RUU Intelijen: Membidani Lahirnya Rezim Represif

[Al Islam 572] Pembahasan RUU Intelijen yang sempat tertunda akan kembali dilanjutkan dalam masa sidang saat ini. Pembahasan RUUnya sendiri terus berjalan dan terkesan dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi. Pembahasan terakhir yaitu harmonisasi tim pemerintah dan DPR (5-6 September 2011) menghasilkan draft yang nantinya akan disodorkan ke sidang paripurna yang direncanakan digelar pada tanggal 27 September 2011 nanti.

Melahirkan Rezim Represif?

Draft akhir RUU Intelijen itu sejatinya tidak banyak berubah dari draft sebelumnya. Bahkan terlihat banyak mengadopsi usulan pemerintah. Di dalamnya masih terdapat sejumlah pasal yang bermasalah. Jika disahkan nantinya tetap akan berpeluang melahirkan rezim represif yang bisa memata-matai rakyat. Intelijen nantinya masih berpeluang dijadikan alat oleh penguasa.

Beberapa catatan kritis atas draft tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ada kalimat-kalimat dan frase yang tidak didefinisikan dengan jelas dan multitafsir yang nantinya berpeluang menjadi pasal karet. Misalnya, frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, dsb definisinya tidak jelas dan multitafsir. Begitu juga “lawan dalam negeri”, siapa dan kriterianya apa, tidak jelas. Tolok ukur “yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional” sangat lentur untuk menarget seseorang jadi sasaran kegiatan intelijen. Kelenturan RUU Intelijen itu bisa untuk disalahgunakan demi kepentingan politik kekuasaan atau kelompok tertentu atau membungkam sikap kritis dan kritik atas kebijakan penguasa.

Kedua, di Pasal 1 dikatakan, Intelijen Negara adalah “penyelenggara intelijen”, dirubah dari draft sebelumnya “lembaga pemerintah”. Perubahan itu seolah menutup peluang intelijen dijadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya. Nyatanya, penyelenggara intelijen (BIN, intelijen TNI, intelijen kepolisian, intelijen kejaksaan dan intelijen kementerian/nonkementerian) semuanya adalah lembaga pemerintah. Jadi perubahan itu tidak merubah esensi yang dikritik, hanya merubah redaksionalnya saja. Juga tidak bisa menutup peluang penyalahgunaannya.

Ketiga, di Pasal 32 RUU Intelijen (draft akhir), “BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalamanLalu di pasal 33 ayat (1) dinyatakan penyadapan itu “dilakukan berdasarkan Undang-undang ini“. Ayat (2) “Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi” itu: a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen NegaraAyat (3), Penyadapan itu “dilaksanakan dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan”.

Pemberian wewenang penyadapan tanpa harus izin (Ketua) pengadilan tetapi cukup memberitahukan saja akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyadapan itu didasarkan pada alasan yang definisi, kriteria dan tolok ukurnya tidak dijelaskan dan multitafsir serta bersifat subyektif dan tergantung selera. Kepala BIN dijadikan satu-satunya pihak yang memutuskan “Sasaran telah memiliki indikasi” dan “Sasaran yang telah mempunyai bukti awal cukup”. Itu artinya kepala BIN memiliki wewenang menetapkan seseorang menjadi “tersangka” sehingga bisa diselidiki, diperiksa, disadap, diperiksa aliran dananya dan dilakukan pendalaman terhadapnya”, diluar pengadilan dan kejaksaan, atau tanpa proses hukum. Di negara hukum manapun, penyadapan harus atas izin pengadilan. Jika ada sebagian negara maju yang membolehkan penyadapan tanpa izin pengadilan, itu dianggap tidak demokratis, mencederai demokrasi, melanggar proses hukum dan mencederai HAM.

