Pembebasan Libya Jangan Menjadi Pembenaran Penjajahan Gaya Baru

Oleh : Mary Dejevsky, The Independent

Pada saat berita diperoleh dari Libya kemarin sore, pertama berita itu ditentang , kemudian menjadi penegasan, rasanya sulit untuk tidak merasa bahwa kematian Muammar Gaddafi, seorang prajurit kepala suku yang telah memimpin pasukannya ke wilayah pertahanan terakhirnya, menjadi kesudahan yang sempurna bagi pemberontakan yang mulai cemas setelah delapan bulan bertempur. Sang kolonel yang telah merebut kekuasaan dan memerintah Libya selama 42 tahun mati di tempat kelahirannya, dengan tembakan dari sebuah pistol. Wajah-wajah para para pejuang yang kelelahan, kemudian berubah menjadi kegembiraan bersorak seraya mengacungkan simbol V, melakukan tembakan senjata otomatis ke udara, menari-nari dengan spontan dan merangkul satu sama lain semuanya merupakan pelengkap dari suatu kemenangan militer klasik. Dan kemenangan itu, bagi semua klaim yang mendahuluinya, tidak pernah akan selesai hingga nasib Gaddafi ditentukan.

Akan ada orang-orang yang menyesali kenapa pemimpin Libya yang digulingkan itu tidak ditangkap hidup-hidup untuk diadili – baik di Mahkamah Pidana Internasional sebagai penjahat perang atau di negara asalnya dalam suatu tindakan pembersihan nasional yang diperlukan. Juga akan ada pertanyaan-pertanyaan, tentang pada bagian tubuh mana tepatnya, jika memang ada, serangan udara NATO berperan dalam membunuhnya, kebenaran penuh atas kematiannya mungkin masih harus diungkap. Tapi respon langsung di Libya pastilah merupakan sukacita – paling tidak pada konflik berdarah yang telah mencapai babak akhir – dan di ibukota-ibukota di negara Barat, terutama Paris dan London, yang merasa lega dan puas dengan pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik.

Dan juga – sayangnya, yang merupakan hal tak terelakkan – yakni siklus merusak pembenaran neokolonialisme yang akan terus terjadi. Dalam memberi ucapan selamat kepada diri sendiri dan kepada satu sama lain, dan kepada angkatan bersenjata mereka sendiri dan angkatan bersenjata masing-masing, David Cameron dan Nicolas Sarkozy akan membuat panas persepsi bahwa operasi-operasi semacam ini yang dilakukan Barat tersebut tidak hanya layak dilakukan, tapi juga diinginkan. Dikisahkan bahwa para hantu dari Irak akan dibaringkan ; doktrin intervensi kemanusiaan liberal atas kehidupan akan diperselisihkan di hari-hari lain. Hal yang “benar” telah dilakukan.

Bahwa ada intervensi luar yang membantu para pemberontak Libya tidaklah diragukan. Seberapa jauh intervensi itu bisa memfasilitasi – dan bukan hanya mempercepat – kemenangan kaum oposisi akan diperdebatkan oleh para analis politik dan sejarawan dalam bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang. Tapi fakta bahwa suatu operasi seperti yang dilakukan terutama oleh Inggris dan Prancis yang terbukti di Libya (pada akhirnya) menjadi hal yang mungkin dan membantu memberikan hasil yang diinginkan tidaklah membuat hal itu menjadi bijaksana, yang tercermin dari kepentingan nasional jangka panjang Inggris, Perancis atau AS, atau bahkan membuatnya benar secara moral.

Yang merupakan godaan pada saat ini atas sukses di Libya akan dikutip sebagai pembenaran dalam dirinya sendiri dan menjadi sebuah preseden bagi intervensi militer di tempat lain. Perang-perang di Irak dan Afghanistan, yang memakan begitu banyak korban dan menyebabkan kerusakan begitu parah, akan dikesampingkan sebagai suatu penyimpangan yang disayangkan terjadi. Namun, kampanye atas intervensi ini yang disalahpahami dan dikelola dengan buruk akan terlihat di masa depan sebagai suatu kegagalan yang darinya pelajaran-pelajaran berharga dapat diambil.

Memang benar ada sangat banyak cara di mana intervensi Inggris dan Perancis di Libya dapat dilihat, tahap demi tahap, sebagai intervensi yang non-Irak. Ada keadaan darurat yang memang benar terjadi – ancaman terhadap penduduk kota kedua terbesar di Libya, Benghazi – membuka jalan bagi suatu resolusi PBB pada penggunaan serangan udara untuk melindungi warga sipil. Ketika Jerman, antara lain, mengajukan keberatan atas setiap intervensi, pada dasarnya apa yang diikuti à la carte intervention (intervensi yang sesuai menu), “suatu koalisi yang bersedia”, yang dipimpin oleh Perancis dan Inggris, untuk menghindari kepahitan di antara pasukan sekutu terlibat di Irak. Operasi-operasi, meskipun pada awalnya dipelopori oleh Amerika Serikat, kemudian dilanjutkan oleh Inggris dan Perancis di bawah naungan NATO. Jadi yang mereka bernaung dibawah legitimasi internasional dan didukung dengan adanya kekompakan serangan udara pasukan sekutu.

