[Al Islam 575] Wacana pergantian menteri atau reshuffle sudah digaungkan Presiden SBY sebagai upaya perbaikan kinerja pemerintahan. Namun, mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) menilai rencana reshuffle itu hanya masalah citra. “Ini bukan pertimbangan pribadi, tapi politis, termasuk masalah citra,” kata JK di Gedung DPR Jakarta, Senin (3/10) (Republika, 4/10/2011).
Sejumlah kalangan juga mengungkapkan hal senada. Pengamat Politik Boni Hargens, misalnya, menyebut motivasi SBY melakukan reshuffle lebih karena hitung-hitungan politik. Misal, menurut dia, karena partai koalisi besar minta tambah jatah (jabatan menteri, red.); bisa juga karena adanya ancaman pihak yang mau menghidupkan kembali kasus M Nazaruddin dan bailout Bank Century, yang jelas-jelas mengancam Partai Demokrat (Republika, 4/10, 2011).
Rapor Merah Pemerintah
Boleh jadi, di antara alasan rencana reshuflle dikarenakan ada sejumlah menteri yang memiliki ‘rapor merah’. Namun, sebenarnya bukan hanya sejumlah menteri itu yang rapornya merah. Secara keseluruhan kinerja Pemerintahan SBY menunjukkan ‘rapor merah’. Adanya rencana reshuffle itu sendiri menunjukkan bahwa Pemerintah telah gagal. Sebab, kalau memang Pemerintah berhasil, tentu tidak perlu ada reshuffle. Sebagian kecil rapor merah itu, misalnya:
Pertama: bidang ekonomi. Pemerintah belum berhasil menyejahterakan rakyat. Jumlah orang miskin menurut data BPS masih 30,02 juta jiwa. Sementara penerima raskin -nota bene orang tak mampu- sekitar 70 juta jiwa. Menurut data BPS, pada Agustus 2010 di negeri ini juga masih ada 8,32 juta orang yang beteul-betul menganggur (pengangguran terbuka). Sementara menurut LIPI jumlah orang yang setengah menganggur pada tahun 2010 mencapai 32,8 juta orang. Pada tahun 2011 diperkirakan meningkat menjadi 34,32 juta orang.
Pemerintah juga terus menambah utang. Padahal sekadar untuk membayar bunga utang saja, pada tahun 2011 menguras lebih dari Rp 100 triliun dana APBN, diperkirakan pada 2012 meningkat menjadi Rp 123,1 triliun (Antaranews.com, 23/9/2011). Itu baru bunganya, belum pokok utangnya. Bandingkan dengan total anggaran Jamkesmas untuk puluhan juta orang miskin yang hanya Rp 5,6 triliun pada tahun 2011 ini, dan belanja fungsi kesehatan yang hanya Rp 13,6 triliun di APBN 2011 (Lihat: Al-Islam, 19/1/2011).
Ironisnya, berbagai kekayaan alam milik rakyat tetap dalam genggaman pihak asing. Sekitar 90% kekayaan migas, dan 75 % kekayaan tambang kita dikuasai asing. Pemerintah bahkan begitu kesulitan untuk sekadar meminta tambahan royalti yang sesungguhnya sangat kecil dibandingkan dengan yang dinikmati perusahaan-perusahaan asing tersebut. Kasus terakhir, Pemerintah begitu kesulitan untuk memaksa PT Freeport memberikan tambahan royalti dari 1 % menjadi menjadi 3,75% -hanya 3,75%-.
Kedua: bidang pendidikan. Masih terdapat jutaan anak putus sekolah. Menurut data Kemendiknas, jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta (27,7 juta siswa tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa tingkat SMA). Dari jumlah itu, ada sekitar 2,7 juta siswa SD dan 2 juta siswa SMP terancam putus sekolah (Kompas.com, 25/7/2011).
