HTI Press. Tajassus adalah mengorek-ngorek suatu informasi, secara bahasa dikatakan, Jassa al-akhbar wa tajassasaha, artinya adalah mengorek-ngorek suatu informasi, baik informasi umum maupun rahasia, maka ia telah melakukan aktifitas spionase.
Hal inilah yang dibahas dalam acara Dirasah Syar’iyyah yang dilaksanakan oleh Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI Sabtu (15/10) di Kantor DPP HTI Crown Palace, Jakarta Selatan. Dirasah Syar’iyyah yang ke XVII, bertema Undang-undang Intelijen : Fakta, Bahaya dan Kritik terhadap Undang-Undang Intelijen. Menghadirkan pembicara Ust. Yahya Abdurahman dan Ust. Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy
Acara Dirasah Syar’iyyah ini dihadiri lebih dari 70 peserta yang terdiri dari Ulama, tokoh masyarakat, perwakilan ormas Islam dan Mahasiswa. Walau undangan ini dikhususkan untuk para ikhwan, namun ternyata menarik minat para mahasiswi (7 orang) yang secara khusus menjadi tamu para Syabah lalu mengamati dari ruangan lain melalui live streaming.
Acara yang dipandu oleh Ust. Muhammad Iqbal dengan elegan memandu acara di tengah antusiasme peserta.
Ust. Yahya Abdurahman menjelaskan dalam paparannya, tentang Fakta RUU intelijen menjadi UU. Dimana dalam kurun waktu 9 Tahun dan di tengah banyak kontroversi, kritik (seperti Pasal 1 ayat 4, pasal 15, pasal 25,Pasal 31, pasal 34, pasal 45) dan penolakan di dalamnya serta banyak kejadian yang menunjang agar RUU ini dijadikan Undang-Undang.
Tak lupa Ust Yahya mengingatkan bahwa UU ini berpotensi merugikan rakyat, terutama aktifis Islam, atau bahkan lawan politik ataupun jurnalis. Tentu harapannya Umat jauh lebih kritis terhadap pemerintah dan Dewan yang mulai Phobi terhadap masyarakatnya.
Lain halnya dengan Ust Syamsuddin Ramadhan sebagai pembicara kedua menjelaskan secara detail berdasarkan dalil-dalil yang sharih dan shahih tentang keharaman memata-matai warga Negara. Dimulai dari firman Allah dalam surat al Hujurat ayat 12:
“hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari kesalahan-kesalahan orang lain” (Q.S Al-Hujurat; 12).
Dan beberapa Hadits yang secara sharih menyatakan bahwa spionase terhadap komunitas muslim dan dzimmi untuk kepentingan musuh kafir harbi adalah Haram. Bahkan spionase sekiranya pun bukan untuk kepentingan musuh, mungkin untuk kepentingan spionase semata, atau kepentingan kaum muslimin, atau kepentingan negara, maka, disamping hukumnya haram, pelaku tetap dikenai ta’zir, dan syara’ tidak menetapkan hukuman tertentu.
Ust. Syamsuddin menjelaskan bahwa Hukum tajassus berbeda-beda tergantung siapa yang dimata-matai. “Jika yang dimata-matai adalah kaum muslimin atau kafir dzimmiy yang nota bene adalah rakyat negara Khilafah Islamiyah maka Hukumnya Haram.” Jelasnya. “Dan jika yang dimata-matai adalah kafir harbiy, baik hukman maupun fi’lan, maka hukum memata-matai mereka adalah jaiz bagi rakyat dan wajib bagi khalifah,” lanjutnya.
Kolaborasi kedua pembicara ini, mampu menggugah para Hadirin untuk terus dan lantang menyuarakan dan memeperjuangkan Islam di tengah penguasa yang mulai phobi terhadap Islam.
Namun, kedua pembicara juga mengingatkan tentang bagaimana Perjuangan Rasulullah dalam menegakkan Islam, yaitu “tanpa kekerasan”. Sambil terus tanpa henti membekali ummat dan membangkitkan ummat agar Islam menjadi satu-satunya solusi bagi problematika ummat dan terus memperjuangkan penerapan Syariat dan Khilafah. Wallahu’alam bishshowab.[]FM
Pada kenyataannya negara kita ini justru memposisikan rakyatnya yg beragama islam (muslim) sebagai lawan, maka akibatnya para pemim[in kita ini pada akhirnya selalu dan senatiasa mentajasusi (memata-matai) rakyatnya. bahkan bisa jadi akan mengorbankan rakyat untuk mendapatkan keuntungan sesaat. oleh sebab itu kapan lagi klo bukan sekarang waktunya kita ganti sistem yg rusak ini dg sistem yg baik/