Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menegaskan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang digodok DPR dan pemerintah masih mengandung 19 pasal bermasalah.
Poengky, dalam keterangan pers pada Minggu (18/9/2011) di Jakarta, menjelaskan, RUU Intelijen tidak mengakomodasi tata nilai hak asasi manusia (HAM) dan memandang pembatasan HAM penting demi negara (penguasa).
Adapun deretan permasalahan RUU Intelijen tersebut adalah:
- Definisi intelijen.
- Ancaman dan keamanan nasional yang tidak jelas.
- Fungsi intelijen untuk penyelidikan, terutama intelijen non-judicial yang bersifat karet.
- Intelijen kejaksaan tidak dibutuhkan pada era demokrasi saat ini.
- Fungsi Badan Intelijen Negara (BIN) meluas hingga ke daerah yang memberi wewenang berlebihan.
- Keberadaan BIN di bawah Presiden yang seharusnya di bawah departemen.
- Intelijen TNI tidak dijelaskan secara rinci tugasnya dan dikhawatirkan represif.
- Kode Etik dan Dewan Kehormatan Intelijen yang seharusnya memiliki lembaga pengawas resmi dan tidak menghalangi penegakan hukum terhadap intelijen yang melanggar hukum.
- Perlindungan yang berlebihan kepada aparat intelijen. Aparat intelijen yang gagal menjalankan tugas disebutkan masih dilindungi negara. Di negara mana pun kegagalan operasi intelijen tidak pernah diakui negara.
- BIN sebagai kordinator lembaga intelijen yang masih menjalankan tugas operasional.
- Penggunaan istilah ”pendalaman” sebagai ganti istilah ”pemeriksaan intensif”, yang sebetulnya bermakna penahan.
- Penyadapan yang dilakukan tanpa izin pengadilan.
- Pemeriksaan aliran dana yang belum rinci sehingga rawan terjadi korupsi.
Uraian di atas adalah sebagian dari kelemahan mendasar RUU Intelijen yang menurut Poengky dapat membuka pintu kembalinya rezim represif dan menggunakan lembaga intelijen sebagai alat kekuasaan dan bukannya aparat negara.(kompas.com, 18/9/2011)