HTI Press. Dalam pekan-pekan terakhir ini, salah satu isu politik yang mengemuka di Tanah Air adalah terkait dugaan Kepolisian RI menerima kucuran dana dari PT Freeport Indonesia. Kapolri Jenderal Timur Pradopo sendiri mengakui pihaknya mendapat dana pengamanan dari PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Namun, sebagaimana sebelumnya, Kapolri kembali menegaskan tidak ada yang menyimpang dari penerimaan dana itu. “Tidak ada (penyimpangan),” ujar Kapolri usai acara penyambutan kedatangan pasukan FPU III dari Darfur, Sudan, di halaman Gedung Baharkam Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Senin (7/11/2011).
Sebelumnya, PT Freeport memang mengaku telah menyetor uang keamanan ke Polri dengan nilai mencapai jutaan dolar AS. Jumlah tersebut lalu didistribusikan oleh Polri ke personel pangkat terendah dengan nilai Rp 1,2 juta/bulan. Pengakuan PT Freeport yang diamini Kapolri Jenderal Timur Pradopo itu lantas menyulut berbagai kritik masyarakat. Diketahui, Freeport-McMoRan Copper & Gold, yang merupakan induk dari PT Freeport Indonesia, menganggarkan ‘uang keamanan’ untuk operasionalnya di sejumlah negara. Di Indonesia, ‘uang keamanan’ Freeport mencapai US$ 14 juta atau sekitar Rp 126 miliar. Angka itu lebih rendah dibandingkan ‘uang keamanan’ di AS yang mencapai US$ 81 juta (Detik.com, 7/11/2011).
Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, bukan tidak mungkin Polri juga menerima dana pengamanan dari berbagai perusaan lain yang beroperasi di dalam negeri maupun luar negeri. Pekerja ICW, Emerson Yuntho, di Gedung LPSK, Jakarta, Minggu (30/10). Menurut dia, dana seperti itu membuat kinerja Polri tidak independen. Kepolisian pasti akan mengutamakan untuk memberikan perlindungan terhadap perusahaan yang membayarnya. “Ini jelas mengganggu independensi Polri. Dia akan mengutamakan perusahaan itu daripada tugas pokoknya,” kata Emerson.
Dia menandaskan, sikap Polri pun akan berlebihan dalam memberikan pengamanan. Dengan adanya dana dari Freeport, Emerson mengaku tak heran mengapa tindakan pengamanan Polri begitu represif. “Penanganan kasus Freeport jadi menarik. Bagaimana Polisi bersifat represif dalam pengamanan di sana. Posisi itu yang menurut kami agak bias kepentingan. Tugasnya jadi mem-back up kepentingan yang membayar,” jelasnya (Suaramerdeka.com, 30/10/2011).
Namun, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Boy Rafli Amar mengatakan, dana yang diberikan oleh Freeport merupakan uang sukarela. Meskipun menerima dana dari Freeport, Mabes Polri mengaku masih tetap profesional dan independen dalam melaksanakan tugas. Dana yang diberikan itu tidak mempengaruhi tugas kepolisian. “Bukan karena dapat uang, lantas ada keberpihakan,” jelas Boy.
Dana yang diberikan Freeport itu dalam prakteknya, diberikan untuk kebutuhan anggota yang tidak pulang. Selain daerah itu dengan kondisi cuaca tertentu, petugas yang berjaga di kawasan Mile 74 harus turun kebawah selama 2,5 jam untuk keperluan makan.
Mabes Polri menegaskan tugas yang dilakukan Polri dilapangan dalam rangka pertahanan, keamanan, ketertiban nasional. Dalam hal ini, Polri dijamin tetap pro kebenaran dan patuh kepada nilai-nilai hukum. Kombes Boy mengatakan pengamanan pembiayaan pengamanan Freeport membutuhakan dana yang besar. Sedangkan untuk mengeluarkan dana sendiri untuk pengamanan Freeport, akan membuat anggaran Polri tidak seimbang dalam penyalurannya ke seluruh Indonesia (Erabaru.net, 4/11/2011).
