[Al Islam 582] Sejak didirikan tahun 2003 hingga sekarang Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan 406 kali uji materi terhadap berbagai produk UU. Gugatan yang dikabulkan MK jumlahnya mencapai 97 UU.
Menurut Mahfud MD, hal itu adalah cermin rendahnya kualitas legislasi di Indonesia. Buruknya legislasi ini terjadi karena ada praktik jual beli kepentingan dalam pembuatan UU. (lihat, Republika, 16/11).
Melayani Pemilik Modal, Bukan Rakyat
Menurut Mahfud MD buruknya legislasi itu disebabkan oleh tiga hal: Pertama, ada tukar menukar isi pasal antarpemain politik yang bukan didasarkan pada kepentingan rakyat, tapi kepentingan politik. Kedua, tidak profesional; Dan ketiga, karena jual-beli pasal.
Beberapa contoh jual beli pasal itu: pertama, penggunaan dana Yayasan BI sebesar Rp 100 miliar, yang Rp 68 miliar untuk pengacara, dan Rp 31 miliar untuk DPR, untuk mengegolkan Undang-Undang BI. Kedua, Dana Abadi Umat Rp 1,5 miliar dibayarkan ke DPR untuk mengegolkan UU Wakaf. Ketiga, mafia anggaran yang diungkap oleh Wa Ode Nurhayati Keempat, kasus suap Kemenakertrans yang disidangkan di Pengadilan Tipikor terkait jual beli dalam UU APBN-P 2011 (lihat, detik.com, 17/11).
Menurut Mahfud, praktik keji itu bisa terjadi karena ada yang berkepentingan dengan suatu UU. Orang yang berkepentingan itu bisa membeli pasal tertentu lewat DPR. Akibatnya, DPR dalam membuat rancangan UU berdasar kehendak perorangan atau kelompok, bukan kehendak rakyat (Republika, 16/11).
Tidak boleh dikesampingkan, pihak yang berkepentingan itu bukan hanya dalam negeri tetapi juga asing. Bahkan kepentingan asing itu sangat terasa dan berpengaruh dalam lahirnya UU neoliberal. Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi Hukum DPR mengatakan, yang banyak dibatalkan adalah UU bernapas liberalisasi ekonomi yang merupakan amanat Organisasi Perdagangan Dunia -WTO (Republika, 17/11). Menurut Ichsanuddin Noorsy pintu masuk kepentingan asing itu banyak seperti lewat fasilitas utang luar negeri, studi banding dan beasiswa, serta penelitian yang disponsori lembaga asing.
Pembuatan UU atau Peraturan tak jarang menjadi syarat pemberian utang itu. Contohnya adalah pembuatan UU Sumber Daya Air (UU SDA) yang membenarkan privatisasi sumber daya air dan penguasaan mata air oleh swasta. Pembuatan UU SDA itu merupakan persyaratan utang antara pemerintah dan Bank Dunia dalam Water Structural Adjustment Loan (WATSAL) senilai 350 juta USD. Satu-satunya alasan mengapa pengesahan RUU SDA oleh DPR kala itu terkesan dipaksakan adalah pernyataan Menteri Keuangan waktu itu yang dijabat oleh Boediono. Menkeu Boediono menyatakan bahwa pencairan dana utang dari Bank Dunia untuk Utang Program WATSAL sangat dibutuhkan dalam menambal defisit anggaran APBN (press release Koalisi Anti Utang – KAU, 27/7/2005).
Akibat dari semua itu, akhirnya UU, hukum dan peraturan dibuat lebih untuk melayani dan mengabdi kepada modal, baik yang berasal dari dalam negeri dan lebih celaka lagi berasal dari asing.
Akar Masalah : Sistem Demokrasi dan Kapitalisme
Semua masalah itu akar masalahnya adalah sistem demokrasi yang menjadi pilar pokok ideologi kapitalisme. Dalam sistem demokrasi atas nama kedaulatan rakyat, hak membuat UU dan peraturan diserahkan kepada wakil rakyat yang diklaim mewakili suara rakyat (meskipun kenyataannya banyak UU yang justru menyengsarakan rakyat). Manusia, termasuk para wakil rakyat dalam sistem politik demokrasi, tentu saja selalu dipengaruhi oleh kepentingan baik pribadi, kelompok ataupun partai. Karenanya, dalam sistem demokrasi, UU dan peraturan itu lahir dari kompromi berbagai kepentingan yang diusung oleh para wakil rakyat. Itu artinya, UU dan peraturan langsung atau tidak akan selalu menjadi obyek tawar menawar dan barang dagangan para wakil rakyat.
Sistem politik demokrasi tak ubahnya industri politik. Diperlukan modal besar untuk membiayai proses politik. Proses politik yang mahal membuat para pejabat dan politisi mencari cukong untuk mendanai operasi politik mereka. Mereka hanya menjadi kacung para pemegang uang – tak peduli majikannya asing atau dalam negeri. Maka jadilah UU dan peraturan lebih banyak mengadopsi kepentingan para cukong itu dari pada kepentingan rakyat. Pembajakan peraturan untuk kepentingan pemilik modal itu bisa saja melalui jual beli pasal yang memang bukan isapan jempol. Namun sebenarnya itu sudah terjadi sejak awal proses politik melalui penyediaan modal bagi para politisi untuk terjun ke dunia politik. Imbalannya, lahirlah berbagai UU dan peraturan yang mengamankan atau melayani kepentingan para pemilik modal itu.
