Deradikalisasi dan Pelarangan Buku-Buku Islam; Proyek Gagal dan Berbahaya

Oleh: Arief B. Iskandar, Redaktur Al-Wa’ie

Setelah terorisme, saat ini deradikalisasi menjadi istilah yang mulai populer. Boleh jadi, isu deradikalisasi bakal menggeser isu korupsi. Apalagi kini deradikalisasi—sebagai bagian dari proyek kontraterorisme yang dicanangkan Pemerintah—tampaknya mulai menyasar buku-buku Islam, khususnya yang bertemakan syariah, jihad dan khilafah.

Sebagaimana diberitakan, pengelola dan pengunjung sejumlah toko buku di Tanjungbalai Karimun, Rabu (19/10/2011) sekitar pukul 14:30 WIB dibuat kaget dengan inspeksi mendadak (sidak) Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Tanjungbalai Karimun, Hanjaya Candra SH dengan beberapa orang stafnya. Sidak yang dilakukan Kejaksaan Negeri Tanjungbalai Karimun tersebut terkait peredaran sembilan judul buku Islam yang dianggapnya terlarang.

Tanjung Balai Karimun adalah ibu kota kabupaten Karimun yang terletak di provinsi Kepulauan Riau. Sidak tersebut di antaranya dilakukan di Toko Buku Salemba (depan kantor Imigrasi, Kolong), Toko Buku Bintaro (samping Swalayan Indo A Yani), Jack Agency (depan BNI), Toko Buku Al-Kautsar (Pasar Sri Karimun). Setidaknya ada Sembilan buku yang menjadi pengawasan Kejari Tanjungbalai Karimun.

Hanjaya Candra SH, Kasi Intel Kejari Tanjungbalai Karimun kepada wartawan mengatakan, ada 9 judul buku yang dicekal peredarannya di Indonesia termasuk di Kabupaten Karimun oleh Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI. Hal itu karena isi buku tersebut dinilai beraliran keras dan menyimpang dari ajaran agama tertentu. Selain itu, buku tersebut dikhawatirkan akan cenderung menciptakan bentuk-bentuk pemikiran terorisme bagi pembacanya. “Ke sembilan judul buku tersebut dikhawatirkan membuat pembacanya terprovokasi mengikuti teori-teori yang dipaparkan,” kata Hanjaya Candra usai sidak.

Kesembilan buku yang menjadi pengawasan Kejari adalah:

  1. Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 2 (karangan Sayyid Qutbh, Diterjemahkan oleh As’ad Yasin-Muahotob Hamzah, Terbitan Gema Insani Depok-Jakarta 2001).
  2. Loyalitas dan Anti Loyalitas dalam Islam (karangan Muhammad bin Sa’id Al Qathani diterjemahkan oleh Salahudin bin Abu Sayid terbitan PT Era Adi Citra Intermedia-Solo 2009).
  3. Ikrar Perjuangan Islam (karangan DR Najih Ibrahim diterjemahkan oleh Abu Ayub Ansyori terbitan Pustaka Al Alaq dan Al Qowam-Solo 2009).
  4. Khilafah Islamiyah-Suatu Realita bukan Khayalan (karangan Prof DR Syeikh Yusuf Al Qaradawi diterjemahkan oleh Ahmad Nuryadi, terbitan PT Fikahati Aneka-Jakarta 2000).
  5. Kado Istimewa untuk Sang Mujahid (karangan Syakh Dr Abdullah Azman, diterjemahkan oleh Abdul Fattan Al Bourie, terbitan PT Pustaka Al Alaq-Solo 2008).
  6. Catatan dari Penjara – Untuk Mengamalkan dan Menegakan Dinul Islam (karangan Abu Bakar Ba’asyir, terbitan Mushaf, Depol Jawa Barat, 2008).
  7. Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah (karangan Syabab Hizbut Thahtir Inggris, diterjemahkan oleh M Ramdhan Adi, terbitan Pustaka Thariqul Izzan, Bogor 2008).
  8. Syariat Islam-Solusi Universal (karangan Prof Wahbah Az Zuhali, diterjemahkan oleh Ridwan Yahya LC, terbitan Pustaka Nuwaitu, Jakarta Timur 2004).
  9. Visi Politik Gerakan Jihad karangan Hazim Al Madanidan Abu Mus’ab As Suri, diterjemahkan oleh Luqman Hakim Lc dan Umarul Faruq Lc, terbitan Jazera, Solo 2010. (Eramuslim.com, 20/10/2011).

