Rangkaian kekerasan masih saja terjadi di bumi Papua. Sejak Juli ke Agustus, ada delapan peristiwa kekerasan dan bentrok di Papua. Pada 31 Juli lalu terjadi konflik antar warga terkait perebutan kekuasaan politik di kawasan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya. Akibat dari beberapa aksi kekerasan itu setidaknya 20 orang tewas menjadi korban.
Setelah rangkaian kekerasan dan bentrok itu mereda, bumi Papua kembali diramaikan oleh mencuatnya kasus pemogokan para pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI). Mereka menuntut kenaikan upah akan mendekati standar upah par pekerja tambang khususnya pekerja tambang Freeport di belahan dunia lainnya khususnya yang di Amerika baik utara maupun selatan. Menejemen PTFI menolak tuntutan para karyawan tersebut. Akibat kebuntuan itu maka aksi mogok karyawan pun makin membesar dan meluar hingga akhirnya para karyawan memblokade jalan masuk ke PTFI. Namun dalam perkembangannya, aksi mogok itu menjadi aksi anarkis dan terjadi bentrok dengan aparat keamanan hingga akhirnya jatuh korban satu orang tewas. Masalah aksi mogok karyawan dan adanya kekerasan dan bentrok itu hingga kini belum bisa diselesaikan dengan tuntas.
Di luar itu, di Papua terjadi serangkaian kasus penembankan. Rangkaian kasus penembakan yang terjadi di Papua mengingatkan pada kasus serupa yang terjadi pada paruh kedua Juni lalu. Saat itu, lima orang tak dikenal mengeroyok Brigadir Satu M Yazin, anggota Kepolisian Pengawasan Pelabuhan dan Penyeberangan Udara Bandara Mulia. Pistol milik M Yazin dirampas. Salah satu perampas menembakkan pistol itu ke arah M Yazin. Meskipun terluka parah, M Yazin dapat diselamatkan. Sebelumnya, akhir Mei, anggota Komando Pasukan Khusus, Sersan Satu Kaman Nurjaman, ditembak seseorang ketika melintas di depan Pasar Distrik Ilu, Puncak Jaya (Kompas, 25/10).
Tanggal 10 Oktober terjadi bentrok antara polisi dan pekerja di kawasan PT Freeport Indonesia (PT FI) yang menewaskan satu orang, tiga mobil terbakar, dan sejumlah orang luka-luka. Empat hari kemudian, 14 Oktober lalu, terjadi penembakan terhadap mobil L-300 di areal PT FI di Mil 37-40 (Kilometer 59,2-64), yang menewaskan tiga orang.
Tanggal 19 Oktober terjadi pembubaran paksa terhadap KRP III oleh aparat kerena Kongres berubah menjadi makar pendeklarasian Negara Federal Papua Barat. Ada 200-300 orang ditangkap oleh aparat. Sayangnya, dalam pembubaran paksa itu jatuh korban tewas dan terluka. Dalam catatan Komnas HAM ada enam orang tewas. Menurut ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di Jakarta, Jumat (21/10), setelah kongres ditemukan enam mayat yang diduga korban pembunuhan. “Setelah peristiwa kekerasan tersebut, situasi di Papua menunjukkan intesitas kekerasan yang meninggi sehingga kami khawatir karena masih ada pengejaran terhadap orang-orang yang diduga aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka),” ujar Ifdhal. Ia mengungkapkan, enam mayat tersebut merupakan peserta Kongres Rakyat Papua ke III. Mereka ditemukan dalam kondisi mengalami luka tusuk. “Menurut catatan kami, enam orang mati dengan luka tikam, bukan tembakan, banyak orang terbunuh, mengikuti kongres tersebut,” jelas Ifdhal. Identitas ke enam mayat tersebut antara lain Daniel Kadepa, Maxsasa Yewi, Yacob Samansabra, Yosafat Yogi, dan James Gobay (Metrotvnews.com, 21/10). Namun beberapa LSM di Papua membantah korban tewas karena luka tikam. Mereka menyatakan bahwa korban tewas karena tembakan aparat.
Dua hari kemudian, Jumat (21/10), tiga orang tewas ditembak di Timika, Kabupaten Mimika, oleh kelompok orang tidak dikenal di lokasi pendulangan emas.
Berikutnya Kapolsek Mulia, Puncak Jaya, Papua, AKP Dominggus Oktavianus Awes, tewas setelah kepalanya ditembak dari jarak dekat oleh seorang dari dua pelaku penyerangan, sekitar pukul 11.30 WIT (Senin, 24/10) di bandara Mulia.
