Analisis : Penuntasan Masalah Freeport

Masalah pemogokan karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga hari Senin 7/11 masih terus berlangsung. Hal itu setelah perundingan antara serikat pekerja PTFI dengan pihak menajemen maish menemui kebuntutan. Pada perundingan terakhir, Senin (7/11) serikat karyawan menurunkan tuntutannya, yaitu menunut kenaikan upah menjadi sekitar 80% kenaikan. Sementara pihak manajemen hanya dari tawaran sebelumnya kenaikan upah sebesar 30%, pihak manajemen menawarkan tambahan kenaikan 5 % atau menjadi kenaikan 35 % dari upah yang berlaku saat ini. Akibatnya kesepakatan belum mencapai titik temu. Atas dasar perundingan masih menemui jalan buntu, maka serikat karyawan PTFI kembali menyampaikan surat kepada pihak kepolisian bahwa mereka akan meperpanjang pemblokiran jalan menuju area PTFI di check point I. Semua berdasarkan kesepakatan dengan kepolisian, pemblokiran akan dilakukan hingga tanggal 9 November 2011 menunggu sampai tuntasnya perundingan dengan pihak manajemen. Karena perundingan terakhir, Senin 7/11 masih belum mencapai titik temu, maka pemblokiran akan diperpanjang hingga tanggal 15 Desember 2011.

Ditengah mencuatnya masalah di PTFI ini, juga mencuat temuan bahwa PTFI memberikan dana kepada kepolisian yang disebutkan oleh kepolisian sebagai dana makan siang. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, sepanjang 2001-2010 Freeport telah menggelontorkan uang sebesar 79,1 juta dollar AS atau sekitar RP 711 miliar kepada polisi. Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komjen Imam Sujarwo membenarkan bahwa sejumlah anggotanya di Papua mendapat dana keamanan dari PT Freeport Indonesia sebesar Rp 1.250.000 per orang.

Terkait dengan pemberian dana itu, Kepala Polisi RI Jenderal Timur Pradopo menyatakan, saat ini tim internal Polri yang bertugas untuk melakukan pengecekan soal aliran dana dari PT Freeport kepada polisi Papua masih terus bekerja. Sejauh ini, kata Kapolri, tak ada penyimpangan dalam pemberian dana yang menjadi polemik di tengah masyarakat tersebut. “Apa yang sekarang menjadi permasalahannya itu kan ada di sana, dan itu semua sudah jelas bahwa itu tambahan. Jadi begitu saja, tak ada itu (yang menyimpang),” ujar Kapolri di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (7/11/2011). Saat ini, katanya, tim tersebut juga masih bekerja untuk mencari jalan keluar agar bisa memenuhi kebutuhan hidup anggota Polda Papua, termasuk di dalamnya audit internal dalam institusi Polri (Kompas.com, 7/11/11).

Banyak pihak kemudian mempersoalkan pemberian dana oleh PTFI kepada kepolisian itu. Pasalnya dikhawatirkan kepolisian tidak lagi independen dan akhirnya lebih memihak PTFI. Pada akhirnya karena mendapat dana dari PTFI, kepolisian dikhawatirkan berubah menjadi “centeng” PTFI. Pengaruhnya, kepolisian akan bersikap keras kepada karyawan.

Tidak hanya pihak di dalam negeri yang mempermasalahkannya. Salah satu serikat pekerja di Amerika Serikat yang menaungi antara lain pekerja pertambangan, United Steelworkers, melaporkan dugaan suap yang dilakukan PT Freeport Indonesia ke Kepolisian Republik Indonesia kepada Departemen Kehakiman AS.

Surat pengaduan itu dilayangkan kepada Seksi Suap Divisi Kriminal Departemen Kehakiman AS, 1 November lalu. Surat yang ditandatangani Direktur Urusan Internasional United Steelworkers, Ben Davis menyebutkan, berdasarkan The Foreign Corrupt Practices Act, perusahaan asal AS dilarang memberikan uang kepada aparat keamanan sebuah negara yang memang punya kewajiban mengamankan kondisi dalam negerinya.

United Steelworkers meyakini apa yang dilakukan PT Freeport Indonesia, yang berinduk pada Freeport-McMoran Cooper and Gold Inc dan berkantor pusat di Phoenix, Negara Bagian Arizona AS, ini merupakan suap agar polisi maupun aparat keamanan di Indonesia mengamankan kepentingan perusahaan pertambangan tersebut. “Karenanya, ini melanggar The Foreign Corrupt Practices Act,” tulis surat tersebut.

