Gerakan demonstrasi menentang keserakahan Wall Street di AS belakangan ini makin meluas. Gerakan yang bertema Occupy Wall Street itu, menggugat simbol pasar finansial Kapitalisme di AS itu karena dianggap sebagai salah satu penyebab ambruknya perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, mereka juga memprotes ketidakadilan ekonomi dan sosial yang dilambangkan oleh para eksekutif Wall Street, keserakahan lembaga-lembaga finansial. Mereka juga menyerukan penghentian intervensi para kapitalis melalui lobi dan dana mereka terhadap pemerintah. Michael Moore, aktivis gerakan tersebut dan juga sutradara yang sering mengkritik kegagalan Kapitalisme di AS, menyatakan bahwa tuntutan Occupy Wallstreet adalah pernyataan bersama atas korupsi yang berlangung di pemerintahan dan kuatnya pengaruh bisnis raksasa dan satu persen orang-orang kaya AS terhadap UU dan kebijakan AS.
Meskipun demikian sejumlah kalangan juga melancarkan kritik atas aksi occupy wall street tersebut. Pasalnya eksistensi dan sepak terjang Wall Street merupakan konsekuensi dari kelemahan bank sentral AS Federal Reserve dan Legislatif dalam menekurkan undang-undang yang membatasi gerak para investor. Bahkan Henry Paulson sekalipun – menteri Keuangan AS yang juga mantan CEO Goldman Sachs – turut mengakui bahwa krisis yang menimpa sektor finansial akibat terlalu bebasnya sektor tersebut sehingga diperlukan lebih banyak regulasi. Meskipun demikian, suara-suara untuk membenahi sektor tersebut hingga kini belum terwujud.
Wall Street sendiri merupakan kawasan finansial di New York dimana bursa saham terbesar di dunia New York Stock Exchange dan sejumlah lembaga keuangan raksasa seperti Goldman Sachs Group dan Morgan Stanley berkantor. Beberapa perusahaan keuangan raksasa seperti JP Morgan dan Citigroup meski tidak lagi berkantor di kawasan tersebut masih dikategorikan sebagai perusahaan-perusaahaan Wall Street.
Pengaruh Modal
Bukan rahasia lagi jika setiap kandidat presiden hingga parlemen di AS senantiasa menjadikan Wall Street sebagai sumber pendanaan kampanye mereka. Bahkan sejumlah pejabat pemerintah AS seperti Menteri Keuangan Robert Rubin di Era Bill Clinton dan Henry Paulson pada masa George W. Bush merupakan mantan CEO Goldman Sachs, perusahan raksas Wall Street. Bahkan Obama sekalipun yang berjanji mengurangi perngaruh lobi Wall Street juga takluk dibawah pengaruh para pemodal raksasa tersebut. Beberapa saat lalu misalnya Obama mengadakan perjamuan khusus dengan para eksekutif Wall Street termasuk diantaranya Burrent Buffet, salah satu orang terkaya dunia untuk meminta restu peningkatan pajak bagi orang kaya di AS. Kepala staf Menteri Keuangan Timothy Geithner juga dipimpin oleh mantan pelobi Goldmann Sachs Mark Patterson. Bahkan menurut laporan Washington Examiner Goldman Sachs merupakan penyumbang terbesar kampanye Obama tahun 2008. Dalam buku Sold Out: How Wall Street & Washington Betrayed America, disebutkan daftar belanja kampanye dan lobby lembaga-lembaga finansial (perbankan, asuransi, investasi, real estate). Untuk periode 1998-2008 dana kampanye sektor tersebut sebesar US$1,7 miliar dan dana lobby sebanyak US$ 3,4 miliar.
Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa regulasi terhadap sektor finasial di AS tidak pernah mampu membatasi keserakahan para pemodal di Wall Street. Bahkan yang terjadi adalah deregulasi yang memberikan kebebasan kepada mereka untuk menciptakan dan mengembangkan produk dan model transaksi keuangan derivatif. Padahal kerap kali krisis ekonomi yang terjadi di negara tersebut justru bersumber dari Wall Street. Tidak heran ketika Jerman dan Perancis yang didukung oleh negara-sejumlah negera Eropa pada forum G-20 meminta agar para spekulan di sektor finansial ditertibkan dengan menerapkan pajak transaksi keuangan, namun pemerintah AS serta merta menolak gagasan tesebut. Padahal kegiatan spekulasi di pasar modal merupakan salah satu bagian yang memicu krisis finansial dalam sistem kapitalisme.
Krisis finansial 2008 lalu yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman Brother merupakan salah satu buah dari keserakahan dari sektor finansial Wall Street. Triliunan rupiah dana yang bersumber dari para pembayar pajak AS dipakai untuk menyelamatkan sektor finansial tersebut. Meski alasannya untuk menyelamatkan perekonomian secara makro, namun kebijakan tersebut memiliki tendensi politik yang cukup kental untuk menyelamatkan perusahaan-perusahan tersebut. Parahnya, di tengah krisis tersebut, para petinggi perusahaan-perusaahan Wall Street masih mendapatkan bonus yang sangat fantastis. Keserakahan di Wall Street juga tercermin dari banyak kasus kriminalitas kerah putih seperti pemalsuan dan penipuan. Salah satu kasus yang cukup heboh adalah penipuan yang dilakukan oleh Maddof yang diganjar 150 tahun akibat penipuan terhadap nasabahnya yang mencapai US$ 65 miliar atau sekitar 585 triliun! Kasus Enron, World Com merupakan contoh lain bobroknya sistem finansial Kapitalisme. Belakangan Goldman Sach juga digugat di pengadilan karena dituduh memanipulasi dan menghilangkan sebagaian data data produk subrime mortgage (CDO).