Intervensi itu sendiri memberikan bukti atas pelajaran yang banyak bisa diambil dari Irak. Tidak ada usaha atau bahkan kehadiran pasukan yang bergerak lincah di darat. Infiltrasi pasukan khusus hanya merupakan cadangan – dan hal inipun disangkal. Semua operasi-operasi lainnya dilakukan dari udara. Sejauh yang diketahui, tidak ada prajurit Inggris, Prancis atau Amerika baik laku maupun perempuan yang hilang. Sejauh yang diketahui, juga, hanya ada beberapa kesalahan penargetan yang mengakibatkan kematian warga sipil. Dan ketika kota-kota jatuh ke tangan para pemberontak, keadaan darurat disiapkan bagi pembentukan kembali suatu tatanan masyarakat dan pemulihan layanan publik. Sebuah pemerintahan sementara siap untuk mengambil alih bahkan sebelum pertempuran singkat di Tripoli itu berakhir. Kekosongan kekuasaan yang ditakdirkan terjadi di Irak tidak dibiarkan berkembang.

Di atas semuanya, suatu kesan diciptakan, baik bagi khalayak dalam negeri maupun asing, bahwa perang sipil, seperti itu, sedang diperjuangkan dan dimenangkan oleh kekuatan pihak oposisi Libya sendiri. Dukungan apapun yang diberikan dari luar selain serangan udara – seperti pelatihan, dukungan senjata, keuangan, yang semuanya telah disebutkan – tidak pernah dibicarakan. Dari sejak awal, Dewan Transisi Nasional (NTC) diperlakukan oleh para menteri Barat bukan sebagai klien sebuah pemerintahan, tetapi sebagai pemerintah yang sedang menunggu. Kemenangan, ketika hal itu datang, menjadi salah satu klaim rakyat Libia sebagai milik mereka.

Sejauh bahwa kekuasaan di Irak telah berubah dan bahwa intervensi militer asing tetap dibatasi, dapat dikatakan bahwa sudah diambil pelajaran dari Irak. Dan syukurlah. Bagaimanapun, untuk bisa meramalkan hal ini, bahwa intervensi dalam suatu revolusi rakyat di lain negara atau perang saudara memiliki masa depan yang mulia, atau bahkan bahwa “masyarakat internasional” memiliki kewajiban moral untuk membantu menggulingkan pemimpin otoriter atau diktator dimanapun, tidak hanya merupakan suatu yang salah, tapi benar-benar suatu hal yang berbahaya.

Pembenaran khusus untuk dilakukanya intervensi internasional di Libya – untuk melindungi warga sipil – telah ditafsirkan dengan lebih longgar ketika konflik usai, ke titik di mana ia berisiko akan kehilangan sebagian besar artinya. Dengan demikian, NATO akan menjadi tertuduh bahwa organisasi itu adalah mengubah aturan agar sesuai dengan dirinya sendiri, yang bisa membuat lebih sulit bagi siapapun untuk bisa memberikan argumen yang sama dalam mendukung resolusi PBB yang serupa di masa depan.

Namun, hal ini tidak berarti bukanlan menjadi satu-satunya, atau bahkan yang utama, dari  bahaya atas seruan untuk melakukan operasi Libya sebagai cetak biru untuk intervensi baru di masa depan.

Bahaya yang pertama adalah pertanyaan tentang ketergantungan. Meskipun perhatian besar telah diambil untuk menyajikan penggulingan Gaddafi karena sebagai pekerjaan rakyat Libya sendiri, intervensi Barat paling tidak mempercepat penggulingan itu. Agar bisa berhasil, setiap perubahan rezim harus mampu menopang dirinya sendiri. Sampai saat ini, koherensi NTC belum sepenuhnya meyakinkan. Intervensi dapat menghambat maupun juga membantu penggulingan itu.

Bahasa yang kedua, sementara tidak ada nyawa serdadu Inggris atau Prancis yang hilang, ini tidak berarti bahwa operasi di Libya tidak mengeluarkan biaya. Operasi ini memerlukan biaya miliaran dollar bagi kedua negara, pada saat keduanya memaksakan penghematan di dalam negeri. Akses-akses istimewa kepada minyak Libya, bahkan jika ini adalah sebagian tujuan dari intervensi yang dilakukan, tampaknya tidak akan mencukupi.

Ketiga, baik benar maupun salah, intervensi di Libya, tidak dapat dihindari, akan mengirimkan pesan kepada pihak oposisi lain – terutama di Suriah – bahwa mereka (NATO) tidak layak membantu. Kejatuhan (rezim) tidak berarti positif, jika – rezim di sana juga berubah.

Keempat , dan yang paling berbahaya dari semuanya dari misi Libya yang terbatas ini- tetapi pada skala penuh – bisa memungkinkan dua mantan penguasa kolonial menengah untuk percaya bahwa pihak militer mereka bisa menjangkau wilayah yang lebih jauh dari yang sebenarnya, atau yang seharusnya. Konsekuensi terburuk dari operasi Libya adalah jika persepsi atas keberhasilan dalam membujuk pemerintah abad di abad ke-21 bahwa sejumlah kecil kekuatan udara bisa menggantikan diplomasi kapal-kapal perang tua.

Sumber: Independent.co.uk (21/10/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*