Surat tersebut juga menyatakan, United Steelworkers yakin Polri dan aparat keamanan bertindak dalam rangka mengamankan kepentingan Freeport McMoran saat mereka sedang berhadapan dengan kepentingan rakyat Indonesia, dalam hal ini buruh PT Freeport Indonesia yang tengah berunjuk rasa menuntut kenaikan upah (lihat, Kompas.com, 3/11/11).Entah apakah kekhawatiran diatas benar, kenyataannya pada saat terjadi demo besar-besaran karyawan, pihak kepolisian berusaha membubarkannya secara paksa. Tanggal 10 Oktober terjadi bentrok antara polisi dan pekerja di kawasan PT Freeport Indonesia (PT FI) yang menewaskan satu orang, tiga mobil terbakar, dan sejumlah orang luka-luka.Kepolisian kembali menekan karyawan PT Freeport Indonesia untuk membuka akses ke areal PT Freeport di Timika, Kabupaten Mimika, Papua, yang mereka blokir. Padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan bahwa pembukaan blokade ditunda hingga 9 November. Tindakan ini memicu amarah karyawan.

Tekanan agar karyawan segera membuka blokade itu disampaikan oleh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Inspektur Jenderal BL Tobing, saat mendatangi tempat karyawan berkumpul di checkpoint 1, areal PT Freeport, Jumat (4/11/2011). Kapolda Papua mendesak blokade segera dibuka, karena tertutupnya akses membuat alur distribusi barang PT Freeport terputus, begitu pula avtur ke Bandara Mozes Kilangin, Timika.Tak berselang lama dari kunjungan Kapolda Papua, satuan Brimob Polda Papua mendekati tenda karyawan di Mil 27, areal PT Freeport. Mereka meminta karyawan membuka blokade karyawan di daerah itu. Tenda karyawan yang dipakai memblokade jalan itu, berjarak sekitar satu kilometer dari checkpoint 1.

Tekanan dari kepolisian dan dilanggarnya kesepakatan, memicu amarah karyawan. Jumat siang, di Mil 27 mereka mempersenjatai diri dengan panah. Mereka pun menggelar tarian perang (Kompas.com, 4/11/11). Pemogokan karyawa PTFI ini sudah berjalan sejak pertengahan Maret lalu. Akibatnya operasional perusahaan mengalami masalah. Produksinya menurut hingga tinggal sekitar 5% dari sebelumnya. Akhirnya pada tanggal 21 Oktober lalu, PTFI mengumumkan kondisi force majeure perusahaan yang kemudian diberitahukan kepada pemerintah dan para pembeli konsentrat emas, perak dan tembaga hasil penambangannya. Akibat kondisi tersebut, dikatakan oleh PTFI bahwa kerugian yang dideritanya mencapai US$ 18 juta per hari dan kerugian setoran ke negara mencapai US$ 8 juta per hari (lihat, detik.com, 2/11/11).

Identifikas Masalah

Permasalahan kisruh yang terjadi di PTFI saat ini bisa dipilah menjadi dua. Pertama, masalah terkait keberadaan PTFI dan KK yang disepakati dengan pemerintah, termasuk di dalamnya masalah besaran royalti. Kedua, adalah masalah hubungan perusahaan dengan karyawan yang tidak termasuk jajaran manajemen dan bukan karyawan asing. Hal itu terjadi ketika karayawan menuntut kenaikan gaji karena sejumlah alasan, diantaranya karena tingkat gaji yang ada tidak sesuai dengan resiko, kondisi kerja dan beban kerja. Juga karena adanya deskriminasi dalam bentuk gap yang sangat jauh antara gaji karawan dalam negeri dengan karyawan asing. Disamping, ternyata tingkat upah karyawan PTFI adalah yang terendah dibanding upah karyawan pertambangan di dunia dan dibanding upah pekerja Freeport di seluruh dunia.

Dalam konteks masalah di PTFI ini muncul beberapa pertanyaan yang mengusik: pertama, dari sisi timing. Kenapa masalah tuntutan karyawan ini muncul pada saat desakan agar KK PTFI ditinjau kembali karena sangat merugikan Indonesia dan karena kuatnya opini itu akhirnya pemerintah menuntut penambahan royalti PTFI agar sesuai dengan agar sesuai ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti emas 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. Saat ini, royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1 %, untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %.

Pertanyaan lanjutannya, kenapa masalah ini berlarut-larut dan tidak kunjung ada kesepakatan antara manajemen dengan karyawan. Padahal, jika melihat tingkat keuntungan yang diperoleh PTFI, kemamuan keuangan PTFI dan dibandingkan upah pekerja Freeport di negara lain,rasanya tidak sulit bagi PTFI untuk segera mencapai kesepakatan tentang upah dengan karyawan. Sangat boleh jadi, nantinya akan tercapai kesepakatan kenaikan upah karyawan pada kisaran angka kenaikan 50%. Angkai itu sudah jauh dari tuntutan karyawan.