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan, Abdul Hamim Jauzie Abdul Hamim menyesalkan sikap Kapolri yang menilai aliran dana dari korporasi tambang asal Amerika Serikat itu sebagai sebuah kewajaran. Kapolri diminta segera menghentikan pemberian dana tersebut. Penghentian kucuran dana pengamanan itu, imbuh Abdul Hamim, karena adanya kekhawatiran independensi Polri sebagai pelindung, pengayom, serta pelayan masyarakat bakal terganggu. “Jika bantuan dana itu terkatagori suap dan gratifikasi, oknum pejabat Polri yang menerimanya bisa dibawa ke Pengadilan Tipikor,” kata Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S Pane terpisah.
Menurut Neta, indikasi suap sebenarnya sudah sangat kuat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam menangani konflik di sekitar daerah tambang tersebut, aparat keamanan cenderung tidak netral dan mengarah pada sikap memusuhi masyarakat.”Jika dalam penelusuran KPK terbukti dana itu ternyata berupa suap terhadap oknum aparat, yang ditindak aparat kemanan dan pejabat Freeport juga harus dibawa ke Pengadilan Tipikor,” tegas Neta.
Namun, kata Saud, uang dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu tidak digelontorkan melalui Mabes Polri, melainkan langsung kepada personel polisi yang bertugas. Alasan pemberian uang, “Biaya hidup di Papua mahal. Kalau (uang itu) untuk meningkatkan motivasi tugas polisi, kenapa tidak?” ujar Saud kemarin.
Berdasarkan surat Kepolisian Daerah Papua kepada Kontras, tertera jumlah anggota pasukan polisi dan TNI yang bertugas di kawasan Freeport sebanyak 635 personel. Mereka saban bulan mendapat tambahan uang Rp 1.250.000 perorang. Jika dijumlahkan, totalnya tidak sampai Rp 1 miliar setiap bulan.
Namun, penjelasan Saud berbeda dengan keterangan juru bicara Freeport, Ramdani Sirait, pada Sabtu lalu. Menurut dia, dana tidak langsung diberikan kepada polisi, melainkan melalui perantaraan pemerintah. Lalu pemerintah yang menentukan alokasi dana kepada TNI atau Polri (Surabayapost Online, 31/10/2011).
Tim internal Mabes Polri yang mengkaji adanya dana hibah dari PT Freeport kepada anggota Satgas Polri menyebutkan, dana yang diterima dari PT Freeport tidak semata untuk uang saku polisi tetapi juga untuk pengadaan sarana dan prasarana. Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar, menjelaskan hasil temuan tim sementara menyebutkan, dana yang diberikan itu terkait uang saku anggota dan pengadaan sarana dan prasarana. “Jadi bukan hanya untuk uang saku saja, tetapi juga untuk pengadaan sarana prasarana, seperti jaket, mobil patroli, dan alat kelengkapan lainnya,” kata Boy di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (3/11) (Mediaindonesia.com, 13/11/2011).
Bukan Hal Baru
Sebetulnya isu bantuan luar asing kepada Kepolisian RI bukanlah hal baru. Saat ramai-ramainya sepak terjang Densus 88 dalam melakukan aksi kontratarorisme yang telah mengakibatkan banyak korban jiwa, khususnya mereka yang diduka terkait terorisme, isu bahwa Densus 8 tidak profesional dan terkesan menjadi alat kepentingan asing mengemuka. Sejumlah pihak lalu mengaitkannya dengan bantuan asing yang diterima Kepolisisan RI untuk operasional Densus 88. Kapolri saat itu, Bambang Hendrarso Danuri, sebagaimana dimuat Koran Tempo (3/9/ 2010) mengakui adanya bantuan pendanaan yang bersumber dari pihak asing untuk kegiatan operasional Densus 88. Hal itu beliau ungkapkan pada saat Rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR RI saat itu.
Pemerintah Australia, seperti pernah dikutip dari harian the Sydney Morning Herald dan the Age, seolah mengkomfirmasi fakta bantuan untuk Densus 88 tersebut. Sebagaimana diketahui, Australia beberapa waktu lalu pernah mengirimkan petugasnya ke Maluku menyusul dugaan penyiksaan tahanan Republik Maluku Selatan oleh Densus 88. Australia menganggap penyelidikannya terhadap Densus 88 sebagai hal yang wajar, karena ikut membiayai secara rutin Densus 88 lewat Australian Federal Police (AFP). Dalam laman AFP tercatat lembaga ini menyetorkan dana rutin jutaan dolar AS tiap tahun bagi Densus 88 dan Mabes Polri. Dana itu disalurkan melalui Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC).
