Jumat (09/12), pemerintah Belanda secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban kasus pembantaian Rawagede yang dilakukan militer Belanda pada tahun 1947.
Permohonan maaf disampaikan langsung Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd De Zwaan, bertepatan dengan peringatan pembantaian di Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat.
Duta Besar De Zwaan usai melakukan tabur bunga di makam para korban mengatakan kepada wartawan, “Kita harus melihat ke masa sekarang. Saya sangat senang dan bangga bisa berada di sini hari ini. Saya diberi kesempatan oleh pemerintah Belanda untuk menyampaikan pernyataan yang saya sudah buat terkait Rawagede. Hari ini jelas adalah hari Rawagede. Apa pun yang terjadi selanjutnya, terjadilah. Saya meminta maaf hari ini langsung kepada orang-orang yang bersangkutan. Dan saya percaya ini adalah hal yang sesuai dengan hari seperti ini.”
Eksekusi Putusan Pengadilan Den Haag
Pada peringatan itu, Duta Besar Belanda juga mengumumkan pemberian kompensasi terhadap sembilan korban Rawagede. Ahli waris delapan janda, dan satu korban luka tembak peristiwa itu akan menerima ganti rugi sebesar 240 juta rupiah. Sejumlah keluarga korban mengaku sudah bisa memaafkan peristiwa itu. Ketua Yayasan korban Rawagede, Sukarman, berharap kompensasi itu segera bisa dinikmati kelurga korban.
Permintaan maaf beserta pemberian kompensasi oleh pemerintah Belanda itu dilakukan menyusul putusan pengadilan sipil di Den Haag Belanda, tiga bulan lalu, yang mengabulkan gugatan janda korban pembantaian Rawagede dengan tergugat Pemerintah Kerajaan Belanda.
Peristiwa Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947. Ketika itu tentara Belanda secara membabi buta menembaki warga, karena gagal menemukan Kapten Lukas Kustaryo, seorang pejuang kemerdekaan yang juga komandan kompi Divisi Siliwangi yang diduga bersembunyi di desa itu. Pemerintah Indonesia menyebut jumlah korban mencapai 431 orang, sementera pemerintah Belanda sejauh ini hanya mengakui jumlah korbannya sebanyak 150 orang.
Pengungkapan Kasus Kejahatan Perang Lain
Para pegiat HAM di Indonesia berharap, keputusan ini bisa menjadi peluang positif bagi pengungkapan kasus kasus kejahatan perang lain yang dilakukan Belanda di Indonesia. Namun Sejarahwan Anhar Gongong memandang, peluang itu sangat kecil.
Anhar Gonggong, yang keluarganya juga pernah menjadi korban militer Belanda, menganggap permintaan maaf dan pemberian kompensasi itu tidak penting bagi bangsa Indonesia. Dan pemeriintah Belanda dianggap terlambat dalam menyampaikan permintaan maaf ini. “Kenapa baru sekarang, kenapa tidak dari kemarin kemarin. Apa artinya pengakuan itu, semua orang juga tahu, Rawagede itu cuma salah satu. Yang sekarang aja masih setengah hati kok. Itu hanya terpaksa. Yakin saya kalau ada yang menuntut kasus lain, dia tidak akan akui.” (dw-world.de, 9/12/2011)