Biaya Politik Tinggi Pengaruhi Tingkat Korupsi

Sejumlah kasus korupsi yang mencuat belakangan ini disinyalir mempunyai kaitan dengan biaya politik yang sangat tinggi di Indonesia. Hal yang menyingkap keterkaitan tersebut adalah kasus korupsi dan permainan anggaran yang dilakoni M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat.

Demikian dikemukakan Nico Harjanto, analis Kebijakan Publik dari Rajawali Foundation dalam diskusi “Bedah Parlemen” seri 1 yang diadakan di Kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) di Matraman, Jakarta, Kamis (22/9/2011) sore. “Sebagai mantan operator utama penggalangan dana partai penguasa, Nazaruddin dan perusahaan-perusahaannya diperkirakan telah mengelola lebih dari Rp 6 triliun proyek pemerintah,” kata Nico. Ia menduga, penggangsiran anggaran publik dalam jumlah dan cara berbeda kemungkinan juga dilakukan politisi lain, mulai dari tingkat daerah hingga pusat.

Hal ini tak terlepas dari tuntutan biaya tinggi dalam praktik politik-demokrasi di Indonesia. Ia menerangkan, pejabat partai politik (parpol) selalu dihadapkan pada dua biaya besar, yaitu menggerakkan aktivitas dan mesin parpol serta memenangi kontestasi dan membina kelangsungan basis dukungan.

Dengan sistem pemilihan langsung dan suara terbanyak, sulit membuat perencanaan ataupun perkiraan dana. Menurut alumnus Northers Illinois University ini, banyak variabel biaya dadakan atau improvisasi yang harus dilakukan untuk memastikan dan mengamankan kemenangan. “Mulai dari menjamin patronase, memelihara afiliasi, ormas, dan basis dukungan, biaya koalisi, sampai kondisi darurat politik,” ulas Nico.

Tuntutan tersebut berdampak pada penggalangan dana parpol, baik secara legal maupun sebaliknya. Jalan yang kerap ditempuh adalah dengan memanfaatkan status politik untuk menggangsir anggaran publik, baik demi kepentingan parpol maupun perorangan.

Terkait hal ini, politisi Partai Golkar yang juga aktivis Nasional Demokrat (Nasdem), Ferry Mursyidan Baldan, menilai, pemotongan pendapatan anggota DPR sebagai sumber dana partai merupakan kebijakan yang keliru. Praktik yang jamak ditetapkan parpol di Indonesia itu justru dianggapnya menjadi biang yang memicu tingkah laku koruptif.

Pasalnya, besaran gaji para wakil rakyat, menurut Ferry, sudah disesuaikan dengan level operasional dan peran yang harus diemban anggota DPR. Dengan adanya potongan, peran yang diharapkan bisa terganggu. Alhasil sejumlah anggota DPR akan berupaya menutupi potongan tersebut dengan merekayasa sumber-sumber penghasilan lain. “Bahkan biasanya itu lebih besar dari nilai potongan yang ditetapkan partainya,” ungkap Ferry.

Pandangan tersebut disanggah Hanif Dhakiri, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Menurutnya, pemotongan pendapatan anggota DPR untuk membiayai parpol justru bernilai positif. “Ini bisa memperkuat ikatan antara anggota DPR dan parpolnya,” tandas Hanif yang juga menjabat Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI. Sumbangan wakil rakyat tersebut juga dipandangnya sebagai kewajiban yang mengungkapkan tanggung jawab kepada parpol yang mengusungnya. Alasannya, tidak semua anggota partai juga pengurus partai. Tanpa keterikatan melalui sumbangan dari pendapatan sebagai wakil rakyat, yang bersangkutan bisa saja melepaskan diri dari tanggung jawab untuk membina dan mengembangkan partai.

Terkait adanya pandangan miring tentang kegiatan politisi dan parpol yang dinilai koruptif, Hanif menilainya sebagai suatu sikap skeptis yang terlalu dibesar-besarkan. “Pemerintah diragukan, DPR diragukan, politisi diragukan, penegakan hukum diragukan, ekonomi diragukan, lalu apa yang orang-orang itu percayai,” tanya Hanif.

Ia berpendapat, pemberitaan media dan serangan-serangan bertubi-tubi yang terus dilancarkan kalangan lembaga swadaya masyarakat berpengaruh besar terhadap sinisnya pandangan publik terhadap kinerja politisi dan parpol. (kompas.com, 22/9/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*