Sekali lagi, kenapa permasalahannya terus berlarut hingga PTFI “harus” mengumumkan kondisi force majeure dan akhirnya menyinggung-nyinggung kerugian setoran untuk negara? Apakah dalam hal ini PTFI menggunakan masalah dengan karyawan ini sebagai kartu agar tuntutan kenaikan royalti tidak jadi? Atau, masalah ini dibuat berlarut-larut dan menyebabkan kerugian besar bagi negara sehingga nantinya masalah itu meluas menjadi masalah karyawan dengan negara, sehingga negara akan menekan karyawan untuk menghentikan kasi mogok atau menerima tawaran manajemen? Jika masalahnya berubah menjadi masalah karyawan berhadapan dengan negara maka pintu bagi mencuatnya kembali masalah kekerasan akan terbuka lebar. Tanda ke arah itu agaknya mulai terlihat dangan adanya tekanan kepolisian melalui Kapolda Papua kepada karyawan untuk membuka pemblokiran.

Masalah ketegangan negara dalam hal ini kepolisian dengan karyawan muncul karena adanya “kewajiban” kepolisian untuk menjaga PTFI. Hal itu berawal dari ditetapkannya PTFI atau pertambangan Freeport menjadi salah satu aset strategis dan karenanya harus diberikan pengamanan secara khusus. Memang terlihat adanya perbedaan tingkat pengamanan terhadap PTFI dibanding pertambangan lainnya. Penetapan PTFI sebagai aset strategis ini juga mengundang pertanyaan. Pasalnya, PTFI adalah swasta bahkan 91,64 % sahamnya dimiliki Asing (Freeport McMoran-AS), bukan milik negara dan bukan pula instalasi vital negara. Untuk pengamanan itu diperlukan biaya yang sangat besar karena kondisi lapangan yang sulit. Padahal Royalti yang dibayarkan ke ngara oleh PTFI sangat-sangat kecil. Dan operasional pertambangan Freeport sendiri lebih menguntungkan PTFI dibanding negara.

Lihat saja, akibat penutupan pertambangan itu kerugian bagi PTFI mencapai US $ 18 juta per hari sementara kerugian setoran untuk negara hanya US $ 8 juta. Itu artinya keuntungan pertambangan Freeport untuk PTFI dua kali lebih dari setoran yang diterima negara. Maka jika kemudian neagra berhadap-hadapan dengan karyawan dalam masalah itu, sungguh sangat ironis.

Penyelesaian Tuntas

Penyelesaian masalah keberadaan PTFI secara syar’I bukan degan menegosiasikan KK, apalagi negara justru melindungi PTFI dan berhadapan dengan karyawan yang berasal dari rakyat negara sendiri.Yang harus dilakukan oleh negara secara syar’i adalah, bukan negosiasi untuk menaikkan royalti atau kepemilikan saham tetapi negara harus mengambil alihnya secara total. Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun boleh diambil oleh perusahaan swasta itu atau negara boleh membelinya dengan harga yang sepadan. Tetapi tentu saja setelah diperhitungkan dengan hasil yang selama ini telah mereka keruk dari harta milik umum itu.

Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW. Rafi’ bin Khudaij menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

« مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ » (و في رواية أحمد و ابن ماجه) « وَتُرَدُّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ»

Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka dia tidak berhak atas tanaman itu sedikitpun, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya (HR Abu Dawud, dan al-Tirmidzi) dan dalam riwayat Ahmad dan Ibn Majah : “dan biayanya dikembalikan kepadanya”

Dengan demikian, secara syar’i yang harus dilakukan oleh negara bukan menegosiasikan penambahan royalti atau kepemilikan saham. Apalagi dalam kasus Freeport ini potensinya masih tersisa lebih dari Rp 600 triliun. Secara syar’i yang wajib dilakukan negara adalah mengambil alih semua pengelolaan semua harta milik umum termasuk tambang, minyak, gas, dsb.

Selanjutnya, negara mengelola semua harta milik umum itu dengan baik dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada seluruh rakyat diantaranya untuk membiayai berbagai pelayanan dan kepentingan rakyat.

Sementara masalah upah karyawan, maka sesuai syariah upah karyawan harus ditentukan menurut nilai pekerjaan atau jasa yang diberikan. Dalam hal ini harus diperhatikan banyak hal, seperti kondisi kerja, kadar tenaga yang harus dicurahkan, resiko atau beban kerja, waktu yang harus dicurahkan, tingkat kesulitan dan keahlian yang diperlukan, tingkat upah yang berlaku di pasar, dsb. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang asing dengan karyawan dari dalam negeri. Dengan itu maka tidak akan ada tuntutan kenaikan upah akibat deskriminasi tingkat upah dengan karyawan asing. Dengan ketentuan seperti itu, kesepakatan tingkat upah dengan karyawan juga bisa relatif mudah dicapai.Dengan semua itu,maka kekayaan alam berupa tambang itu semua manfaatnya akan dirasakan oleh rakyat. Disamping itu, juga tidak akan terjadi eksploitasi terhadap karyawan. (Yahya Abdurrahman; LS-HTI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*