Wacana perubahan susuan kabinet (reshufle) kembali mengemuka dalam beberapa hari terakhir ini. Sejumlah kalangan, baik pengamat ataupun politisi memandang, inilah waktu yang tepat bagi Presiden SBY untuk melakukan reshuffle di lingkungan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang dia pimpin. Pasalnya, sejumlah menteri dianggap bermasalah; dari mulai tersandung kasus korupsi hingga dianggap tidak memiliki kinerja yang menggemberikan. Sejumlah menteri diisukan bakal diganti, di antaranya Menteri ESDM, Menteri BUMN, Menteri Hukum dan HAM, Menko Kesra, Menpera, dan sejumlah nama lain.
Selain menteri yang bersangkutan yang diisukan bakal diganti, sejumlah tokoh partai tentu berharap-harap cemas. Intinya, mereka berharap bahwa reshuffle akan menguntungkan partainya, meski mereka pun cemas jika Presiden SBY sampai menyentuh menteri-menteri yang berasal dari partainya.
Karena itu, sejumlah wacana digulirkan. Presiden SBY, misalnya, disarankan mengajak para pemimpin partai koalisi berbicara empat mata sebelum melakukan perubahan susunan (reshuffle) kabinet, termasuk di dalamnya Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Namun, ada juga yang menyarankan, Sekretariat Gabungan seharusnya tak ikut campur dalam keputusan reshuffle tersebut. “Ini kan hak prerogatif Presiden. Setgap jangan mengalahkan hak itu. Lain ketika memilih Kapolri, Panglima TNI, dan Gubernur, Presiden wajib berunding dengan kami (Setgap),” kata Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus Ketua DPP Partai Golkar, di Kompleks DPR, Jumat (23/9/2011).
Namun, Priyo pun mengatakan, jika nantinya Presiden ternyata tidak mengajak bicara para pemimpin partai, baik Aburizal maupun ketua parpol yang lain, harus mempercayakan putusan terbaik kepada Presiden. Meski demikian, Priyo meyakini Presiden tak akan mengambil langkah itu.
Lepas dari itu, seperti diberitakan, Presiden sudah menegaskan akan melakukan reshuffle kabinet sebelum genap dua tahun pemerintahannya pada 22 Oktober. Presiden ingin pada tiga tahun terakhir masa pemerintahannya, kabinet yang baru memiliki kinerja lebih baik dan efektif (Kompas.com, 23/9).
Tak Mendasar
Sesungguhnya, perubahan susunan kabinet (reshuffle) bukanlah hal mendasar dalam konteks perbaikan negeri ini. Pemerintah—bukan hanya pada masa SBY—sebetulnya pernah beberapa kali melakukan reshuffle. Faktanya, reshuffle kabinet tidak banyak memberikan dampak positif bagi perbaikan kondisi bangsa dan negara ini. Pasalnya, dalam konteks pemerintahan, problem mendasar negara ini sebetulnya ada dua: problem personal dan problem sistemik. Terkait problem personal, adanya pergantian sebagian anggota kabinet oleh orang-orang yangdianggap lebih kredibel mungkin sedikit akan bisa menghasilkan perbaikan. Namun, jangan lupa, problem sistemik berupa penerapan system Kapitalisme sekular yang mengarah pada neroliberalisme saat ini, itulah yang menjadi pangkal mendasar persoalan bangsa ini. Apa artinya Menteri ESDM dan Menteri BUMN diganti, misalnya, semnetara UU SDA, UU Migas, UU Minerba, atau UU Penanaman Modal—yang nyata-nyata memberikan keluasaan pihak asing untuk menguasai sumber-sumberdaya alam milik rakyat—tidak segera dicabut. Padahal keberadaan UU tersebutlah yang menjadikan negeri ini kehilangan banyak sumberdaya alam. Walhasil, selama UU berbau neoliberal ini tidak segera dicabut dan digantikan dengan UU yang bisa mengembalikan semua sumberdaya alam milik rakyat ke pemiliknya, maka tak mungkin terjadi perbaikan di negeri ini meski beberapa kali terjadi resuffle.
Kepentingan Elit
Harus diakui, reshuffle cabinet sering hanya untuk kepentingan elit, yakni sarana bagi-bagi kekuasaan, sara untuk melakukan tawar-menawar, bahkan saran untuk saling menyandera para elit politik yang memang menjadi ciri khas di negara yang menganut sistem demokrasi, sebagaimana di negeri ini. Kita tahu, demokrasi selalu meniscayakankadanya proses ‘dagang sapi’. Artinya, kalaupun terjadi perubahan susunan kabinet, bisa dipastikan itu tidak lepas dari lobi-lobi antar elit kekuasaan. Apalagi reshuffle saat ini dianggap penting bagi sebagian elit untuk ancang-ancang menjelang Pemilu 2014. Bagi partai yang kadernya bisa masuk kabinet, misalnya, tentu ia akan menambah ‘amunisi’ menjelang Pemilu 2014. Lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat? Tentu, bagi mereka itu nomor dua, tiga, bahkan mungkin nomor tiga belas.
Isu Pengalihan
Resuffle juga sangat mungkin dimunculkan sebagai cara Pemerintah untuk mengalihkan isu. Sebagaimana kita ketahui, saat ini isu yang paling santer mengemuka adalah isu korupsi; dari mulai kasus Nazaruddin hingga dugaan keterlibatan sejumlah menteri di KIB II. Di sisi lain, isu reshuffle boleh jadi juga bisa digunakan untuk menutupi sementara ketidakberdayaan Pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, kekeringan dan nasib petani, buruknya transportasi, dll. Lagi-lagi, pengalihan isu ini hanya untuk kepentingan elit penguasa, dan tidak terkait langsung dengan nasib rakyat. [Arif Billah ; LS-HTI]
hmm… lagi2 negeri anta beranta mengalami suatu masalah demi masalah yang tiada selesai-selesainya…lagi-lagi diakibatkan oleh sistem yang bobrok…semakin tidak sabar tegaknya khilafah…
Berganti berapa kali pun juga tidak akan membawa dampak apa apa selagi kebijakan negara kita masaih mengekor ke Barat. kenapa pemerintah kita takut menggali sumber sumber Islam untuk penegakan hukum negara ? Kenapa harus bersumber dari Barat (kafir) ?