Benar, Sipil Demokratik Seluruhnya Bertentangan Dengan Islam
Dr Yusuf Qaradhawi dalam khotbah Jum’at (21/10/2011) menyerukan rakyat Libya untuk mendirikan “Republik Islam Sipil Demokratik”. Qaradhawi melihat bahwa “Tidak ada pertentangan antara Islam dengan sipil demokratik.” Qaradhawi menyerukan untuk mengadakan sebuah perhimpunan yang meliputi Mesir, Libya dan Tunisia, dengan mengatakan: “Semua urusan harus distabilkan, dan membentuk semacam perhimpunan sehingga dunia menyatu. Kami telah melihat hal itu pada Eropa dan Asia. Dan kami tidak melihat dari perhimpunan-perhimpunan ini, melainkan kebaikan bagi orang-orangnya. Lalu, mengapa para pejuang revolusi yang terbaik ini tidak membentuk perhimpunan antara yang satu dengan yang lainnya.”
Kami, sejak awal sangat memuji seruan untuk penyatuan negeri-negeri kaum Muslim, di mana hal itu merupakan kewajiban yang dituntut oleh syariah Islam. Dan kewajiban terkait penyatuan ini akan terwujudkan hanya dalam naungan negara Khilafah.
Akan tetapi, kami harus memperingatkan suatu konsep (pemahaman) yang sangat berbahaya, yang karena konsep ini, kami tetap berada di bawah naungan rezim boneka yang korup. Lebih dari itu konsep ini akan membawa kami pada dosa dan azab Allah, semoga Allah melindungi kami dan juga kalian dari konsep yang sangat berbahaya ini, yaitu konsep bahwa “Tidak ada pertentangan antara Islam dengan sipil demokratik.”
Mengkhususkan pengertian demokrasi dengan mekanisme pemilu yang memungkinkan masyarakat untuk memilih siapa saja yang akan mewakili mereka di lembaga legislatif (parlemen), dan yang oleh sebagian dianggap sejajar dengan “Majlis Syuro”, sementara syuro merupakan aktivitas syar’iy yang diperintahkan berdasarkan nash-nash syara’.
Sungguh, mengkhususkan pengertian demokrasi dengan mekanisme pemilu merupakan perkara remeh dan sepele, namun membawa pada hasil yang keliru dalam menetapkan hukum syariah yang benar. Sementara menghukumi sesuatu merupakan cabang (bagian) dari gambarannya (tentang sesuatu itu).
Demokrasi, dalam kenyataannya adalah lebih dari sekedar proses pemilu untuk menjadikan sistem pemerintahan terpancar dari akidah sekulerisme yang berdasarkan pada pemisahan agama dari kehidupan. Dewan Legislatif, apapun namanya, tidak lain adalah pembuat hukum atas nama rakyat, dan didasarkan pada kedaulatan milik rakyat, menurut klaim para pemuja dan pengusung demokrasi. Di sinilah adanya pertentangan yang menyeluruh antara demokrasi dengan syariah Islam. Konstitusi Islam berdasarkan akidah Islam yang mengharuskan bahwa hukum hanya dari Allah, dan kedaulatan milik syara’ bukan yang lainnya.
Benar, bahwa Islam menganjurkan syuro, dengan umat memilih siapa yang akan mewakilinya di Majlis Umah atau Majlis Syuro. Namun, tidak ada bagi Majlis Syuro, dan tidak pula bagi Khalifah yang berkuasa, berhak untuk membuat undang-undang di luar hukum-hukum syara’ yang didasarkan pada sumber-sumber perundang-undangan yang turun melalui wahyu ilahi.
Adapun sistem Republik, maka ia merupakan tetesan sistem sekuler, di mana segelintir kelompok yang berkuasa memperbudak rakyat, mulai dari pembuatan konstitusi hingga penerapan hukum yang dibuat oleh manusia, yang disejajarkan dengan Allah dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Sementara nash-nash syara’ yang berasal dari Rasulullah Saw dan Ijma’ sahabat mewajibkan untuk membaiat seorang imam, atau Khalifah kaum Muslim.