Besoknya (25/10) terjadi dua insiden penembakan di mile 38 dan mile 39 meski tidak ada korban. Polisi mengindentifikasi pelaku penembakan di mile 38 dan mile 39 diduga berasal dari kelompok yang sama dengan pelaku penembakan mobil L-300 yang menewaskan tiga penumpangnya di Mile 37 pada Jumat 14 Oktober lalu.
Akhirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengaku sebagai pelaku aksi teror akhir-akhir ini di Papua, dengan tujuan Papua merdeka (Media Indonesia online , 28/10).
Terkait dengan skala asksi kekerasan di Papua seperti yang di kutip oleh Republika (21/10) Berdasarkan catatan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, setiap bulan terjadi tiga sampai empat tindak kekerasan di Papua.
Paling banyak pengaduan di luar Jayapura berasal dari Manokwari, Wamena, Paniai, dan daerah pegunungan maupun pesisir. Warga di sana sekalipun tidak menggelar kongres, namun ada soft war, seperti penunjukkan kekuatan dari aparat. “Misal unjuk senjata, mobil aparat, lalu lalang di jalan umum warga. Jadi warga ketakutan. Orang Papua itu cukup trauma,” Wakil Ketua Komnas HAM Papua Matius Murib saat konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (21/10).
Matius mengungkap, mulai 2010 jumlah pengaduan dari warga sampai sekarang mencapai 42 kasus. Tidak seluruhnya penyiksaan, namun didominasi kasus kekerasan oleh aparat.
Kongres Rakyat Papua III
Pada 19 Oktober di gelar Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura. KRP III itu digagas oleh Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat (KKNPB) melalui organisasi-organisasi di bawahnya merencanakan untuk menyelenggarakan Kongres Bangsa Papua III pada tanggal 16-19 Oktober 2011. Kongres tersebut bertema “mari kita menegakkan hak-hak dasar orang asli Papua di masa kini dan masa depan” yang ditengarai merupakan kongres penentuan hak-hak dasar orang Papua dengan agenda utama penyampaian pendapat di hadapan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono. Para pemimpin kolektif di antaranya Edison Waromi, SH, Pdt. Herman Awom, S.Th, Forkorus Yaboisembut, S.Pd, Eliazar Awom, Drs. Alberth Kaliela dan Drs. Septinus Paiki.
Kongres tersebut didukung Presidium Dewan Papua, Yepena (Youth Papua National Authority), West Papua National for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat. Kongres Papua III sebagai lanjutan dari Kongres Papua II tahun 2000 yang juga membahas aspirasi murni dan hak-hak dasar orang asli Papua. Agenda kongres antara lain membicarakan soal kesejahteraan, hak masyarakat Papua, dan penataan Papua ke depan.
Pada saat pelaksanaannya sekitar 5000 orang turut mendatangi KRP III itu. Namun akhirnya KRP III ini dianggap melenceng dari ijin yang diberikan dan rencana yang dipaparkan. KRP III berakhir dengan pendeklarasian berdirinya Negara Federasi Papua Barat oleh Forkorus Yoboisembut. Negara Federasi Papua Barat di deklarasikan oleh Yaboisembut di akhir KRP III dengan Kepala Negera Forkorus Yaboisembut sendiri dan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri. Forkorus bersama unsur pimpinan Negara Federasi Papua Barat saat menyatakan deklarasi berdirinya Negara Federasi Papua Barat, menyatakan: nama negara adalah Negara Federasi Papua Barat, lambang Negara Burung Mambruk, Bendera Kebangsaan bendera Bintang Fajar, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, mata uang Golden dengan bahasa nasional Vigin, melayu Indonesia lokal Papua serta bahasa Inggris. Setelah pembacaan pernyataan berdirinya Negara Federasi Papua Barat, unsur pimpinan Negara yang dipilih dalam KRP III, segera membahas asas asas negara Papua Barat serta Undang undang Negara.
Selpius Bobby, Ketua KRP III menyatakan, “Kami bangsa Papua Barat melalui forum tertinggi telah mendeklarsikan kembali deklarasi lembali proklamasi yang pernah dinyatakan oleh komite Nasional Papua tanggal 19 Oktober tahun 1961 dan hari ini genap 50 tahun, dimana 50 tahun bangsa Papua hidup mengembara dari episode ke episode dari jaman Untea Belanda hingga hari ini kami mau mengembalikan kedaulatan sejati yang pernah ada itu, komitmen kami bulat”.