Tentu, kebijakan Pemerintah ini sudah di luar akal sehat alias ngawur. Sebab, bukankah tema syariah, jihad dan khilafah sudah lama termaktub dalam kitab-kitab para ulama sejak dulu, bahkan biasa menjadi rujukan para santri di pesantren-pesantren; sementara kasus-kasus terorisme baru balakang saja muncul? Kalau memang buku-buku tersebut dianggap mendorong orang melakukan tindak terorisme, mengapa aksi-aksi terror tersebut baru belakangan terjadi, tidak sejak puluhan atau ratusan tahun lalu sejak kitab-kitab yang membahas tema-tema tersebut ditulis para ulama? Lagipula, dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar—yang tentu menguraikan langsung makna-makna al-Quran—ketiga istilah tersebut bukan istilah asing.

Jelas, jika benar-benar Pemerintah melakukan pengawasan dan pelarangan terhadap buku-buku Islam, umat Islam akan mudah menyimpulkan, bahwa Pemerintah benar-benar sedang memusuhi mereka. Tentu, ini kontraproduktif dan berbahaya.

Deradikalisasi=Deislamisasi

Sejatinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai biang munculnya aksi-aksi terorisme. Pertanyaannya: siapa yang melakukan—termasuk yang mendorong—aksi radikalisasi selama ini?

Terkait dengan itu, “Bom Solo” sebagai kasus paling mutakhir dalam fragmen terorisme di Tanah Air, misalnya, mau tidak mau memaksa umat Islam untuk mempertanyakan kembali paling tidak dua hal. Pertama: dari aspek politik, sejauh mana kasus-kasus tindakan terorisme itu murni dilakukan oleh pelaku ataukah memang ada rekayasa intelijen, terutama dikaitkan dengan upaya ‘radikalisasi’ dengan target memojokkan kelompok-kelompok Islam.

Maklum, kemungkinan tersebut sering dimunculkan oleh sebagian tokoh Muslim dikaitkan dengan agenda global Amerika Serikat: War on Terrorisme (WOT). Dalam kasus “Bom Solo’, indikasi adanya ‘radikalisasi’ pihak luar ini tampak ‘nyata’. Paling tidak karena pelakunya sudah diketahui oleh aparat/pemerintah (ingat pidato SBY sesaat setelah ‘Bom Solo’ meledak) sebagai ‘Jaringan Cirebon’, padahal belum dilakukan penyelidikan.

Artinya, di sini kemungkinan aksi teror sudah diketahui sebelumnya, tetapi kemudian seolah-olah terjadi pembiaran agar taget ‘radikalisasi’ tercapai. Tujuannya, salah satunya, terkait dengan kepentingan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Intelijen. Artinya, Pemerintah sepertinya memerlukan legitimasi lebih untuk mengesahkan RUU tersebut. ‘Radikalisasi’ adalah salah satu pintu yang bisa dimasuki. Terbukti, RUU Intelijen segera disahkan menjadi UU tidak lama setelah kasus ‘Bom Solo’.

Kedua, aspek syar’i. Tak bisa dipungkiri, radikalisasi memang sangat mungkin terjadi pada orang atau kelompok tertentu, khususnya terkait dengan terminologi jihad. Pasalnya, bagaimanapun tindakan terorisme yang dilakukan oleh sebagian anggota dari kelompok Islam selalu diklaim sebagai aktivitas jihad sebagai salah satu kewajiban dalam Islam. Terlepas dari aspek politik, bagi kalangan yang disebut-sebut oleh Barat sebagai ‘teroris’ atau ‘radikal’, jihad memang dimaknai semata-mata sebagai ‘perang suci’, yakni perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.

Dalam konteks syariah, makna jihad sebagai perang tentu tidak salah. Bahkan terkait jihad ini, dalam beberapa ayat Allah SWT langsung menggunakan kata qital (perang), yang tentu tidak bisa dibelokkan ke makna selain perang. Allah SWT, misalnya, berfirman: Perangilah orang-orang yang tidak mengimani Allah dan Hari Akhir (QS [9]: 29); Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata hanya milik Allah (QS [8]: 39).

Rasul saw. juga pernah bersabda, “Siapa saja yang berperang dengan tujuan menjadikan kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, maka ia berada di jalan Allah.” (HR al-Bukhari).