Dalam pelaksanaannya sangat mungkin Kepala BIN akan tergantung pada masukan anak buahnya atau dia hanya menerima masukan jadi. Artinya, aparat intelijen bisa berperan besar dalam hal itu. Akibatnya rakyat yang kritis dan lawan politik bisa dijadikan target. Intelijen bisa jadi justru sibuk memata-matai rakyat. Warga pun akan terancam dan tidak lagi terjamin hak privasinya, yang ironisnya justru oleh intelijen yang dibayai dengan uang mereka.

Keempat, di Pasal 35 dinyatakan “Pendalaman”dilakukan: a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan c. bekerjasama dengan penegak hukum terkait.” Istilah “pendalaman” ini agaknya untuk mengganti istilah “pemeriksaan intensif”. Artinya, “pendalaman” bisa mencakup penangkapan dan penahanan. Satu-satunya pihak yang memutuskan adalah Kepala BIN. Frase “bekerjasama dengan penegak hukum terkait” juga sangat luas interpretasinya. Usulan itu sama saja memberi wewenang intel BIN atas perintah Kepala BIN untuk mengambil orang yang dicurigai, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya. Lalu apa bedanya dengan penculikan? Maka akan lahir kembali rezim intel dan represif. Penculikan aktifis bisa akan terjadi lagi seperti masa Orde Baru atau bahkan lebih dari itu, sebab dilegalkan oleh undang-undang. Di negara hukum manapun, penangkapan adalah wewenang aparat penegak hukum yakni kepolisian, disamping bahwa penangkapan bukanlah fungsi intelijen.

Kelima, di dalam RUU tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga intelijen. Hal itu ditambah adanya potensi intelijen menjadi “arogan” dan nyaris tanpa kontrol -seperti terpapar diatas- akan menjadi musibah dalam kehidupan sosial politik warga negara dan hak-hak warga negara akan terabaikan. Warga berpotensi jadi korban tanpa ruang untuk mendapatkan keadilan. Disinilah terlihat jelas potensi lahirnya rezim intel.

Keenam, RUU Intelijen tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi “super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.

Ketujuh, delik kelalaian di pasal 43 RUU ini bisa menjadi preseden buruk bagi jurnalis. RUU ini berpotensi untuk membungkam suara-suara kritis dan keterbukaan.

Kedelapan, ancaman sanksi di pasal 45 RUU ini tidak akan bisa mencegah penyalahgunaan penyadapan. Sebab penyalahgunaan hanya jika penyadapan dilakukan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan (RUU). Itu artinya selama dilakukan atas perintah Kepala BIN, penyadapan tidak akan bisa dipermasalahkan. Penyalahgunaan penyadapan pun sulit untuk dibuktikan. Ditambah lagi, usulan sanksi ancaman hukuman menggunakan kata maksimal, artinya bisa saja sangat ringan.

Disamping semua itu, RUU Intelijen ini pada akhirnya akan berpeluang sangat merugikan rakyat. Umat Islam khususnya para aktivis Islam bisa sangat dirugikan dan berpeluang menjadi korban. Upaya penegakan ajaran Islam yang bersumber dari Allah SWT atas kepentingan asing atau pihak tertentu, bisa jadi dipersepsikan sebagai ancaman. Disamping itu, elemen masyarakat yang bersuara kritis dan para jurnalis pun akan bisa menjadi korban dengan dalih mengancam keamanan atau kepentingan nasional yang ditafsirkan secara subyektif oleh penguasa.

Pengesahan RUU intelijen ini merupakan kemunduran kerena memberikan kemungkinan penguasa berdasarkan kepentingan dirinya atau asing melakukan tindakan represif. Hal itulah yang dikritik habis-habisan pada masa Orde Baru dulu. Negara lain seperti Malaysia justru telah mencabut ISA (internal security act) yang selama ini menjadi alat penindasan rezim berkuasa.