KRP III bukan tanpa penolakan. Penolakan dinyatakan oleh Laskar Merah Putih, Forum Komunikasi NKRI, Barisan Merah Putih, Pemuda Panca Marga, Yon Serna Trikora RI, Gelora 45, LIRA dan Forum Kominkasi Putra Putri Penerus Pejuang Pembebasan Irian Barat RI. Selain menyatakan penolakan mereka juga menyatakan bahwa bergabungnya Papua ke RI melalui Pepera 1969 adalah sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.
Penolakan juga datang dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) baik melalui kepemimpinan pusat KNPB atau secara khusus dinyatakan oleh KNPB wilayah Timika. Dalam pernyataan KNPB Timika dinyatakan:
“Perjuangan rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri tidak sendirian. Diplomat rakyat Papua Barat telah berhasil membentuk dan melahirkan dua Media Internasional bagi Rakyat Papua Barat yaitu International Parliamentarian for West Papua (IPWP) pada tanggal 15 Oktober 2008 dan International Lawyer for West Papua (ILWP) pada 3 April 2009 dengan hasil yang gemilang.
Kini rakyat Papua Barat telah memiliki dua lembaga atau Organisasi standar Internasional, yang bergerak dalam bidang HUKUM dan POLITIK serta yang memiliki Visi dan Tujuan memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua Barat. Bidang Hukum sudah hasilkan Empat Resolusi melalui Konferensi Tingkat Tinggi Internasional (KTTI), tanggal 2 Agustus 2011 di Kerajaan Inggris. Hasil Konferensi tersebut secara resmi sudah dideklarasikan. Tujuan utama Deklarasi ini adalah untuk melaksanakan tugas Vital IPWP dan ILWP dalam membawah masalah Papua Barat ke perhatian dunia Internasioan dan untuk mencari solusi-solusi yang damai dan Adil bagi penyelesaian konflik berkepanjangan dari ketidakadilan yang telah berlangsung selama 48 tahun ini.
Mengingat pentingnya dukungan Internasional tersebut, maka KNPB melalui Kongres Ke-I, telah memutuskan dan menetapkan untuk mulai memediasi Segenap Rakyat Papua Barat untuk memberi Dukungan melalui Aksi-aksi Damai dengan Pernyataan-Pernyataan Politik sebagai Kekuatan Hukum, melalui Jalur Hukum yaitu Menggugat Rekayasa PEPERA 1969 di Mahkamah Internasional dan Jalur Politik yaitu Mendorong Status Politik Papua melalui Sidang tahunan PBB. Untuk itu, KNPB seluruh Tanah Papua secara khusus KNPB Timika sedang mendorong dan menyelenggarakan agenda Pembentukan Parlemen Rakyat Daerah Timika [PRDT] di Timika sebagai suatu Lembaga politik Representatif bangsa Papua Barat yang harus dilahirkan.”
Jadi penolakan KNPB terhadap KRP III bukan karena tidak setuju dengan ide kemerdekaan Papua dari RI. Tetapi lebih pada cara dan metode yang digunakan dalam seperti melalui KRP dan pendeklarasian negara seperti yang terjadi pada KRP III itu.
Penolakan juga dilakukan Dewan Komando Revolusi TPN/OPM. Alasannya, karena Negara Federasi yang sesungguhnya dideklarasikan itu masih bagian dari Republik Indonesia, sehingga ditolak. Menurut Saul Bomay yang mengatasnamakan Dewan Komando Revolusi Militer, Negara Federasi yang ditawarkan dan diproklamasikan sesungguhnya berawal dari gagalnya Otsus Papua dan Otsus sesungguhnya menawarkan Negara Federasi, dan kelompok Dewan Komando Revolusi Militer TPN OPM menolak hasil kegagalan otsus yang ditawarkan dalam Negara Federasi, selain menolak Federasi, Dewan Revolusi tetap mempertahankan Deklarasi 1 Juli 1971 yang diperingati sebagai hari proklamasi Kemerdekaan Republik Papua Barat secara defakto dan dejure yang akan diperjuangkan secara Hukum Internasional.
