UTANG bagi sejumlah negara, pada saat-saat tertentu, menjadi penolong. Namun, utang bisa berubah menjadi bencana ketika sudah menjelma sebagai candu.
Celakanya, utang yang sudah menjadi candu itulah yang kini menjerat bangsa ini. Jumlah utang negara ini terus menggunung, bahkan sudah mencapai Rp1.768 triliun.
Padahal, sepuluh tahun lalu, utang negeri ini masih sekitar Rp1.273 triliun. Itu berarti, tiap tahun jumlah utang negeri ini naik rata-rata sekitar Rp50 triliun.
Bahkan, dalam setahun terakhir tren penambahan utang meningkat. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan menunjukkan pada 2010 jumlah utang pemerintah Rp1.676 triliun. Artinya, dalam kurun setahun terakhir utang bertambah sebesar Rp91,19 triliun.
Bila beban utang dibagi rata kepada penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta orang, tiap rakyat termasuk bayi memikul utang Rp7,4 juta.
Jeratan utang kian menyulitkan karena hampir 45% pinjaman itu berbentuk mata uang dolar Amerika Serikat. Akibatnya, sedikit saja terjadi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, nominal utang pun kian menggembung.
Makin menyedihkan lagi ketika utang yang terus menggunung itu masih ditanggapi biasa-biasa saja oleh pemerintah. Para penyelenggara negara masih nyaman berlindung di balik rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang menurun, dari 32% pada 2009 menjadi 26% tahun ini.
Rasio utang terhadap PDB sebesar itu selalu dibilang ‘masih aman’. Lalu muncul logika, ‘karena masih aman, menambah utang pun tidak apa-apa’.
Maka, utang pun menjadi kebutuhan, bukan lagi sekadar instrumen penambah anggaran. Utang-utang baru terus bermunculan, baik utang luar negeri maupun yang berbentuk surat berharga.
Padahal, saat Republik ini dipimpin Megawati Soekarnoputri, sudah ada komitmen dan langkah keluar dari jerat utang. Salah satu kebijakan pemerintahan Megawati ialah membayar kewajiban pokok dan bunga pinjaman kepada IMF sesuai jadwal yang ditetapkan dan memasuki program pengawasan pascakerja sama dengan IMF.
Bahkan, dalam sidang kabinet pada 28 Juli 2003, pemerintahan Megawati memutuskan pemerintahan hasil Pemilu 2004 harus melunasi utang kepada IMF. Betul bahwa rekomendasi itu dijalankan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007. Namun, langkah itu justru dibarengi dengan munculnya utang baru kepada lembaga lain. Itu sama saja dengan keluar dari mulut singa masuk mulut buaya.
Kalau kecanduan utang tidak diakhiri, bukan tidak mungkin negeri ini bakal terjerumus dalam kebangkrutan ekonomi. Sinyal itu sudah tampak dari Eropa, ketika Yunani, Italia, Irlandia, dan Portugal terhuyung krisis akibat utang yang menggunung.
Apakah pemerintah di negeri ini akan terus nyaman berlindung di balik rasio utang terhadap PDB yang sebenarnya semu itu? (mediaindonesia.com, 25/11/2011)
sistem ekonomi neolib memang begitu, pembangunan bertumpu pd investasi dan utang, AS dan sebagian eropa utangnya sdh lbh dari 100% PDB nya. mungkin indonesia merasa derajatnya akan naik tatkala utangnya bs menyamai mereka…atas nama pertumbuhan ekonomi rakyat tak diperhatikan. selama sistem negara ini condong pd kapitalis, utang, eksploitasi akan terus ditumbuhsuburkan…jadi tak ada alasan untuk tdk memberlakukan sistem ekonomi Islam yang dpt mensejahterakan umat