HTI Press. Team Lajnah Fa’aliyah (LF) DPD HTI Kota Bekasi melaksanakan kunjungan resmi ke kantor DPD PPP Kota Bekasi, Sabtu 12 Nopember 2011. Team LF DPD HTI Kota Bekasi yang dipimpin oleh Ust. Jumadi, terdiri atas Ust. Ahmad, Ust. Agung, Ruiyat, Agung, dan Handi. DPD PPP Kota Bekasi diwakili oleh Ust. Sanwani sebagai Wakil Ketua I DPD PPP Kota Bekasi, dan Maulana sebagai Wakil Sekretaris DPD PPP Kota Bekasi.
Ust. Sanwani yang juga aktif di MUI Kota Bekasi, mengemukakan kondisi politik di Indonesia, khususnya di Bekasi. Banyak partai politik Islam yang tidak masuk electoral threshold. Ada pula partai politik yang dahulu memegang asas Islam, kini beralih mejadi berasas nasionalisme-sekuler, demi untuk mengejar perolehan suara. Beliau kemudian menyebutkan kondisi masyarakat Indonesia yang notabene muslim, tetapi “tingkat keagamaannya” rendah.
Terkait dengan kondisi Bekasi yang dilanda konflik kepentingan antara para pejabat tinggi kota, dan juga sehubungan dengan kasus korupsi yang melibatkan walikota sebagai tersangka utama, beliau hanya bisa mengelus dada, dan berharap agar “gonjang-ganjing” politik ini akan berakhir.
Beliau mempertanyakan posisi Hizbut Tahrir Indonesia, khususnya di Kota Bekasi. “Kalau HTI terus berada di luar sistem, akan susah masuk ke semua lini.” Beliau juga menyatakan kesiapannya, bila ada kesempatan, untuk memfasilitasi sebuah sinergi perjuangan Islam dengan HTI dalam konteks politik praktis, khususnya di Kota Bekasi.
Ust. Agung kemudian menjawab dengan jelas, bahwa HTI adalah partai politik berideologi Islam yang berjuang dari luar sistem. Ada beberapa argumentasi. Pertama, dalil syara menyatakan dengan jelas bahwa kedaulatan di tangan Allah. Sedangkan sistem yang kini diterapkan (demokrasi) menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Dengan kata lain, berjuang di dalam sistem bermasalah secara dalil syara. Kedua, argumentasi rasional. Perubahan yang hakiki tidak pernah berawal dari dalam sistem, tetapi justru di luar sistem. Reformasi 1998-walaupun kini bermasalah-adalah contoh yang bisa diambil untuk menjelaskan perubahan tersebut.
Ust. Agung menjelaskan fungsi-fungsi parpol, yaitu edukasi, agregasi, artikulasi, dan legislasi. HTI telah melakukan semuanya, kecuali yang terakhir. Sebab, untuk berkuasa haruslah sesuai dengan aturan Allah, bila tidak maka tunggulah kehancurannya. Parpol Islam seharusnya bertindak sesuai dengan Islam yang merupakan aturan Allah. Sebaliknya, jangan mau hanya jadi “tukang stempel” yang hanya menjadi alat legitimasi kezaliman penguasa sekuler. Bila ini terjadi, maka tidak jelas bedanya antara parpol Islam dan parpol sekuler.
Ust. Sanwani masih berpegang pada pendiriannya untuk berjuang di dalam sistem, dan mengajak HTI dan seluruh komponen Islam untuk bersatu di bawah naungan NKRI, dan mengedapankan kebersamaan, khususnya di Kota Bekasi. Beliau kemudian berulang kali mempertanyakan posisi HTI, terkait dengan partai oposisi dan koalisi, serta sikap HTI terkait golput (abstain di dalam pemilu).
Ust. Ahmad kemudian menyanggah pendapat beliau, seraya menjawab dan mengemukakan argumentasi serta dalil yang kuat, bahwa berjuang menegakkan Khilafah adalah kewajiban setiap muslim, dimana saja ia berada. Khilafah itu adalah janji Allah yang pasti akan terwujud. Adapun posisi Hizbut Tahrir adalah sebagai partai politik yang berfungsi untuk mengingatkan penguasa (muhasabah lil hukkam). Dengan kata lain, Hizbut Tahrir di dalam posisi untuk menunaikan kewajiban dari Allah untuk mengkritik, dan meluruskan penguasa zalim, serta membongkar kejahatan para penjajah. Posisi Hizbut Tahrir tidak berada dalam oposisi dan koalisi, sebab dua hal itu adalah konsep di dalam sistem demokrasi yang haram untuk diambil. Terkait dengan golput, ternyata parpol sekuler pun mengalami penurunan suara yang signifikan. HTI tidak pernah mendorong masyarakat bersikap apatis terhadap politik dan juga pemilu, tetapi HTI berusaha untuk memberikan edukasi politik kepada masyarakat tentang bagaimana proses peralihan kepemimpinan, atau perubahan yang diridhai Allah Ta’ala.
Ust. Jumadi menutup pembicaraan dengan menjelaskan demokrasi yang dimanfaatkan musuh-musuh Islam untuk melemahkan perjuangan umat Islam di dalam menegakkan Syariah dan Khilafah. Demokrasi adalah sistem kufur yang haram untuk dijalankan dan disebarluaskan. Perubahan yang fundamental tidak berasal dari dalam sistem, namun di luar sistem tersebut. Ust. Jumadi mengajak untuk bersama-sama melakukan perubahan yang hakiki dengan mengganti rezim dan juga mengganti sistem dengan Khilafah. [af]