Menteri Negara Urusan Pemuda di Prancis, Jeannette Bougrab menjelaskan pada surat kabar Prancis “Le Parisien” (2/12/2011) dengan mengatakan “Hal yang sangat mengkhawatirkan, bahwa saya tidak tahu apa itu Islam moderat.”
Dia menambahkan: “Syariah Islam itu tidak menerima kompromi. Saya adalah ahli hukum. Dan saya mengatakan bahwa Anda dapat mencoba apa pun untuk menjelaskan perkara menurut hukum, literal atau pemahaman fundament. Namun dalam hukum yang didasarkan pada Syariah, tidak ada ruang yang memberlakukan batas-batas kebebasan, terutama kebebasan beragama.”.
Reaksi Menteri Prancis ini muncul menyusul keberhasilan dalam pemilu yang dicapai oleh kelompok-kelompok Islamis di Tunisia, Maroko dan Mesir.
Bahkan ia memperingatkan untuk tidak berlebihan dalam mendukung revolusi ketika membicarakan tentang rezim-rezim yang digulingkan, seolah-olah ia tidak melihat keburukan rezim-rezim itu. Ia berkata: “Ini tidak berarti bahwa kita harus melakukan aksi yang berlebihan.”
Sungguh, ia merasa keheranan bagaimana ratyat Tunisia memberikan suaranya pada Partai Islam “An-Nahdhah”. Ia mengatakan: “Hal yang sangat mengejutkan saya adalah, bahwa mereka yang begitu menikmati hak-hak dan kebebasan di sini, justru mereka yang memberikan suaranya untuk partai partai religius.”
Menteri ini adalah keturunan Aljazair, di mana ayahnya adalah orang-orang yang dikenal sebagai aktivis pergerakan, yakni di antara antek Prancis. Kemudian mereka melarikan diri ke Prancis ketika diusir dari Aljazair.
Menteri Prancis ini sadar bahwa Islam menuntut para pemeluknya untuk terikat dengan syariah Islam dan konstitusinya. Sehingga perkataan Islam moderat, adalah bentuk penyimpangan dari Islam, itu berarti bahwa ia bukan Islam, melainkan menyimpang dari Islam. Sebab konstitusi yang didasarkan pada syariah akan mengatur masyarakat dengan syariah itu.
Sedangkan kebebasan, maka itu artinya tidak adanya keterikatan dengan ketentuan syariah. Sebab, kebebasan apapun, artinya bahwa setiap manusia bebas melakukan kehendaknya tanpa tunduk pada otoritas apapun selain kehendaknya, apakah itu agama maupun konstitusi yang berdasarkan syariah Islam, atau berdasarkan pada otoritas manusia, seperti parlemen.
Oleh karena itu tidak ada di Prancis, maupun di negara yang lain adanya kebebasan. Pernyataan tentang kenyataan ini bukan sesuatu yang fiktif. Namun ada undang-undang buatan parlemen yang memungkinkan seseorang untuk melakukan kehendaknya dalam koridor hukum, serta merapkannya secara ketat dan keras tanpa kompromi.
Itulah sebabnya, Prancis melarang hijab dan melarang banyak simbol-simbol keagamaan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu sekulerisme. Dan hal itu tidak dianggap sebagai benruk intervensi dalam masalah kebebasan.
Dalam hal ini, Prancis telah meligislasi undang-undang yang mempersulit kaum Muslim dalam banyak persoalan keagamaan dan duniawi, karena adanya diskriminasi etnis di samping diskriminasi agama, dan bahkan mempersulit mereka dalam hal keyakinannya. Prancis berusaha menjauhkan kaum Muslim dari agamanya dengan paksa dan dengan cara yang berbeda. Namun ia mengklaim sebagai negara yang menjamin kebebasan.
Keterkejutan Menteri Prancis dengan pilihan kaum Muslim yang memilih kelompok (partai) Islamis sebagai wakil-wakil mereka itu sungguh bertentangan dengan konsep kebebasan yang dianutnya, serta pura-pura bodoh dengan realitas kaum Muslim dan revolusinya. Oleh karena itu, ia memperingatkan untuk tidak berlebihan dan mendukung revolusi karena khawatir kembalinya Islam pada kekuasaan (kantor berita HT, 7/12/2011).