Apa yang dimaksud moratorium remisi?
Moratorium remisi adalah penghapusan remisi (pengurangan masa tahanan). Moratorium remisi didasarkan pada keinginan untuk menciptakan aspek jera kepada pelaku-pelaku tindak criminal tertentu, sekaligus untuk mencegah orang-orang lain untuk berbuat kejahatan serupa.
Bagaimana pandangan Islam tentang moratorium remisi koruptor dan remisi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami terlebih dahulu klasifikasi kasus criminal serta sanksi-sanksi untuk kasus-kasus criminal tersebut.
Secara umum, kasus kejahatan dikelompokkan dalam empat kelompok. Kelompok pertama adalah kasus hudud. Hudud adalah kasus-kasus criminal yang sanksi atas kejahatan tersebut telah ditetapkan kadarnya oleh Asy Syaari’. Kasus ini merupakan hak Allah swt. Hudud, menurut Dr Abdurrahman al-Maliki, dalam Kitab Nidzam al-‘Uqubat fi al-Islaam, dibagi menjadi enam macam; yakni; (1) zina dan homoseksual (al liwaath), (2) menuduh berzina (al qadzf), (3) meminum khamer, (4) pencurian, (5) murtad, dan (6) hirabah atau bughat.[Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy, Nidzam al-‘Uqubat fi al-Islaam, hal.23]
Dalam kasus hudud tidak ada pengampunan, maupun pengurangan kadar sanksi. Pasalnya, hudud adalah hak Allah swt. Oleh karena itu, jika di majelis persidangan, seseorang terbukti melakukan perzinaan, maka ia akan dikenai sanksi had (hudud), bisa didera 100 kali dan diasingkan, jika pelakunya ghairu muhshon, atau dirajam hingga mati jika pelakunya mushon. Sanksi tidak boleh dihapus, dikurangi, atau diganti dengan sanksi lain.
Kelompok kedua adalah jinayat. Jinayat adalah penyerangan atas manusia. Jinayat dibagi menjadi dua, jinayat atas jiwa dan jinayat atas badan. Dalam kasus penyerangan atas jiwa (jinayat atas jiwa), atau yang lebih dikenal dengan kasus pembunuhan, maka sanksinya adalah hukuman qishash atau membayar diyat. Qishash hanya dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja, dan jika pihak keluarga korban tidak memberikan pengampunan. Sedangkan pada kasus pembunuhan selain pembunuhan sengaja, sanksinya adalah membayar diyat.
Di dalam kasus jinayat menerima pengampunan. Jika pihak keluarga memberikan maaf (pengampunan) dan meminta diyat, maka pelaku pembunuhan wajib membayar diyat, dan terbebas dari hukuman qishash.
Adapun jinayat atas badan, maka pelaku penyerangan dikenai diyat , sesuai dengan ketentuan syariat. Ada kalanya dalam kasus penyerangan tertentu, dibolehkan melakukan qishash (melukai balik), seperti pada pelukaan asy-syijaaj. Prinsipnya, jila luka itu bisa diukur, dan dipastikan jika penyerang dilukai balik, lukanya bisa setara atau sama dengan lupa korban, maka boleh dikenai qishash (melukai balik). Kadang-kadang ada pelukaan yang menciderai atau melenyapkan fungsi organ, maka, dalam kasus seperti ini, biasanya dikenai hukumah; yakni diyat yang ditetapkan oleh qadliy berdasarkan perkiraan.
Kelompok ketiga adalah ta’zir. Secara literal, ta’zir, bermakna pencegahan (al-man’u). Sedangkan menurut istilah, ta’zir adalah hukuman edukatif (al-ta-diib) yang bertujuan untuk menakut-nakuti (at tankiil). Secara syar’iy, ta’ziir bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas kemaksiyatan yang tidak ada hadd dan kaffaarah di dalamnya.
Dalam kasus ta’zir, jenis dan kadar sanksi ditetapkan sepenuhnya oleh hakim. Seorang hakim berhak menetapkan sanksi tertentu dengan kadar tertentu pada tindak-tindak kriminil yang terkategori ta’zir. Dalam kasus ini, seorang hakim juga diperkenankan memberikan pengurangan kadar sanksi, atau bisa mengalihkan pada jenis sanksi-sanksi yang lain, menurut ijtihadnya.
Kelompok keempat adalah mukhalafat. Mukhalafat adalah sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa, baik khalifah, atau selain khalifah seperti mu’awin-mu’awin, wali-wali, ‘ummal-‘ummal dan lain-lain. Sanksi atas penentangan perintah penguasa disebut ‘uqubat mukhalafat. Mukhalafat ditetapkan sebagai salah satu sanksi dari sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh Asy Syaari’. Sebab, penentangan terhadap perintah Khalifah atau Iman termasuk salah satu kema’shiyyatan yang wajib dikenai sanksi.
Kasus Korupsi dan Terorisisme
Korupsi berbeda dengan pencurian (saraqah). Pasalnya, pencurian (saraqah) adalah tindakan mengambil harta milik orang lain yang tersimpan ditempat yang ghalibnya digunakan sebagai tempat penyimpanan harta, dengan cara sembunyi-sembunyi. Sanksi bagi pencurian adalah potong tangan di bagian pergelangan. Allah berfirman: “Dan laki-laki yang mencuri serta perempuan yang mencuri maka potonglah tangan keduanya”. (TQS. Al-Maidah[5]: 38). Sedangkan pencurian, walaupun didalamnya ada unsur pengambilan harta milik orang lain, baik negara atau perusahaan, hanya saja, praktek korupsi berbeda dengan praktek pencurian. Atas dasar itu, korupsi tidak dimasukkan dalam hudud, akan tetapi ta’zir.
Jika korupsi termasuk dalam kasus ta’zir, maka jenis dan kadar sanksi diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Seorang hakim bisa saja menjatuhkan sanksi penjara, dera, pengasingan, penyitaan harta, atau hingga taraf hukuman mati. Seorang hakim juga dibolehkan mengurasi masa tahanan, atau mengalihkan ke sanksi yang lain. Seorang hakim juga diperbolehkan memberikan moratorium remisi atas pelaku korupsi, atau tidak. Semuanya diserahkan kepada keputusan hakim (qadliy).
Adapun kasus terorisme, maka, aktivitas terorisme dapat dikategorikan dalam kasus hudud, yakni hirabah, jika pelakunya berjumlah banyak, mempersenjatai dirinya, dan diorganisir dengan baik. Adapun sanksi bagi pelaku tindak hirabah adalah sebagai berikut:
- Dibunuh: sanksi ini dijatuhkan bila pelaku hanya membunuh namun tidak merampas harta.
- Dibunuh dan disalib: bila orang tersebut membunuh dan merampas harta.
- Dipotong tangan kanan dan kaki kiri: bila orang tersebut merampas dan merampok akan tetapi tidak membunuh.
- Dibuang: bila orang tersebut meresahkan manusia tanpa merampas dan membunuh.
Tidak ada pengampunan maupun remisi pada kasus hirabah. Pasalnya, hirabah termasuk hudud yang menjadi hak Allah swt. Atas dasar itu, dalam kasus terorisme, tidak dikenal moratorium remisi, atau tidak. Pasalnya, jenis dan kadar sanksi pada kasus hirabah telah ditetapkan oleh Asy Syaari’, dan seorang qadliy tidak boleh mengubahnya, dengan alasan apapun. [Syamsuddin Ramadhan An Nawiy]