Korporatokrasi
Kebobrokan Wall Street yang kini makin mendapatkan penolakan dari para penganut Kapitalisme sendiri setidaknya menujukkan beberapa pelajaran antara lain:
Pertama, besarnya ketergantungan modal terhadap para pejabat pemerintah membuat kebijakan mereka lebih berpihak pada pemodal ketimbang rakyat. Meski rakyat yang menjadi pemilih, namun dalam sistem demokrasi untuk mendapatkan simpati dan dukungan tersebut kekuatan modal menjadi kunci untuk memenangkan persaingan dalam meriah dukungan publik. Konsekuensinya tatkala kemenangan diraih maka kebijakan mereka menjadi bias sehingga lebih berpihak kepada kepentingan para pemodal yang kadangkala bertentangan dengan kepentingan rakyat. Inilah yang kerap disebut dengan korporatokrasi yakni pemerintahan yang dipengaruhi bahkan dijalankan sesuai dengan kepentingan para pemilik perusahaan.
Kedua, wall street merupakan cermin bagaimana sistem finansial kapitalisme hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan rakyat dan pemerintah. Keuntungan yang didapat dari sektor finansial memang amat menggiurkan. Berbekal analisa dan spekulasi, para investor dapat melipatgandangan keuntungan tanpa perlu banyak ‘berkeringat’. Namun demikian, tatlaka terjadi krisis para investor kemudian menuntut pemerintah untuk campur tangan. Dana talangan yang diguyurkan pemerintah AS, Uni Eropa hingga Indonesia guna menjaga stabilitas finansial merupakan bukti betapa besarnya dana publik yang dihabiskan untuk hal tersebut. Di Indonesia dapat dilihat pada kasus bank Century yang menyedot anggaran sebesar Rp 6,7 triliun dengan alasan akan berdampak sisitemik terhadap kondisi perekonomian jika tidak diselamatkan. Kemudian terbukti menurut investigas BPK, bail out tersebut mengandung banyak cacat hukum dan kerugian bank tersebut akibat keserakahan pemilikya sendiri.
Ketiga, krisis kegoncangan dan penipuan yang berlangsung di wall street dan sistem finansial kapitalisme lainnya menunjukkan rapuhnya sistem kapitalisme. Banyak yang beralasan bahwa ambruknya sistem keuangan AS akibatnya terlalu liberalnya sistem tersebut sehingga solusinya diperlukan regulasi yang lebih ketat. Akan tetapi jika merunut sejarah sistem finansial kapitalisme, di didapati bahwa sepanjang sejarahnya sistem tersebut senantiasa dihamtam krisis. Padahal berbagai regulasi telah diberlakukan dan sejumlah otoritas pengawas dibuat untuk mengamankan para pelaku di sektor tersebut. Di sisi lain dengan adanya doktrin kebebasan memiliki dan berprilaku seringkali regulasi yang ada tidak mampu mengimbangi perkembangan model produk di sektor finansial yang tumbuh dengan cepat. Selain itu, adanya conflict of interest antara regulator dan pelaku pasar seringkali menjadi celah terjadinya krisis.
Keempat, Kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme yang kini mulai digugat sendiri oleh para pengusungnya menunjukkan bahwa betapa sebenarnya masyarakat dunia sudah muak dengan sistem kapitalisme dan membutuhkan sistem yang adil, stabil dan mampu memberikan kesejahteran secara menyeluruh dan berkesinambungan. Padahal tidak ada sistem yang lebih adil dan bijaksana selain sistem yang berasal dari Allah SWT pecipta alam semesta. (M.Ishak/Lajnah Mashlahiyah HTI)
ALLAHUAKBAR!!!
terapkan syari’ah, tegakkan khilafah…
Bila para penikmat kapitalisme seperti rakyat Amerika saja sudah bosan dgn kapitalisme dan mulai merasakan dampak keburukannya, apalagi dengan kita kaum muslimin yang selama ini jadi bulan-bulanan sistem bobrok tersebut. Lawan kapitalisme segera kembali kepada sistem Islam dgn Daulah Khilafah Islamiyah sebagai motor penggeraknya
komunis hilang di ganti kapitalis lalu runtuh, ternyata orang baru nyadar bahwa sistem islam lah yang benar. subhanallah
Ideologi kapitalis yang bersumber dari faham sekularisme termasuk demokrasi di dalamnya merupakan ideologi bohong yang menghasilkan kebohongan publik yang tiada tara. Protes anak-anak negeri kapitalis ini dihadapan lembaga saham internasional misalnya wall street menunjukkan bahwa ideologi ini hanyalah menghasilkan kemiskinan yang masif di mana yang menikmati kekayaan hanya sekitar 1% sedang sisanya hanyalah buruh dengan standart hidup yang berbeda2. Spekulasi dalam pasar saham, jelas akan menghancurkan perekonomian suatu negara. Sadar atau tidak, permainan saham adalah gambling.
Tapi aneh bin ajaib, Indonesia mengikuti ideologi ediot ini, mau kemana masyarakat akan dibawa oleh pemimpin negeri ini, kecuali dalam jurang kenistaan dan kemelaratan.
hal tsb lantas tdk bsa membuat qta bersantai. krn ktika kapitalis runtuh, komunis sdh mengincar utk bangkit kembali. sdgkan kapitalis tdk ridho jk Islam kembali memimpin, kapitalis lbh ridho jk komunis yg bangkit. telah nyata kbencian mreka thdp islam