Kemenangan an Nahdha, Kebangkitan Polititik Islam ?

Timur Tengah Baru yang masih Berdasarkan Sekulerisme akan gagal, Gelombang Revolusi Kedua Akan Menyusul Tinggal Menunggu Waktu

Partai an Nahdha hampir dipastikan keluar sebagai pemenang dalam pemilu pertama yang demokratis di Tunisa pasca tumbangnya rezim  Zainal Abidin bin Ali.  Tidak bisa dipungkiri, kemenangan partai an Nahdha menunjukkan kuatnya arus Islam dalam pergolakan Timur Tengah (Arab Spring) . Meskipun tidak menyatakan dirinya sebagai partai agama, partai ini didirikan oleh aktifis Islam yang mengadopsi pemikiran al ikhwanul muslimun. Kebangkitan politik Islam dalam Arab Spring  juga tampak  dari keinginan NTC di Libya untuk menjadikan syariah Islam sebagai sumber hukum  ‘New Libya’ pasca tumbangnya rezim Ghadaffi.

Fenemena  ini tidak bisa dilepaskan dari kegagalan partai-partai nasional-sekuler yang selama ini berkuasa di sebagian  Timur Tengah . Disamping represif, mereka juga gagal menyelesaikan persoalan mendasar masyarakat seperti  kemiskinan dan  buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Elit-elit politik  nasionalis sekuler juga dianggap memberikan jalan  bagi menguatnya intervensi asing terutama di bidang ekonomi di Timur Tengah. Hal ini diperburuk  dengan dukungan rezim represif  baik secara terbuka atau tidak terhadap pendudukan Zionis Israel di Palestina.

Kalangan Barat sendiri , berusaha keras untuk membendung arus politik Islam yang merugikan mereka.  Berbagai upaya dilakukan oleh Barat untuk membendung  munculnya negara Islam yang menerapkan syariah Islam  yang total di Timur Tengah. Tidak mengherankan kalau Barat berupaya mengarahkan dan mengontrol perubahan di Timur Tengah agar tetap dalam kerangka negara sekuler yang demokratis  .  Beberapa istilah baru dimunculkan untuk menutupi keinginan Barat memaksakan demokrasi-sekuler yang sesungguhnya seperti negara madani, Islam moderat dll.

Lewat  pemerintahan sementara yang  masih dalam kontrol Barat berbagai upaya pencegakan apa yang disebut kebangkitan Islam radikal dilakukan.  Di Mesir pemerintah meliter sementara, melarang penggunakan simbol-simbol dan idiom Islam dalam pemilu Mesir mendatang. Hal ini membuat Ikhwanul Muslimin mengambil jalan ‘aman’ dengan menghapus slogan “Islam adalah solusi”, dan menggantinya dengan slogan lain, yaitu “Kami membawa kebaikan untuk Mesir”, Slogan yang sama digunakan para kandidat Ikhwan dalam pemilihan parlemen pada tahun 2010,

Sementara di Tunisa sendiri , partai -partai yang mendasarkan kepada agama dilarang untuk ikut Pemilu. Sikap pragmatis pun ditempuh partai  berakar Islam. Partai An Nahdah  berulang-ulang mengisyaratkan bahwa mereka bukanlah partai agama, tidak akan menerapkan syariah Islam, mengakui pluralisme dan bersahabat dengan Barat  termasuk dalam ekonomi. Partai an Nahdha setelah memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan Tunisia  kemarin berjanji untuk  bekerja membentuk masyarakat pluralistik, sekuler dan menghormati hak asasi manusia.(http://www.maannews.net; 25/10)

Pemimpin an Nahdhah , Ghannouchi  juga menyatakan jika an-Nahdhah berhasil memerintah (berkuasa) di Tunisia, maka ia akan tetap mempertahankan Tunisia sebagai tujuan wisata, tidak akan melarang alkohol  atau wanita mengenakan bikini di pantai.  An Nahda juga berjanji berjanji untuk tidak menyentuh kode hukum Tunisia yang  menjadikan negara itu satu-satunya negara di dunia  Arab yang melarang poligami.

Rasyid Ghannouchi,pada hari Jum’at (27/10) juga mengatakan: “Gerakannya yang telah memenangkan pemilu tidak akan memaksakan jilbab pada perempuan Tunisia. Sebab semua upaya-upaya negara Arab untuk melakukannya terbukti gagal.”

Hal yang sama sepertinya akan terjadi di Mesir, mengingat satu-satunya kelompok politik  yang terorganisir secara kuat di negara itu adalah al Ikhwanul Muslimun .