Adalah sangat mengerikan kalau era gelap Orde Baru kembali hadir. Dimana seseorang diculik, disiksa, ditangkap, bahkan dibunuh berdasarkan persepsi ancaman sepihak dari penguasa. Saat itu aktifis Islam benar-benar mengalami masa yang mengerikan, khutbah-khutbah jum’at dikontrol, ceramah diinteli, aktifis Islam yang menyerukan kebenaran al-Quran dan as-Sunnah ditangkap dan disiksa. Media masa dibungkam, dikontrol untuk tidak bersikap kritis terhadap panguasa. RUU ini akan membidani lahirnya rezim represif. Karena itu sikap yang jelas dari masyarakat, tokoh, ulama, ormas, organisasi, harus jelas, yaitu menolak. Karena siapapun akan bisa menjadi korbannya. Mencegah adalah lebih baik dari pada semuanya telah terlambat.

Islam Mengatur Intelijen

Dalam syariah Islam, intelijen ditujukan untuk menyasar orang-orang kafir yang memerangi kaum muslim secara de-facto (muhâriban fi’lan) ataupun de-jure (muhâriban hukman). Itulah contoh dari Nabi saw sebagai teladan kita.

Syariah Islam mengharamkan negara memata-matai rakyat (QS al-Hujurat [49]: 12). Rasul saw juga bersabda:

« إِنَّ الأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِى النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ »

Sesungguhnya seorang amir itu, jika ia mencari keragu-raguan (sehingga mencari-cari kesalahan) dari rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan al-Baihaqi)

Memata-matai rakyat, termasuk kafir dzimmi, oleh negara atau individu, hukumnya adalah haram. Adapun ahl ar-riyab yaitu mereka yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kemadaratan dan bahaya terhadap institusi negara, jamaah atau bahkan individu sekalipun, maka tajassus (spionase) terhadap mereka dibolehkan dengan syarat: pertama, didasarkan dari hasil monitoring terhadap muhâriban fi’lan ataupun muhâriban hukman; dan kedua, hal itu disampaikan kepada dan disetujui oleh Qadhi Hisbah (lihat Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hal 99-104, Darul Ummah. 2005).

Maka dengan penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah sajalah, negara tidak akan menjadi musuh rakyat, tidak penuh curiga kepada rakyat dan tidak sibuk memata-matai rakyat. Dengan itu pemerintah dan rakyat akan menyatu menjadi kekuatan besar demi kemuliaan dan keadilan Islam dan mewujudkan rahmat bagi semua. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [ ]

Komentar al-Islam

“Pejabat tinggal 40% jika KPK tangkap semua koruptor!” ungkap Teguh Yuwarno, anggota Komisi I DPR RI (Kompas.com, 19/9)

1. Memalukan! Korupsi telah jadi budaya para pejabat karena mental bobrok dan lemahnya hukum apalagi gampang dapat remisi.

2. Itulah bukti rusaknya sistem politik demokrasi dan sistem peradilan sekuler produk manusia di negeri ini.

3. Hanya Syariah Islam yang bisa membabat korupsi dan melahirkan para pejabat yang bersih dan peduli rakyat melalui ketakwaan para pejabat, sistem pidana termasuk pembuktian terbalik dan kontrol dari masyarakat.

5 comments

  1. dengan berita yang telah disampaikan dan kami baca Alhamdulillah kami banyak pengetahuan ,maju terus Allahu Akbar

  2. Muhammad Syafii

    karena itu, Tolak RUU INTELEJEN!!!!!!!!!!!!

  3. Ikhsan Firdaus

    Alhamdulillah, kita semakin tahu bagaimana carut-marutnya Negara jika dibawah sistem Kapitalisme sekarang ini. Hanya dengan Syariah dan Khilafah, Umat akan Sejahtera dan merasa Aman.

  4. inilah aturan yang bobrok dari sistem yang zholim. hanya sistem ALLAH lah yang mampu menyelesaikan permasalahan. terapkan syariah tegakkan khilafah untuk mencapai ke bahagiaan dunia dan akhirat.

  5. Negara ini sudah kebingungan bagaimana caranya menangkal upaya penegakkan Syari’at Islam !!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*