Dalam sebuah pernyataan sebelum kunjungan “Raja Abdullah” ke Ramallah, Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas (Abu Mazen) berkata: “Palestina bagi rakyat Palestina, dan Yordania bagi rakyat Yordania.” Pernyataan ini untuk mengembalikan pada suatu era, di mana umat mulai melewatinya dan bahkan mulai bergerak menuju penghapusannya dari dunia. Dalam hal ini, Presiden Otoritas Palestina dan tamunya “Raja Abdullah” mencerminkan sisa-sisa kumpulan boneka Barat, yang mengambil perbatasan Sykes-Picot sebagai akidahnya, merobek-robek umat menjadi negeri-negeri kecil dan bangsa yang memiliki aturan dan hukum sendiri, yang dengan semua ini berusaha untuk mengabadikan batas-batas (sekat-sekat) buatan di antara generasi umat yang satu ini, serta berusaha untuk melindungi kepentingan Barat dan menjamin pelaksanaan rencananya di kawasan Timur Tengah, dalam rangka mencegah berdirinya kembali negara khalifah yang akan menyatukan kaum Muslim dalam satu institusi, yang akan menyatukan kembali kekuatan mereka, menyatukan kata-kata mereka, dan membebaskan tanah mereka.
Kedatangan “Raja” ini bukan untuk membebaskan Palestina, justru ia memasuki Palestina dengan izin dari entitas Yahudi, dan di bawah tombak mereka yang bertetesan darah, agar kunjungan “Raja” ini mampu mendesak Otoritas untuk melanjutkan negosiasi, dan menegaskan hak entitas Yahudi di atas tanah yang diberkati, melalui dukungan terhadap “sikap Abbas terkait proses perdamaian, dan perlunya negara Palestina dengan perbatasan tahun 67, serta mengatakan bahwa semua itu adalah kepentingan yang paling tinggi bagi Yordania,” juga untuk menjauhkan momok gagasan bahwa Yordania adalah negara alternatif yang sedang diincar oleh beberapa pemimpin Yahudi.
Karena mentalitas ketergantungan dan budak yang bersarang dalam pikiran kumpulan boneka Barat ini, sehingga mereka tidak mampu melihat solusi untuk masalah umat, kecuali hanya melalui alat-alat kolonial yang menjijikkan, yang justru memperkokoh pendudukan, merampas hak-hak dan kekayaan, serta merobek-robek umat. Sungguh dalam hal ini “Raja Abdullah” menekankan bahwa “Yordania akan terus mendukung upaya Otoritas Palestina di semua forum internasional untuk mencapai keadilan yang diimpikan oleh rakyat Palestina, mendapatkan kemerdekaannya, dan mendirikan negaranya yang merdeka melalui perundingan damai dalam kerangka resolusi dengan legitimasi internasional; dan untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel harus mengatasi semua masalah yang mendesak penyelesaian akhir, khususnya masalah pengungsi dan al-Quds, serta tercapainya perdamaian yang adil dan komprehensif, yang mengembalikan semua hak kepada pemiliknya, serta mengakhiri kondisi ketegangan di kawasan itu.”
Melalui pernyataan dan sikap ini, jelas bahwa “Presiden Otoritas dan Raja Abdullah” bertemu (sepakat) atas gagasan merobek-robek umat Islam hingga menjadi serpihan bangsa dan negeri kecil, dan mengerdilkan masalah tanah yang diberkati ini menjadi masalah rakyat Palestina, bahkan menjadi masalah faksional yang diwarnai kebencian; keduanya juga sepakat untuk melaksanakan visi negara kafir Barat terkait solusi dua-negara, dan mati-matian membela hak entitas Yahudi untuk hidup melalui pengakuannya; serta keduanya mengambil negosiasi perdamaian dan keputusan PBB yang telah menyerahkan Palestina kepada Yahudi sebagai referensi dan dasar bagi setiap solusi (penyelesaian) masalah Palestina. Abdullah dan Abbas juga sependapat bahwa tidak adanya perdamaian dengan entitas Yahudi akan menjadikan kawasan itu terus dalam kondisi ketegangan! Jadi, dalam pandangan keduanya masalahnya adalah terletak dalam menjamin keamanan dan keselamatan entitas Yahudi, bukan keberadaan dan pendudukannya terhadap tanah yang diberkati!
Masalah Palestina telah membawa persatuan umat Islam, kesatuan pandangannya, dan kerinduannya pada suatu hari, di mana tentara Khilafah merayap menuju al-Quds untuk membebaskannya dan membebaskan tanah yang diberkati itu dari kotoran najis Yahudi. Pandangan atas solusi ini berasal dari ketentuan syariah yang menjadikan Palestina milik umat Islam. Sehingga membebaskannya merupakan tanggung jawab yang dipikul oleh setiap Muslim.
Sementara rezim-rezim usang yang tersisa, yang hidupnya di musim gugur ini diselimuti oleh keprihatinan dan ketakutan, serta dibutakan oleh kesesatan lamanya, tidak mampu melihat tuntutan perubahan yang digerakkan umat, sebab rezim-rezim itu senang dengan ketergantungan dan menjadi budak Barat, di mana Barat sengaja menciptakannya sebagai alat untuk menjaga kepentingannya.
Sumua ini tidak lain hanyalah saat-saat akhir malam sebelum fajar di mana sisa-sisa entitas buatan ini akan menyusul rezim-rezim yang digulingkan di Tunisia, Mesir dan Libya, agar umat kembali diatur dalam sistem negara Khilafah yang tegak di atas metode kenabian. Sebagaimana, manusia terbaik, Muhammad Saw telah menyampaikan kabar gembira akan semua hal itu. Kemudian Khilafah akan menggerakkan tentaranya untuk membebaskan seluruh Palestina dari kotoran najis Yahudi (pal-tahrir.info, 22/11/2011).