Elemen Pro Kemerdekaan Papua
Paparan diatas memperlihatkan bahwa komponen yang mengusung kemerdekaan Papua dapat dibagi dari tiga kelompok. Ketiganya tidak berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Sebaliknya, ketiganya bermain dalam satu tujuan yang sama dan berbagi tugas. Ketiga kelompok itu adalah: Pertama, elemen diplomatik di luar negeri untuk pengaruhi opini publik internasional. Kedua, elemen politik dalam negeri yang membentuk LSM-LSM atau organisasi menguatkan tuntutan referendum baik melalui berbagai demonstrasi, seminar atau aktifitas lainnya. Ketiga, elemen gerakan bersenjata, dalam hal ini hanya ada satu yaitu TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka). Selama ini TPN OPM inilah yang melakukan berbagai penyerangan dan kontak senjata di Papua, termasuk beberapa penyerangan pada akhir-akhir ini seperti yang diakui oleh OPM sendiri. TPN OPM juga dibagi dalam beberapa komando wilayah. Panglimanya sampai saat masih dipegang oleh Mathias Wenda.
Untuk elemen kedua, saat ini yang aktif adalah KNPB (Komite Nasionap Papua Barat) yang diketuai oleh Buchtar Tabuni. KNPB ini juga dibagi dalam beberapa wilayah. KNPB inilah yang pada Agustus lalu dan juga pada Agustus tahun lalu menggelar demonstrasi di beberapa kota mendukung penyelenggaraan seminar ILWP di Oxford Inggris. Elemen dalam negeri lainnya adalah elemen Kepemimpinan Kolektif Nasional Bangsa Papua Barat (KKNPB). Yang tergabung didalamnya diantaranya Presidium Dewan Papua, Yepena (Youth Papua National Authority), West Papua National for Leader Nation, dan Bintang 14 Melanesia Barat. KKNPB ini terlihat berbeda dengan KNPB (meski namanya mirip). KKNPB inilah yang menggelar KRP III dan mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Dari beberapa publikasi di media, terlihat berbagai pihak baik yang pro kemerdekaan Papua maupun kontra sama-sama curiga dan bertanya-tanya tentang KKNPB. Dan terkesan KKNPB dengan elemen-elemen di dalamnya agaknya memiliki agenda sendiri. Hanya kesamaannya dengan KNPB, TPN OPM dan elemen diplomatik luar negeri adalah keinginan merealisasi kemerdekaan Papua.
Elemen diplomatik luar negeri, saat ini secara garis besar melalui dua organisasi yaitu ILWP (International Lawyer for West Papua). Menurut klaim di dalam ILWP telah bergabung minimal 50 lawyer internasional. Dan IPWP (International Parliament for West Papua). Keduanya bermarkas di Eropa khususnya Inggris. Keduanya diinisiasi dan dimotori oleh organisasi yang di pimpin oleh Beny Wenda yaitu FWPC (Free West Papua Campaign). ILWP dan IPWP inilah yang diber mandat TPN/OPM dan didukung oleh KNPB untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasionalisasi masalah Papua dan mendorong PBB untuk membahasnya baik dalam Majelis Umum atau dalam Komite Kolonialisasi.
ILWP inilah yang pada agustus lalu mengadakan konferensi di Inggris tentang kemerdekaan Papua untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua di tingkat Internasional. Konferensi itu diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung adalah tentang kemerdekaan Papua : “West Papua ? The Road to Freedom”. Diantara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal”, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Sementara dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman. Sebelumnya media juga mengungkap bagaimana peran Asing memanaskan bumi papua sebut saja antara mereka senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Agung Desmond Tutu, anggota parlemen Inggris dari partai Buruh Andrew Smith serta mantan pemimpin Papua Nugini Michael Somare. “Mereka adalah beberapa dari sekelompok besar orang yang bersekutu menuntut Papua Merdeka. Media-media yang berbasis Australia banyak mengungkap dan mengklaim memiliki dokumen gerakan sparatais dan mendukung gerakan Papua Merdeka. Seperti nama beberapa senator Amerika, Anggota Parlemen Selandia Baru, Anggota Kongres Amerika Serikat, Jaringan NGO Asing, Anggota Parlemen Irlandia, Anggota Parlemen Eropa, Anggota Parlemen Inggris, hingga jurnalis asing di Papua. Acara yang sama pernah berlangsung tahun lalu juga diadakan di Inggris.
Catatan lainya pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh, yang intinya mereka mendukung setiap gerakan separatis Papua –sekedar catatan, ELSHAM ini konon diantaranya didanai oleh USAID-. Dan Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Pada 2003, Bob mengkampanyekan masuknya beberapa submisi kepada parlemen Australia dengan mengangkat pelurusan sejarah Irian Jaya dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Jaya. Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.
Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia. Prof Denis Leith juga turut memberikan dukungan terhadap pro kemerdekaan Papua dengan cara membantu penggalangan dana bagi WPP. Upaya itu secara lebih masif pernah terjadi pada tahun 2006. Pada tahun 2005, anggota Kongres AS pernah mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) pada Indonesia.
Yang paling akhir dalam forum Pasific Islands Forum yang ke-42 di Auckland Selandia Baru, sebanyak 18 NGO asing mendukung kemerdekaan Papua dan mendesak agar masalah Papua dijadikan salah satu agenda bahkan mendesak PBB. NGO-NGO itu antara lain : New Zealand non-governmental organisations Bicultural Desk of the Auckland Catholic Diocese, Caritas Aotearoa New Zealand, Christian World Service, CORSO Inc., Indonesia Human Rights Committee (?), Pax Christi Aotearoa New Zealand, Peace Movement Aotearoa, Philippine Migrant Centre, and the Women’s International League for Peace and Freedom, Aotearoa Section; New Zealand based Coalition for Democracy in Fiji; and Australian non-governmental organisations Australia West Papua Association (Sydney), Institute of Papuan Advocacy and Human Rights, Medical Association for Prevention of War, Missionaries of the Sacred Heart Justice and Peace Centre (Australian Province), Pax Christi Australia and the Women’s International League for Peace and Freedom, Australia Section.
Selain itu juga ada pemimpin Partai Mana Hone Harawira dari Selandia Baru. Pada forum tersebtu Hone juga mendesak sekjen PBB terkait nasib Papua.
Dalam forum tersebut di bagian akhir acara forum diadakan tanya jawab dengan sekjen PBB. Ada pertanyaan yang diajukan: With regards to human rights – for more than forty two years, there’s a struggle in West Papua as people seeking their government in the province of West Papua. What is the United Nations stand on that? (Source Question UN).
Sekjen PBB Ban Ki-Moon menjawab: This issue should also be discussed at the Decolonisation Committee of the United Nations General Assembly. And when it comes again, whether you are an independent state or a non-self-governing territory or whatever, the human rights is inalienable and a fundamental principle of the United Nations. We will do all to ensure that people in West Papua, their human rights will be respected. – Isu ini seharusnya dibicarakan d dalam komite dekolonisasi Majelis Umum PBB. Dan hal itu datang kembali, apakah anda (Papua Barat) merupakan pemerintahan merdeka atau merupakan territorial tanpa pemerintahan sendiri, atau apapun, HAM adalah satu hal yang tidak dapat diganggu gugat dan merupakan prinsip dasar PBB. Kami akan melakukan segala upaya untuk meyakinkan masyarakat Papua Barat bahwa hak-hak asasi manusia mereka akan dihormati-.
Pernyataan sekjen PBB ini diantaranya yang diinterpretasikan sebagai bentuk dukungan untuk kemerdekaan Papua. Dan hal itu menyemangati diselenggarakannya KRP III yang kemudian menyebabkan peningkatan eskalasi situasi keamanan dan politik di Papua.
Penanganan Yang Salah
Banyak peneliti termasuk dari LIPI yang berusaha menguak apa akar masalah di Papua. Dari berbagai upaya itu sperti yang dicatat oleh TB Hasanudin anggota DPR Komisi I, ada empat point akar masalah di Papua. Pertama, adanya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat asli Papua akibat sikap elit dan keputusan politik Jakarta. Kedua, ada kegagalan pembangunan khususnya di bidang ekonomi masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan. Ketiga, ada perbedaan persepsi tentang sejarah Papua atau Irian antara masyarakat Papua dengan persepsi masyarakat di luar Papua terutama soal Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang disponsori Persatuan Bangsa Bangsa dan Amerika Serikat yang menurut sebagian rakyat Papua tidak sah. Keempat, ada trauma berkepanjangan sejak 1966 sampai selama Orde Baru berkuasa akibat operasi militer. Dan trauma itu tidak kunjung hilang di era reformasi walau TNI sudah tidak lagi menggelar operasi militer.
Namun penanganan rangkaian kekerasan dan masalah di Papua justru tidak menyentuh akar masalah itu. Terjadi ketidakkonsistenan dalam menangani masalah yang terjadi di Papua.
Terkait aksi kekerasan yang terjadi di Papua, apa yang dilakukan oleh OPM dengan menembak aparat keamanan (Kapolsek Mulia, anggota Brimob, anggota Kopasus, patroli dan pos/markas kepolisian, juga masyarakat sipil) jelas merupakan teror dan menciptakan suasana teror di masyarakat. Namun demikian aksi-aksi teror itu tidak pernah disebut sebagai aksi terorisme. Sebaliknya, jika yang melakukan adalah Muslim meski dengan tingkat yang jauh lebih kecil dari itu, misal dengan tingkat ledakan mercon, niscaya disebut terorisme.