Harian the Age dan Sydney Morning Herald menyatakan, dana sebesar 40 juta dolar AS dikucurkan Australia untuk pendirian JCLEC. Tiap tahunnya dikucurkan dana sebesar 16 juta dolar AS. Sementara di laman JCLEC tercatat, Australia sejak 2004 melipatgandakan bantuannya untuk JCLEC menjadi 20 juta dolar AS per tahun, terutama untuk program kontraterorisme.
Selain Australia, Amerika Serikat juga turut membiayai Densus 88. Reuters pada 18 Maret 2010, mengutip dokumen dari Deplu AS sejak tahun 2003 yang aktif membiayai program kontraterorisme di sejumlah negara lewat Antiterorism Assistance Program (ATA). Dalam laporannya ke Kongres AS pada 2005, misalnya, ATA mengucurkan dana 5,4 juta dolar AS untuk Densus 88 (http://www.jakartapress.com/detail/read/6691/polri-haram-dan-dilarang-dibiayai-asing).
Tentang adanya bantuan asing ini diakui oleh Brigjen Pol Iskandar Hasan saat menjabat Kepala Divisi Humas Mabes Polri. Menurutnya memanga ada bantuan asing yang diberikan kepada Polri khususnya Densus 88, namun bantuan itu tidak berupa dana tunai untuk operasional Densus.”Yang didapat itu dalam bentuk paket proyek, baik itu pelatihan maupun pembangunan seperti di Semarang, JCLEC (Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation) membangun komplek itu. Dana itu tidak berupa dukungan dana operasional dana tunai,” paparnya.
Negara yang memberi bantuan terhadap Densus 88 Polri, ditambahkannya tidak hanya Australia saja, melainkan ada sejumlah negara lain seperti Belanda dan Amerika Serikat.Sebelumnya disebut-sebut Pemerintah Australia ingin memeriksa kinerja Densus 88 Polri, karena Pemerintah Australia menyumbang dana jutaan dolar Australia kepada Densus 88 untuk memerangi terorisme. (Inilah.com, 15/9/2010)
Polri Tidak Independen?
Bantuan asing untuk operasional Densus 88 tentu banyak memunculkan berbagai kemungkinan karena setiap bantuan yang diberikan dalam bentuk apapun pada umumnya diikuti oleh motif mendapatkan sesuatu dari apa yang sudah diberikan. Keuntungan itu bisa sifatnya ekonomi, peluang, fasilitas bahkan kepentingan ideologi. Berdasarkan pegalaman yang ada pada negeri ini, setiap bantuan asing yang masuk ternyata tidak pernah cuma-cuma diberikan. Dengan bantuanya tersebut, pihak asing dapat dengan leluasa memerintahkan pengambil kebijakan untuk melakukan ini dan itu atau untuk tidak melakukan ini dan itu. Bantuan asing secara tidak langsung sudah menjebak kita pada posisi sulit dalam mengambil keputusan.
Persoalan bantuan asing ini juga terkait erat dengan kedaulatan. Kebiasaan mereka, selalu menjadikan bantuanya sebagai pipa penghantar untuk masuknya kepentingan mereka ke Indonesia. Bahkan sikap lemah Indonesia dalam hubungan internasional besar kemungkinanya disebabkan oleh posisi utang luar negeri kita yang besar sehingga kita merasa under mental ketika harus berhadap-hadapan dengan negara luar dalam perbagai event international atau bahkan di atas meja perundingan sekalipun.
Hal yang sama kemungkinan terjadi pada lembaga Kepolisian RI. Adanya keraguan sejumlah kalangan atas independensi Polri dalam penanganan kasus kerusuhan di Papua terkait PT Freeport akhir-akhir ini, juga tuduhan sejumlah kalangan atas sepak terjang Densus 88 yang terkesan hanya menjalankan agenda asing dalam Perang Melawan Teror, merupakan indikasi nyata yang menunjukkan bahwa Kepolisian RI selama ini tidak atau kurang independen. Dengan kata lain, kepentingan asing seolah telah mengintervensi lembaga Kepolisian RI selama ini. Wallahu a’lam [Arif-Billah; LS-HTI]