Gedung-gedung sekolah pun banyak yang ambruk atau kondisinya memprihatinkan. Tercatat ada sekitar 153.026 ruang kelas SD dan SMP di Indonesia yang rusak dan butuh dana Rp 20,4 triliun untuk memperbaikinya (108.csr.com, 4/10/2011). Sekolah rusak tersebut sudah banyak makan korban. Terakhir, sekadar contoh kecil, di Banten seorang siswi bernama Sukniah (10 tahun) tewas saat sedang belajar karena tertimpa atap sekolahnya yang ambruk (Republika, 4/10/2011).
Ketiga: bidang politik. Kasus korupsi menjadi kasus yang paling menonjol selama Pemerintahan SBY. Mulai kasus Bank Century yang belum tuntas hingga kini, kasus wisma atlet, kasus korupsi dan suap dengan aktor utama Nazaruddin mantan Bendahara Partai Demokrat, partainya SBY, kasus kemenakertrans, dsb. Yang paling mutakhir adalah dugaan korupsi dan mafia anggaran yang melibatkan sejumlah wakil rakyat di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Di situ jelas ada kongkalikong yang melibatkan sejumlah wakil rakyat dan pihak pejabat di pemerintahan. Di tingkat daerah, sudah lama diberitakan bahwa menurut Mendagri Gamawan Fauzi, ada 155 kepada daerah yang menjadi tersangka korupsi (Vivanews.com, 11/1/2011). Itu artinya, korupsi di negeri ini sudah menjadi ‘tradisi’, bukan hanya di jajaran eksekutif, tetapi juga legislatif.
Keempat: bidang sosial dan keamanan. Kasus-kasus kejahatan masih tetap marak seperti perampokan, penipuan, pembunuhan, dan terutama tindak kejahatan seksual. Sekadar contoh, menurut data Komnas Perempuan, di Indonesia terjadi 3753 kasus perkosaan (beritabatavia.com, 21/9). Di wilayah Polda Metro saja antara Januari-September 2011 terjadi 40 kasus perkosaan, sementara tahun 2010 ada 41 kasus (vivanews, 16/9). Apa langkah Pemerintah untuk mencegah semua ini? Nyaris tidak ada.
Kelima: bidang transportasi. Sebagaimana kita ketahui, saat ini alat transportasi menjadi salah satu faktor pembunuh terbesar bangsa ini. Jika kita mau jujur, korban tewas atau luka-luka akibat kecelakaan alat transportasi jauh melebihi korban terorisme. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, hingga 31 Agustus 2011 ini saja telah terjadi 2.998 kecelakaan transportasi yang mengakibatkan 490 orang tewas dan 811 orang luka berat serta 2.027 orang luka ringan. Anehnya, terhadap korban sebanyak itu tak terlihat reaksi cepat dari Presiden SBY, sementara untuk kasus terorisme -meski tidak ada korban jiwa seperti dalam kasus ‘Bom Solo’, kecuali pelakunya- Presiden SBY begitu cepat bereaksi. Langkah apa yang dilakukan Pemerintah untuk mengatasi hal ini? Juga hampir tidak ada. Jalan-jalan tetap banyak yang berlubang. Sarana transportasi umum pun seperti kereta api tetap menggunakan stok lama yang sudah berusia puluhan tahun dan tak ada tanda-tanda diganti dengan yang baru.
Dengan semua kondisi buruk tersebut, secara keseluruhan ‘rapor merah’ justru terang-terangan dihasilkan oleh Pemerintah.