Inkonsistensi yang kedua, jika yang ada dinilai sebagai gangguan keamanan, maka semestinya yang dilakukan adalah pendekatan kriminal. Dan karena yang melakukan adalah kelompok bersenjata yang melakukan semacam taktik perang gerilya, mestinya yang lebih tepat adalah dilakukan operasi khusus, dengan mengirimkan semacam pasukan khusus, dalam grup kecil, dengan tugas khusus memburu kelompok bersenjata itu.
Akan tetapi yang lebih dikedepankan dan lebih ditonjolkan oleh pemerintah adalah pendekatan militer. Yaitu dengan menggelar kekuatan pasukan dalam jumlah besar, baik dari Brimob maupun TNI. Begitu juga dengan meningkatkan aktifitas yang justru memperkuat kesan sedang dilakukan gelar pasukan, misalnya kendaraan militer yang sering lalu lalang di kawasan pemukiman. Semua itu pada akhirnya justru memperkuat kesan dan suasana psikologis di masyarakat bahwa sedang dilakukan operasi militer dan Papua seolah-olah berubah menjadi daerah operasi militer. Tentu saja hal itu justru memperkuat dan memperdalam trauma yang selama ini sudah terbentuk dengan kuat.
Kesan itu makin dalam ketika pendekatan dalam menangani aksi massa seperti dalam kasus pembubaran KRP III tidak dilakukan dengan pendekatan sipil, tetapi lagi-lagi menggunakan pendekatan militer, menggunakan peluru tajam. Tindakan aparat pun terkesan berlebihan. Hal itu tampak dengan penangkapan hingga 300 orang. Sulit diterima jika kegiatan seperti KRP III itu dimotori sedemikian banyak orang. Logisnya yang menjadi motor hanyalah belasan orang atau paling banyak puluhan orang. Disamping itu tindakan yang dilakukan aparat juga terkesan tidak selektif. Indikasinya adalah korban tewas kebanyakan adalah orang yang tidak termasuk motor dari aksi itu.
Sementara penggelontoran triliunan rupiah dana Otsus ternyata juga tidak merubah kondisi menjadi lebih baik. Sebab gelontoran dana Otsus itu ibaratnya dituangkan dalam cawan berlobang dan lalu digelontorkan melalui pipa yang bocor. Dana itupun akhirnya habis dijalan. Dana itu akhirnya menjadi obyek bancakan dan foya-foya para elit di Papua. Sementara yang sampai ke masyarakat sangat kecil jika tidak bisa dikatakan tidak ada. Dalam hal ini pemerintah lupa memberesi infrastruktur politik dan membersihkannya sehingga gelontoran dana otsus itu benar-benar akan sampai tujuan. Lebih parah lagi, gelontoran dana besar itu tidak diikuti dengan penyiapan program pembangunan yang baik dan memperhatikan pemerataan dan keadilan. Akibatnya dana itu justru lebih banyak digunakan dalam proram-program demi kepentingan politik elit di Papua, seperti dalam kontek pertarungan Pilkada, dsb.
Jika masalah ini tidak diatasi tuntas, maka gelontoran dana Otsus akan terus “sia-sia”. Padahal dana Otsus Papua untuk tahun 2012 seperti tertuang di APBN 2012 mengalami kenaikan 23 %. Di dalam APBN 2012 dialokasikan dana otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp 3,83 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 1,64 triliun. Pemerintah juga mengalokasikan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sejumlah Rp 571,4 miliar dan Papua Barat sebanyak Rp 428,6 miliar. Jika dihitung sejak 2002 hingga 2010, jumlah dana Otsus yang sudah digelontorkan mencapai Rp 28,84 triliun. Semestinya dana sebesar itu sudah banyak membawa pengaruh bagi perbaikan kondisi masyarakat Papua.
Masalah menonjol yang menjadi pemicu berbagai permasalahan di Papua adalah tidak adanya pendistribusian kekayaan alam yang ada di wilayah mereka untuk membangun dan memajukan Papua dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Akhirnya dikembangkan asumsi di kalangan sebagian masyarakat Papua, bahwa semua itu terjadi karena yang memerintah dan mengelola semua itu bukan orang asli Papua. Jika Papua diperintah dan kekayaannya diatur oleh orang Papua sendiri, atau jika mereka bisa menentukan kebijakan pengelolaan wilayah mereka sendiri, maka dianggap semua itu akan berubah total, kemajuan akan bisa diujudkan di Papua dan taraf hidup masyarakatnya pasti meningkat.
