Tragedi warga miskin berhadapan dengan pelayanan rumah sakit kembali terulang. Somadin (31 tahun), warga RT 04/06 Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat, harus merelakan putri semata wayangnya meregang nyawa lantaran tidak mendapat pelayanan maksimal dari rumah sakit.
Peristiwa memilukan itu terjadi Rabu (2/11) sekitar pukul 07.30 WIB. Kala itu Somadin yang bekerja sebagai pedagang batagor sedang menyiapkan dagangannya. Ketika Somadin sedang membuat bumbu kacang, tiba-tiba putrinya, Siti (1,5), bergelayut di penggorengan. Seketika itu pula sekujur tubuh balita itu tersiram minyak panas.
Somadin segera membawa putrinya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Depok. Sayang, upaya menyelamatkan nyawa Siti mesti terhambat ketidakmampuan RSUD Depok memberikan perawatan. ”Rumah Sakit menolak dengan alasan tidak memiliki peralatan medis yang memadai,” kata Lukman Hakim, ketua RT 04 yang ikut mengantar Somadin, kepada Republika kemarin.
RSUD Depok langsung merujuk putri Somadin ke RS Fatmawati, Jakarta Selatan, tanpa memberikan bantuan ambulans. Lukman pun menilai pertolongan yang diberikan tidak maksimal. ”Luka bakar putrinya cuma diberi salep.”
Mereka pun membawa putri menuju RS Fatmawati dengan mobil tetangga. Dalam perjalanan, tiba-tiba Somadin berubah pikiran. Dia meminta anaknya dibawa kembali ke rumah karena trauma dengan penolakan RSUD Depok. Apalagi Somadin merasa tak mampu membiayai pengobatan anaknya. ”Sepanjang perjalanan dia mengeluh takut soal biaya,” tutur Lukman.
Sekitar pukul 17.00 WIB, Siti akhirnya mengembuskan napas terakhir. Saat mengetahui putrinya meninggal, Sodiman menumpahkan kemarahannya dengan memukul tembok rumah. Hampir seluruh tetangga yang datang ke rumahnya tak kuat menahan haru.
Warga lalu berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantu penguburan putri Somadin. Armah (45), tetangga Somadin, mengaku tak habis pikir mengapa rumah sakit tega menolak merawat balita kecil yang terluka parah. ”Kulitnya berwarna biru dan terkelupas karena luka bakar,” ujar Armah sambil berurai air mata.
Republika belum bisa menemui Somadin karena pulang ke Garut, Jawa Barat, untuk mengurus pemakaman putrinya. Dia merupakan warga pendatang yang baru mukim di Pengasinan sekira dua bulan lalu dan belum memiliki kartu identitas sebagai warga Depok.
Ketika dikonfirmasi Republika, RSUD Depok justru menanyakan nama pasien dan alasan penolakan perawatan. Mereka tak bisa mengomentari kasus ini karena setelah diperiksa nama putri Somadin itu tidak ditemukan dalam daftar pasien yang ditangani. ”Nama Siti tidak terdaftar di register,” ujar Kepala Subbagian Umum Perencanaan RSUD Depok Bety S.
Menurut Betty, semua pasien yang datang ke RSUD Depok harus melalui pendaftaran di resepsionis meskipun tidak mendapatkan perawatan apa pun. Dia justru meminta Republika untuk mengonfirmasi nama lengkap Siti. ”Kami tidak bisa memberikan keterangan lebih dari ini,” ujar Bety sambil mempersilakan media untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
Dokter Kholid yang membantu mencarikan data rekam medis Siti mengatakan, jika pasien diberi rujukan oleh RSUD Depok ke rumah sakit lain, bisa jadi karena RSUD memang tidak memiliki alat canggih untuk menangani kasus seperti yang dialami Siti. Untuk pasien luka bakar di atas 40 persen, kata Kholid, RSUD Depok memang tak punya peralatan canggih perawatan luka bakar.
Kholid membantah tuduhan bahwa RSUD Depok tidak mau mengobati pasien yang miskin. Menurutnya, biaya pengobatan bukanlah penghalang untuk menolong pasien.
RSUD Depok memang tidak ada klinik khusus luka bakar. Namun, rumah sakit kelas B yang didirikan tahun 2004 ini telah menduduki peringkat pertama se-Jawa Barat sebagai rumah sakit yang cepat tanggap dalam melayani pasien. Penghargaan Citra Pelayanan Prima juga diterima RSUD Depok dari Wakil Presiden Boediono pada Desember 2010 lalu.
Namun, di mata warga Kampung Kebon Kopi kualitas pelayanan RSUD Depok terhadap warga tak mampu masih sangat buruk. Nining, tetangga Somadin, bercerita, setelah kematian Siti, banyak warga mengeluarkan sumpah serapah atas pelayanan buruk rumah sakit.