Memang al-Quran maupun as-Sunnah tetap menggunakan kata jihad (lihat, antara lain: QS [2]: 218; [8]: 72; [9]: 73). Meskipun kata jihad dalam ayat-ayat ini bisa multitafsir, hampir semua mufassir memakni kata jihad dalm ayat-ayat ini sebagai perang karena didukung oleh sejumlah qarînah (indikasi) seperti fî sabîlillâh (di jalan Allah), jâhadû wa hâjarû (berjihad dan berhijrah), waghluzh ‘alayhim (bersikap keraslah terhadap mereka [orang-orang kafir]), bi amwâlihim wa anfusihim (dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka), dll. Di dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata (Lihat Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, I/12).

Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4).

Jika demikian, apakah tindakan terorisme atas nama jihad bisa dibenarkan? Tentu tidak! Pasalnya, jihad dalam konotasi perang tetap mensyaratkan sejumlah hal, antara lain berlangsung dalam wilayah perang, bukan dalam wilayah damai seperti di Indonesia.

Terorisme Bukan Jihad

Dari sedikit paparan di atas, jelas sekali bahwa tindakan terorisme (seperti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri di wilayah Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya: (1) Tindakan tersebut dilakukan bukan dalam wilayah perang; (2) Tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar (QS al-Isra’ [17]: 33; QS. an-Nisa’ [4]: 93; QS an-Nisa’ [4]: 29).

Bahkan, jika pun korbannya adalah orang non-Muslim yang terkategori dzimmi, tetap tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh kafir dzimmi tanpa dia (kafir dzimmi) itu melakukan kejahatan, maka pembunuhnya harus dibunuh (HR al-Baihaqi).

Jangankah membunuh kafir dzimmi, sekadar menyakitinya pun tetap haram. Sebab, Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Siapa saja yang menuduh tanpa bukti kafir dzimmi, maka hukuman bagi pelakunya di akhirat adalah dicambuk dengan cambuk yang terbuat dari api neraka.” (HR ath-Thabrani).

Deradikalisasi: Proyek Gagal dan Berbahaya

Harus diakui, munculnya banyak kasus tindakan terorisme salah satunya diakibatkan oleh pemahaman sebagian Muslim atas jihad yang di luar konteksnya. Namun, upaya deradikalisasi—dengan menyederhanakan makna jihad sekadar pada makna bahasanya semata-mata sebagai sungguh-sungguh atau mengerahkan kemampuan dan tenaga untuk meraih tujuan—tidak akan bisa menghentikan aksi-aksi kekerasan atas nama agama tersebut. Upaya deradikaliasi semacam ini akan kontraproduktif dan berbahaya.

Apalagi jika deradikalisasi kini mulai menyasar buku-buku Islam. Sebab, sejauh ini, di kalangan pesantren sendiri, kitab-kitab yang membahas jihad dengan makna perang tetap menjadi rujukan utama para santri hingga kini. Ini karena pengertian tersebut dipahami para ulama secara langsung dari nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang memang tidak memiliki pengertian lain selain perang, sebagaimana terpapar di atas.

Karena itu, mereka yang memahami secara mendalam makna jihad tentu tidak akan mudah digiring ke arah pemaknaan bahasa semata. Bahkan upaya deradikalisasi dengan ‘menyimpangkan’ makna jihad ini bisa menumbuhkan kecurigaan baru, yaitu sekadar ingin mengelabui umat. Kecurigaan ini bukan sekadar wacana.

Apalagi saat ini proyek deradikalisasi bukan sekadar menyasar terminologi jihad, tertapi juga menyentuh langsung istilah-istilah Islam lainnya yang sudah baku, seperti istilah syariah, thaghut, ulil amri, khilafah, dawlah Islam, darul kufur, dll. Atas nama deradikalisasi, makna-makna yang sudah baku selama berabad-abad tersebut, yang bahkan telah menjadi ‘ijmak’ (konvensi) para ulama, kemudian direduksi sedemikian rupa dengan cara-cara yang serampangan.

Karena itu, wajar jika di kalangan beberapa gerakan Islam, upaya-upaya deradikalisasi ini akhirnya sekadar dianggap sebagai kepanjangan tangan dari apa yang mereka sebut sebagai kafir imperialis yang dimotori Amerika Serikat. Tujuannya adalah dalam rangka deislamisasi, yang pada akhirnya melemahkan perlawanan kaum Muslim terhadap imperialisme mereka.

Pemerintah Harus Belajar!