Kesalahan Sistem
Jelas, dengan semua kondisi buruk di atas, perubahan susunan kabinet (reshuffle) bukanlah hal mendasar dalam konteks perbaikan negeri ini. Pasalnya, dalam konteks pemerintahan, problem mendasar negara ini ada dua: problem personal dan problem sistemik. Terkait problem personal, adanya pergantian anggota kabinet oleh orang-orang yang dianggap lebih profesional mungkin sedikit akan bisa menghasilkan perbaikan. Namun, jangan lupa, problem sistemik berupa penerapan sistem Kapitalisme sekular yang mengarah pada Neoliberalisme saat ini, itulah yang menjadi pangkal mendasar persoalan bangsa ini. Apa artinya Menteri ESDM dan Menteri BUMN diganti, misalnya, semenetara UU SDA, UU Migas, UU Minerba, atau UU Penanaman Modal-yang nyata-nyata memberikan keluasaan pihak asing untuk menguasai sumber-sumberdaya alam milik rakyat-tidak segera dicabut. Padahal keberadaan UU tersebutlah yang menjadikan negeri ini kehilangan banyak sumberdaya alam. Walhasil, selama UU berbau neoliberal ini tidak segera dicabut dan digantikan dengan UU yang bisa mengembalikan semua sumberdaya alam milik rakyat ke pemiliknya, maka tak mungkin terjadi perbaikan di negeri ini meski beberapa kali terjadi resuffle.
Selain itu, harus diakui, reshuffle kabinet sering hanya untuk kepentingan elit, yakni sarana bagi-bagi kekuasaan, sarana untuk melakukan tawar-menawar, bahkan sarana untuk saling menyandera para elit politik yang memang menjadi ciri khas di negara yang menganut sistem demokrasi, sebagaimana di negeri ini. Apalagi reshuffle saat ini dianggap penting bagi sebagian elit untuk ancang-ancang menjelang Pemilu 2014. Sebab, sudah bukan rahasia lagi, jabatan menteri adalah ‘lumbung dana’ bagi partai yang sukses mendudukkan kadernya di kabinet. Lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat? Tentu, bagi mereka itu nomor dua, tiga, bahkan mungkin nomor tiga belas!
Ganti Personel, Ganti Sistem!
Jelaslah bahwa sekadar ganti personel (reshuffle) tidak akan banyak membawa perbaikan negeri ini. Sebab problem mendasar kerusakan di negeri ini adalah sistem sekuler demokrasi kapitalis yang diterapkan di negeri ini.
Untuk perbaikan itu, adanya personel atau pejabat yang baik yaitu yang amanah dan profesional mengurusi kemaslahatan rakyat, memang penting. Sebab Rasul saw bersabda:
« إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »
Jika urusan disandarkan (diserahkan) kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran (HR. Bukhari dan Ahmad)
Namun demikian, juga harus ditegaskan, bahwa perubahan sistem wajib dan perlu dilakukan di negeri ini. Yakni pergantian ideologi sekular menjadi ideologi Islam; pergantian sistem Kapitalisme-liberalisme menjadi sistem Islam. Caranya tidak lain dengan menegakkan secara total syariah Islam dalam bingkai sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Hanya dengan itulah perubahan benar-benar bisa bermakna dan membawa perbaikan hakiki bagi bangsa dan negeri ini. Dalam hal ini kita harus merenungkan firman Allah berikut ini dan menyiapkan jawaban untuknya di akhirat kelak.:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Sistem hukum Jahiliyahkah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam
Dalam laporan ikhtisar hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 2003 hingga semester I 2011 terjadi 305 dugaan kasus tindak pidana. Total kerugian negara dalam 305 kasus tersebut mencapai lebih dari Rp 33 triliun (detiknews.com, 4/10).
- Itulah bukti sistem kapitalisme demokrasi gagal memberantas korupsi.
- Bagaimana mau memberantas korupsi jika sistem politik demokrasi itu sendiri justru menjadi pangkal penyebabnya.
- Hanya sistem Islam yang mampu memberantas korupsi, mewujudkan pejabat dan pegawai yang amanah, profesional dan peduli rakyat. Saatnya terapkan syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
pemerintah sudah berulang kali reshufle kabinet, namun hasilnya hanya perubahan susunan kabinet.sementara kinerja pemerintah,masih tetep bermesraan dengan sistem dan hukum sekuler yang jelas-jelas sesat dan merugikan rakyat.benarkah reshufle kabinet untuk kepentingan rakyat? atau untuk melanggengkan pemerintah boneka penkhianat amanah rakyat?