Masalah pengelolaan kekayaan alam dan pendistribusian kekayaan yang tidak merata dan tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat di wilayah tempat kekayaan alam itu berada sebenarnya bukan karena yang mengelola atau menentukan kebijakan adalah bukan orang Papua. Kalaupun ditentukan oleh orang Papua sendiri juga belum tentu menyelesaikan masalah. Buktinya, Dana Otsus saja yang pengelolaannya diserahkan kepada orang-orang yang Papua toh juga tidak memberikan perbaikan bagi kehidupan masyarakat. Disamping itu masalah ketimpangan pendistribusian kekayaan itu bukan khas masalah Papua. Masalah itu juga dialami oleh semua wilayah negeri ini, bahkan yang di pulau Jawa sekalipun yang dinilai kebijakannya ditentukan oleh orang jawa juga. Daerah Cepu, Cikotok, Indramayu dan lainnya yang disitu minyaknya disedot dan atau emasnya dikeruk, masyarakatnya juga tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alam di wilayah mereka itu. Banyak masyarakat di daerah itu yang masih didera kemiskinan dan keterbelakangan.
Masalah itu sebenarnya lebih disebabkan oleh sistem dan kebijakan pengelolaan perekonomian ala kapitalis yang menyerahkan kekayaan alam itu kepada swasta dan terutama asing. Sehingga pihak swasta asing itulah yang paling menikmati hasil dari kekayaan yang merupakan milik rakyat negeri ini secara keseluruhan itu. Maka selama pengelolaan kekayaan alam masih menggunakan model ekonomi kapitalisme maka keadaan ketidakadilan ekonomi semacam itu akan terus terjadi. Kekayaan negeri tatap tidak akan terdistribusi secara merata. Kesenjangan akan tetap menganga. Karena itu kemerdekaan bukanlah solusi untuk menghilangkan ketidakadilan ekonomi itu. Malah kemerdekaan bisa menjadi pintu yang lebih lebar bagi penetrasi lebih pengelolaan ekonomi menurut model kapitalisme. Apalagi jika kemerdekaan itu atas belas kasihan (bantuan) asing, dalam hal ini misalnya Inggris atau eropa pada umumnya dan Australia. Dengan mereka keberadaan AS dengan perusahaan multinasionalnya tidak serta merta bisa diakhiri, sebaliknya dengan merdeka justru membuka ruang bagi masuknya kepentingan Inggris (Eropa) dan Australia. Itu artinya dengan merdeka, justru Papua justru makin menjadi jarahan pihak asing. Dan hampir dapat dipastikan bahwa model pengelolaan ekonominya juga akan tetap model kapitalisme dan karenanya penjarahan kekayaan bumi Papua nantinya justru akan makin merajalela.
Berbagai masalah kekerasan atau kejahatan lingkungan juga tidak akan serta merta bisa dihilangkan dengan memerdekakan diri. Sebab semua itu terjadi seiring dengan penerapan sistem kapitalisme dan penguasaan korporasi-korporasi raksasa asing atas kekayaan alam dan karena keberadaan koporasi-korporasi asing itu, yang di Papua terutama adalah penguasaan dan keberadaan PTFI. Padahal dengan merdeka keberadaan Freeport tidak dengan sendirinya hilang. Justru dengan merdeka akan terbuka peluang bagi Freeport untuk memperpanjang eksistensinya di bumi Papua dengan jalan melakukan negosiasi dengan pemerintah baru dan memberikan keuntungan yang diminta terutama kepada pribadi-pribadi pejabatnya. Bahkan dengan memerdekakan diri justru terbuka peluang bagi masuknya pihak asing seperti Freeport lebih banyak lagi.
Islam Solusi Total Masalah Papua
Masalah Papua seperti halnya masalah daerah-daerah lainnya bahkan masalah seluruh negeri kaum muslim, tidak pernah bisa dituntaskan dibawah sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Masalah itu hanya akan bisa dituntaskan dengan penerapan syariah Islam secara total.
Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat, diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat. Maka dalam pandangan sistem Islam ketika diterapkan, kekayaam alam seperti yang dikelola oleh Freeport dan lainnya itu akan dikembalikan menjadi kekayaan hak milik umum. Negara haus mengelolanya dengan pengelolaan demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bukan para pejabat dan kroninya, pengelolaan yang berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan dalam berbagai bentuknya.