Lahirnya UU yang tak lagi melayani kepentingan rakyat itu juga akibat kapitalisme global. Munculnya berbagai UU khususnya terkait ekonomi yang bernuansa neoliberal dan merugikan rakyat adalah bukti nyata dalam hal ini. Tidak sedikit UU dan peraturan yang bernapas liberal itu merupakan amanat WTO. Setelah meratifikasi perjanjian WTO, pemerintah diwajibkan membuat berbagai UU yang mewadahi liberalisasi dan memfasilitasi perdagangan bebas. Realisasi hal itu dipastikan dan dikawal melalui berbagai organisasi internasional seperti Bank Dunia, IMF, ADB, USAID dan lainnya.
IMF melakukannya diantaranya melalui LoI yang dipaksakan kepada pemerintah. Dan setelah LoI berakhir dilanjutkan melalui SAP –Structural Adjustment Program-. Bank Dunia diantaranya melalui pembiayaan berbagai proyek penelitian, pembuatan rancangan peraturan (UU) hingga pengajuannya atau dijadikan syarat utang yang dikucurkan, seperti Water Structural Adjustment Loan (WATSAL) yang melahirkan UU SDA yang sangat merugikan rakyat. Sementara USAID juga turut berperan aktif merancang, menyiapkan dan mengawal pembuatan UU dan peraturan lainnya.
Semua proses itu berlangsung sejak lama dan jangka panjang. Dokumen Recovery of Economic and Financial Systems (USAID, 2001), USAID menyatakan: “USAID dan Departemen Keuangan dalam jangka panjang akan menyiapkan tenaga ahli teknis yang akan membantu Pemerintah Indonesia mengembangkan dan melaksanakan anggaran, fiskal, moneter, nilai tukar, kebijakan perdagangan dan hukum. Bantuan teknis juga akan diberikan untuk menganalisis dan meninjau perubahan harga/subsidi yang diperlukan untuk membantu Pemerintah mengurangi atau menghilangkan defisit anggaran”.
Berbagai dokumen dari lembaga-lembaga itu mengungkap campur tangan kepentingan penjajah asing ini dalam banyak UU yang bercorak neoliberal dan merugikan rakyat. Diantaranya : UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal, UU Otda, UU Kelistrikan, UU Migas, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Perlindungan Konsumen, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Hak Atas Kekayaan Intelektual, UU Sumber Daya Air, UU Minerba, dan sebagainya.
Akibatnya negeri ini menghadapi banyak persoalan di berbagai bidang seperti industri ritel, sumber daya air, listrik, perdagangan, tambang, dan divestasi. Pasar-pasar tradisional kalah bersaing dengan supermarket raksasa, pedagang-pedagang kelontong banyak yang bangkrut. Banyak mata air yang dimonopoli oleh perusahaan asing sementara rakyat kesulitan air . Demikian juga bahan-bahan baku industri yang berlimpah dari alam justru dinikmati industri asing, kekayaan alam dikeruk asing. Aset-aset negara di BUMN dijual atas nama program penyehatan. Sementara rakyat hanya gigit jari, mengais remah-remahnya. Negeri ini hanya menjadi pasar barang-barang industri negara lain dan menjadi pemasok bahan baku industri mereka.
Solusinya: Terapkan Syariah
Lahirnya UU dan peraturan yang lebih mengabdi kepada modal dan merugikan rakyat itu akan terus berlanjut selama sistem demokrasi tetap dipakai. Karenanya untuk menghentikan semua itu sistem kapitalisme termasuk demokrasi harus segera ditinggalkan. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124)
Berbagai kerusakan dan penderitaan rakyat yang terjadi saat ini tidak lain adalah akibat ulah tangan perbuatan manusia sendiri yang menyimpang dan menyalahi petunjuk yang telah diberikan oleh Allah SWT. Semua itu hanyalah sebagian dari akibat itu yang ditampakkan oleh Allah agar manusia kembali ke jalan yang benar, kembali kepada petunjuk-Nya SWT (lihat QS ar-Rum : 41).
Tidak ada jalan lain, agar hukum berpihak kepada rakyat sekaligus mampu menyelesaikan berbagai persoalan manusia, kita harus kembali kepada Syariah Islam secara utuh. Berdasarkan Syariah Islam, hak membuat hukum hanyalah menjadi milik syara’ semata, bukan dimiliki oleh manusia baik rakyat, wakil rakyat maupun penguasa. Hal ini akan menutup berbagai kepentingan hawa nafsu manusia campur tangan di dalamnya. Dengan itu hukum tidak akan menjadi obyek tawar menawar kepentingan dan tidak menjadi bahan dagangan segelintir orang. Pintu campur tangan asing dalam pembuatan UU dan peraturan pun tertutup rapat. Syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT yang Maha Sempurna akan memberikan kemaslahatan bagi setiap manusia termasuk rakyat. Lebih dari itu kehidupan yang baik akan bisa dirasakan oleh semua orang. Karena itu saatnya kita segera memenuhi seruan dengan menerapkan syariah Islam secara utuh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS al-Anfal [8]: 24)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam:
Jajak Pendapat Kompas: Pandangan dan harapan masyarakat terhadap masa depan partai politik di Indonesia sedang berada di titik jenuh. (Kompas, 21/11)
- Dalam sistem demokrasi kapitalis, politik lebih identik dengan urusan mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Partai politik hanya mengejar kekuasaan dan abai terhadap kemaslahatan rakyat.
- Dalam Islam, politik adalah pemeliharaan urusan rakyat. Hanya dengan Sistem Islam, parpol yang memperjuangkan kemaslahatan rakyat akan terwujud.