Somadin bukan satu-satunya korban buruknya pelayanan RSUD Depok yang kerap menolak warga tak mampu dengan berbagai alasan. ”Kadang bilang tidak ada dokternya. Kadang bilang tidak ada peralatannya,” kata Nining.
Iyos (34) mengaku pada Agustus 2011 lalu datang untuk melakukan persalinan. Di ruang persalinan, Iyos terkejut ketika petugas rumah sakit langsung menanyakan sistem pembayaran. Dengan polosnya Iyos menjawab menggunakan kartu Jaminan Persalinan (Jampersal).
Mendengar jawaban Iyos, petugas rumah sakit itu langsung mengatakan bahwa kamar persalinan sedang penuh. Iyos pun dirujuk ke RS Fatmawati. ”Bukannya tanya saya sakit apa. Tapi malah ditanya saya bayar pakai apa. Perut saya sakit sekali lantaran bayi sudah hampir keluar,” ujar Iyos menahan kesal.
Juniati (40) hampir mengalami nasib seperti Somadin ketika mengantar suaminya yang mengalami perdarahan di kepala akibat kecelakaan. Tanpa ada pertolongan, Juniati mendapat jawaban klasik bahwa kamar sudah penuh.
Suami Juniati sempat koma sebelum akhirnya dirawat di sebuah rumah sakit di Ciputat, Tangerang Selatan. Suami saya kehabisan darah. Untungnya masih bisa diselamatkan. (republika, 4/11/2011)
inilah bukti bahwa pelayanan kesehatan gratis ,apalah itu namanya bohong besar di dlm sistem kufur.
beda dgn khilafah pada saat tegak 1300 thn malah pd saatitu kaum muslimin dilayani tanpa pandang bulu & termasuk non islam yg hidup dlm nsungan khilafah
Ini salah satu borok sistem Kapitalis. Mana tanggung jawab negara kepada warganya? Hanya kepada syariah dan Khilafah kita layak berharap. Sudah terbukti scr historis 13 abad lamanya. Yang lain: Omong Doang!
Dilema pelayanan kesehatan dalam sistem bobrok kapitalisme. Dalam kondisi yg dipaparkan tersebut, baik pasien maupun pihak rumah sakit semuanya adalah korban. Seringkali pihak rumah sakit harus bertahan mati-matian dgn dana seadanya dari pemerintah sehingga tidak mampu melayani pasien. Sungguh dzalim sistem ini, sistem yg mendidik org jadi dzalim, naudzubillah!
dalam sistem kapitalis…rakyat miskin dilarang sakit (karena mahalnya biaya kesehatan)…rakyat miskin dilarang sekolah (karena mahalnya biaya pendidikan) Dalam sistem Islam Rakyat sangat diringankan dlm kesehatan bahkan bisa gratis..pun untuk biaya pendidikan bisa gratis tis..tis.. Mau..??? Ayo perjuangkan tegaknya syariah dan khilafah..niscaya sejahtera dunia akhirat..
ini bukti bahwa penguasa indonesia yang sekarang yaitu sby tidak dapat mensejahterakan seluruh rakyat indonesia dengan rezim kuffur nya
menkes dimana janjimu? apa sanksi untuk mereka anak buahmu? tidakkah kau takut hari penghisaban?
saya melihat ini bukanlah kesalahan rumah sakit tsb,mereka sudah benar memberikan rujukan bila memang alat medis untuk menolong tak mencukupi. kita harusnya juga bisa berpikir kesalahan ada pada si ayah karena tidak segera membawa anaknya untuk ditolong, padahal jelas ini kasus gawat darurat karena pasien segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki perawatan medis yang cukup untuk kasus tersebut.
Seharusnya si ayah mampu mengendalikan emosi, perasaan dan harga dirinya untuk keselamatan anaknya (harusnya rasa bersalahnya pada anaknya karena tersiram minyak penggorengannya lebih besar).
Walau saya tak tahu bagaimana sebenarnya kronlogis yang sesungguhnya, tapi saya rasa cerita ini tidak lengkap ada bagian yang entah ditutupi atau tak disadari/ tidak dipahami.
Ah sudahlah, tidak terlalu tepat cerita ini untuk menyalahkan pelayanan yang kurang bagi si miskin.
Tapi saya memang mengakui bahwa sistem pelayanan kesehatan tak memakai sistem Islam.
bukti bahwa negara ini gagal melindungi warganya…..kenapa masih mempertahankan sistem yang sudah cacat ini????? dalam Islam kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus/wajib dipenuhi oleh negara. berbeda dengan kapitalisme yang hanya memberikan pelayanan kesehatan pada org2 yang memiliki uang…wahai para penguasa dzolim tak cukupkah azab yang ditimpakan pada sekutu kalian menjadi renungan bahwa jika kalian tetap menjadi parasit bagi rakyat azab yang sama akan datang pada kalian!!