Jelas, jika Pemerintah—dalam hal ini diwakili oleh BNPT—tetap memaksakan proyek deradikalisasi, selain pasti akan menunai kegagalan, juga amat berbahaya. Yang terjadi boleh jadi proyek tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya menyimpangkan Islam.

Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum Muslim, yang tentu tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah. Ini jelas bisa lebih berbahaya daripada terorisme itu sendiri.

Karena itu, yang harusnya dilakukan adalah: Pertama, seharusnya Pemerintah tidak terus-menerus ikut permainan politik Amerika Serikat atas nama War on Terrorism. Sebab, faktanya Perang Melawan Terorisme yang dikomandani Amerika Serikat terbukti justru memunculkan aksi-aksi teror baru. Sebab, sejak awal Perang Melawan Terorisme adalah ilegal karena didasarkan pada sebuah kebohongan, baik terkait Peristiwa 11 September yang hingga kini masih dipertanyakan keabsahan pelakunya (apakah benar-benar al-Qaidah) maupun terkait senjata pemusnah massal di Irak yang menjadi cikal-bakal Amerika Serikat memulai serangan dan pendudukan atas negeri tersebut, juga atas Afganistan.

Kedua, seharusnya Pemerintah memahami keinginan rakyat, khususnya umat Islam, yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing, terjadinya banyak kasus amoral (perzinaan, perselingkuhan, pemerkosaan), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dll adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat. Kita semua tentu tidak menghendaki sejumlah ‘revolusi’ di Timur Tengah yang telah menimbulkan ribuan korban jiwa—terutama karena dipicu tindakan represif aparat—menular ke Indonesia. Yang kita kehendaki adalah perubahan damai ke arah yang lebih baik.

Kedua, seharusnya Pemerintah sudah saatnya jujur menyadari, bahwa berbagai keterpurukan yang melanda negeri ini adalah akibat syariah Islam tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Pemerintah sejatinya tidak keukeuh untuk berkubang dalam ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal yang menjadi biang masalah di negeri ini. Cukuplah krisis dan kebangkrutan Amerika dan Eropa saat ini menjadi bukti tak terbantahkan dari kegagalan ideologi dan sistem Kapitalisme, justru di negeri asalnya.

Karena itu, daripada negeri ini nantinya makin terpuruk akibat terus-menerus menerapkan ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal, Pemerintah sejatinya segera berpaling pada syariah dan Khilafah yang pasti mampu menyelesaikan semua problem yang mendera bangsa ini, bukan malah memerangi para pejuangnya atas nama proyek deradikalisasi dan kontraterorisme. Jika itu tidak dilakukan, berarti Pemerintah memang tak mau belajar.

Khatimah

Bagi kaum Muslim, proyek deradikaliasasi harus dipahami sebagai bukti kebangkrutan sekaligus kekalahan ideologi Kapitalisme dalam menghadapi ideologi dan sistem Islam. Karena itu, semua ini seharusnya semakin meyakinkan kaum Muslim tentang kebenaran Islam dan akan kembalinya kemenangan Islam. Tidak mustahil, sebagaimana diprediksi oleh kalangan Barat sendiri, berdirinya kembali Khilafah Islam global—yang akan menggusur seluruh tatanan Kapitalisme global yang diusung Barat—hanya masalah waktu. Yang jelas, janji Allah SWT dan Rasul-Nya tentang akan kembalinya era Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah adalah pasti. Namun, semuanya tentu berpulang kepada kaum Muslim; Maukah kita semua menyongsong Khilafah baru tersebut dengan turut melibatkan diri dalam seluruh perjuangan untuk mewujudkannya?! Jika tidak, sungguh terlalu! []

Sumber: eramuslim.com

3 comments

  1. Retno Hanifah

    memanglah pemerintah semakin ngawur. kalo tentang film tentang homoseks, pakaian yang hampir telanjang malah ga papa. bahkan dilindungi. tapi kalo sudah berbau islam, pengennya segera dimatikan. seperti bukan negeri muslim dengan pemerintahan kaum muslimin saja

  2. Wahai Para penguasa bertobatlah sebelum ajal menjemput ingat Yahudi dan Nasrani tidak senang dengan Islam sampai kamu masuk kedalam golongan mereka. Azab Allah sangat pedih dan kekal.

  3. Wahai Para Penguasa Negeri ini ingatlah Yahudi Dan Nasrani tidak akan senang sampai kamu masuk kedalam Golongan Mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*