Jebakan Model Turki Sekuler

Tampaknya hingga saat ini perkembangan di  Tunisia tentu menggembirakan Barat. Model Republik Sekuler Turki  dibawah rezim AKP  yang  selama ini ditawarkan Barat  tampaknya berhasil terwujud di Tunisia. Sebuah model yang dianggap mampu memadukan antara Islam dan demokrasi , namun tetap dalam pemerintahan sekuler yang kuat.

Sejak awal Amerika memang berupaya mengarahkan model Republik Sekuler Turki untuk menjadi  arah negara Timur Tengan pasca pergolakan . Menlu AS, Hillary Clinton, melihat Turki sebagai ‘model’ dan ‘contoh’ bagi negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Presiden Obama telah membuat pernyataan yang sama, di sebuah koran Italia ia mengatakan “Kenyataan bahwa itu [Turki] adalah negara demokrasi dan negeri yang sebagian besar penganut Islam, merupakan model sangat penting bagi negara-negara muslim lainnya di wilayah itu.”

The New York Times baru ini mengatakan bahwa Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah standar yang baru . Erdgoan menjanjikan  Islam konservatif kompatibel dengan kebebasan individu, Erdogan tetap memegang kultur yang konservatif namun dengan kebijakan ekonomi yang liberal dan menjadi mercusuar bagi sebuah Timur Tengah baru.

Namun tidak sedikit yang meragukan apakah Model Republik Sekuler Turki ini akan menjadi model terbaik bagi Timur Tengah.  Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan model Republik Turki Sekuler ini di Timur Tengah. Diantaranya, sejauh mana model ini mampu menyelesaikan masalah riil di Tunisia dan kawasan Timur Tengah lainnya. Tidak bisa dipungkiri  problem kemiskinan, buruknya pelayanan kesehatan, transportasi dan pendidikan, pengangguran yang tinggi menjadi pendorong bergeraknya anak-anak muda Tunisia dan Mesir melawan rezim berkuasa. Hingga saat ini, partai an Nahdha belum memiliki konsep yang  jelas dalam masalah ini.

Merujuk kepada model ekonomi  Republik Turki Sekuler  yang berbasis ekonomi liberal , bukannya tanpa persoalan. Memang,  Turki di bawah rezim Partai AKP memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang  cukup signifikan. Laju pertumbuhan ekonomi  negara itu mencapai 8,9 persen pada tahun 2010. Peningkatan PDB atau pertumbuhan tinggi itu tidak lantas menjamin dan menunjukkan bahwa secara individu-perindividu masyarakat negara itu sejahtera. Sebab, kekayaan bisa menumpuk pada segelintir orang saja.

Turki juga menghadapi masalah yang sama; kesenjangan kaya-miskin. Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, angka kemiskinan di Turki pada 2009 justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut laporan terbaru oleh Institut Statistik Turki (TurkStat), prosentase orang Turki yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dari 17,79 persen pada tahun 2008 menjadi 18,08 persen atau 12.750.000 orang.

Pertumbuhan ekonomi Turki tidak bisa dilepaskan dari program liberalisasi ekonomi yang dicanangkan Erdogan. Karena itu, ekonomi Turki sangat bergantung pada ekonomi Kapitalisme global  dunia yang rapuh. Kalau Amerika dan Eropa sebagai pionirnya saja bisa guncang, tentu bukan mustahil hal yang sama terjadi di Turki. Itu tinggal menunggu waktu.

Pangkal persoalan di Timur Tengah dan negeri-negeri Islam lainnya sesungguhnya adalah penerapan sistem kapitalisme liberal dengan penguasa boneka represif yang dijaga dan dipelihara Barat . Walhasil Timur Tengah Baru yang mendasarkan kepada sekulerisme tidak akan menyelesaikan persoalan karena justru tetap memilihara kebijakan kapitalisme Barat dan memelihara intervensi  imperialisme asing. Di sisi lain , sikap represif pun akan tetap ada terutama terhadap aktifis Islam yang menginginkan tegaknya syariah Islam yang kaffah.

Model Sekuler Turki ini dipastikan akan gagal  di Timur Tengah,  revolusi kedua sangat mungkin terjadi. Ketika sistem demokrasi dan liberalisme ternyata gagal, rakyat  Timur Tengah tampaknya tinggal berharap pada satu pilihan, yakni negara Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Kalau ini terjadi , bukan hanya merombak tatanan regional Timur Tengah tapi juga internasional. Badan Inteligen Amerika NIC, pernah memprediksi tegaknya Khilafah terjadi pada tahun 2020, namun kalangan para pejuang Islam yakin, waktu tegaknya Khilafah sangat dekat dengan izin Allah SWT. (Farid Wadjdi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*