih mudah meletus akibat informasi yang bias menunjukkan buruknya terapi sosial itu. Ternyata publik tidak percaya pada penjelasan pemerintah sehingga mudah marah dan gampang diprovokasi.

Penjelasan polisi bahwa korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas tidak begitu saja diterima. Masyarakat lebih memercayai informasi yang diterima dari kenalan, sahabat, maupun SMS yang beredar.

Atas dasar informasi itulah publik bertindak. Padahal, bisa saja informasi itu berasal dari sumber yang sengaja memanaskan situasi.

Pemerintah selalu bertindak terlambat dan suka menjadi pemadam kebakaran. Mengerahkan polisi dalam jumlah besar dan menurunkan bala bantuan justru setelah publik marah dan korban berjatuhan. Pemerintah berdialog dengan pemimpin agama dan tokoh masyarakat justru tatkala gedung-gedung sudah hancur dilempari dengan batu dan kendaraan dibakar oleh massa.

Padahal, Perjanjian Malino II harusnya menjadi modal sosial. Dialog dengan pemimpin umat mestinya menjadi menu bulanan atau tiga bulanan bagi setiap pemimpin daerah.

Kita sungguh prihatin karena masyarakat selalu menjadi korban akibat kealpaan para pejabat. Karena kelalaian pemerintah itu, jiwa warga melayang dan harta benda hangus dilahap api.

Kita ingatkan pemerintah bahwa harus ada jaminan di negeri ini setiap warga mendapatkan kenyamanan hidup. Jangan sampai warga menjadi pengembara untuk mencari tempat-tempat yang tenang karena tidak ada lagi tempat yang damai di negeri ini.(mediaindonesia.com, 13/9/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*