Kemudian hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah dair sumber-sumber pemasukan lainnya akan dihimpun di kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Dalam hal pendistribusian itu, yang dijadikan patokan adalah bahwa setiap daerah akan diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan yang berasal dari daerah itu. Dalam hal menetapkan besaran kebutuhan itu, maka yang menjadi patokan adalah kebutuhan riil mulai dari yang pokok lalu ke yang pelengkap dan seterusnya. Dalam hal itu juga akan diperhatikan masalah pemerataan dan kemajuan semua daerah. Sebab Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya atau di kalangan tertentu atau di daerah tertentu saja.
Dalam hal perlakuan kepada rakyat, maka Islam mewajibkan berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia. Dalam Sistem Islam tidak boleh ada deskriminasi atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat. Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya. Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan hal yang menjijikkan. Bahkan dalam Islam, siapa saja yang menyeru, membela atau berperang dan mati demi ashabiyah (sektarianisme) maka dia tidak termasuk umat Muhammad dan neraka menjadi tempat yang lebih layak untuknya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengikis deskriminasi di masyarakat dan mewujudkan keharmonisan di tengah masyarakat.
Sementara itu dalam hal kerusakan lainnya, Islam menetapkan bahwa penguasa adalah ra’in (pemelihara) urusan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas sejauh mana terpeliharanya urusan-urusan dan kepentingan-kepentingan rakyat. Maka konsekuensinya adalah segala hal apalagi kebijakan yang berpotensi merugikan kepentingan rakyat maka harus di selesaikan dan dihilangkan. Itu artinya segala kebijakan dan praktek yang berpotensi menimbulkan kerusakan baik lingkungan, sosial, kesehatan, dan sebagainya harus dihentikan dan dihilangkan. Apalagi Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk kerusakan dan pembuat kerusakan di muka bumi atau mufsidun diancam dengan siksa neraka.
Untuk menjamin agar sistem Islam itu berjalan secara konsekuen dan konsisten maka Islam membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat secara individual ataupun kelompok untuk mengoreksi dan menyampaikan kritik kepada penguasa. Bahkan Islam menetapkan koreksi dan kritik kepada penguasa itu sebagai kewajiban. Kemudian jika penguasa dan aparat negara melakukan kezaliman atas rakyat baik individu maupun kelompok apalagi komunitas, maka rakyat secara individual ataupun kelompok diberi ruang yang luas untuk mengadukan dan memperkarakan kezaliman itu kepada Mahkamah Mazhalim agar kezaliman itu segera dihilangkan. Bandingkan dengan sistem kapitalisme demokrasi bahkan yang dipraktekkan di negara kampiun demokrasi sekalipun, adalah langka rakyat apalagi secara individual bisa memperkarakan dan menuntut penguasa apalagi kepala negara ke muka pengadilan. Apalagi di dalam sistem kapitalisme demokrasi yang dipraktekkan di seluruh dunia saat ini, rasanya tidak ada badan semacam Mahkamah Mazhalim seperti yang ada di dalam Sistem Islam yang terus ada untuk menghilangkan segala bentuk kezaliman negara dan penguasa atas rakyat. Yang ada di dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah para pejabat dan penguasa menjadi kelas yang nyaris tak bisa disentuh oleh hukum.
Jadi menyelesaikan masalah Papua dan daerah-daerah lain, adalah dengan menghilangkan kezaliman dan ketidakadilan yang terjadi; mengelola kekayaan negeri demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; mendistribusikan kekayaan itu secara merata dan berkeadilan; memberikan keadilan kepada semua tanpa deskriminasi atas dasar suku, etnis, warna kulit, ras, agama, kelompok dan cara pandang dan kriteria sektarian lainnya. Juga dengan mewujudkan pemerintah yang bisa menjalankan semua itu, pemerintah yang betul-betul berperan sebagai ra’in pengatur dan pemelihara segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Dan tunuk itu masyarakat harus memiliki peluang dan diberi ruang untuk mengoreksi penguasa jika terjadi kebengkokan sehngga bisa dijamin pelaksanaannya secara konsekuen dan konsisten. Semua itu hanya bisa diujudkan melalui penerapan Sistem Islam secara total dalam bingkai institusi kekuasaan yang islami yaitu al-Khilafah Rasyidah. (YAHYA ABDURRAHMAN ; LS-HTI)