Seorang sahabat bernama Rabi’ bin Amir ra. benar-benar telah mengungkapkan esensi dari sistem Islam dengan ungkapan yang sangat menyentuh, ketika menjawab pertanyaan Rustam, Panglima Persia: “Apa yang kalian bawa?” Rabi’ menjawab: “Allah mengutus kami supaya kami mengeluarkan siapa saja dari menyembah manusia menuju menyembah Allah, dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia, dan dari ketidakadilan agama-agama menuju keadilan Islam.”
Adapun istilah “negara sipil” yang akhir-akhir ini banyak diperdagangkan, maka itu tidak lain hanyalah sebuah upaya putus asa oleh para pendukung sekularisme untuk menipu pendengaran kaum Muslim. Tentu, yang akan keluar dari orang yang ke mana-mana mengatakan hal itu: “Kami tidak bermaksud lain, kecuali makna Islam dalam syuro dan demokrasi Islam!”
Kami katakan kepada mereka: “Penilaian itu bukan dengan apa yang kalian maksud, atau tidak kalian maksud.” Sungguh Allah SWT melarang kami dari menyerupai orang kafir. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan: “Râ’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 104).
Jika kita berasumsi bahwa makna dari istilah yang diimpor dan makna Islam itu sesuai, maka sungguh Tuhan kami telah mencukupkan kami dari bersandar pada manusia, dan kami diwajibkan hanya bersandar pada makna Islam. Apalagi jika maknanya berbeda bahkan bertentangan?
Dalam konteks ini, kami merasa aneh dengan seruan persatuan dalam bentuk yang terputus dan kurang, bahkan ia sangat berbeda dengan apa yang dibawa oleh agama kami yang agung.
Islam mewajibkan persatuan kaum Muslim di bawah kepemimpinan Khalifah, yang menyatukan mereka kembali, melindungi tanah air mereka, dan menjamin pelaksanaan semua ketentuan agama. Sehingga, yang harus adalah mengingatkan semua umat, termasuk rakyat Mesir, Tunisia dan Libya akan wajibnya membaiat Khalifa yang diberi mandat untuk melaksanakan semua hukum Allah. Dan kebaikan itu ada dalam seruan untuk mendirikan Khilafah yang dilakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, bukan karena dorongan yang diarahkan oleh bangsa-bangsa Eropa atau lainnya.
Umat manusia belum lama ini telah melihat saat sekarat dan matinya sistem Sosialisme Marxis di Eropa Timur. Dan hari ini umat manusia sedang menyaksikan runtuhnya sistem Kapitalisme di Barat. Kedua sistem ini tegak di atas perbudakan yang dilakukan para manusia (penguasa) tiran atas manusia (rakyat). Umat manusia saat ini sedang menantikan fajar baru Islam yang akan menyelamatkannya dari kesempitan dan penderitaan hidup, serta mengeluarkannya menuju keluasan dunia dan akhirat. Ini adalah kesempatan dan momentum bagi umat Islam untuk meninggikan kalimat Tauhid-Lâ Ilâha Illallâh Muhammad Rasulullâh, Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah-dengan menerapkan syariah-Nya, dan mengemban risalah-Nya kepada seluruh umat manusia. Dan untuk inilah, Hizbut Tahrir menyeru kalian agar beraktivitas bersamanya guna meraih ridha Allah di dunia dan akhirat, dengan mendirikan Khilafah yang tegak di atas metode kenabian, di mana kabar gembira akan kembalinya lagi Khilafah telah disampaikan oleh Rasulullah Saw.
Allah SWT berfirman: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (TQS. Al-Maidah [5] : 48).
(Osman Bakhash, Direktur Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir)
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 24/10/2011.
kita harus meyakini bahwa janji Allah SWT pasti benar. Demikian halnya dengan berita Rasul yang mulia sayyiduna Muhammad SAW pasti benar adanya. Allah SWT hanya menguji kita siapa diantara hamba-hambaNya yang paling baik amalnya, yaitu yang paling sesuai dengan tuntunan Rasul SAW. Untuk itu penerapan Islam melalui suatu institusi jika tidak ittiba’ pada metode yang mulia Rasul SAW akan menyebabkan amal kita tertolak. naudzubillah. Mari bersabar dalam melaksanakan perintah Allah, dan mari bersabar untuk tidak berma’shiyat kepadaNya. Buang demokrasi, tegakkan khilafah. Allahu ‘lmusta’an. Allhamdulillah…