Oleh : Abed Mustafah
Jatuhnya Amerika tidak harus merupakan kehancuran total – bagaimanapun juga, negara itu sebelumnya adalah sebuah negara yang telah berhasil menemukan jati dirinya berkali-kali. Tapi pada saat ini tidak lagi pasti– atau bahkan mungkin – segala sesuatunya akan berakhir dengan baik. – Der Spiegel
Seperti yang kita tahu, dunia saat ini berada dalam krisis politik berkepanjangan yang memungkinkan membentuk ulang tatanan politik yang ada saat ini untuk beberapa dekade mendatang. Taruhannya adalah nasib dua sistem politik yang saling terkait erat dan perlahan-lahan terurai di sisi yang berlawanan di dunia.
Di Barat, Uni Eropa yang dulunya perkasa, yang pernah menjadi benteng stabilitas dan kekuatan kini berjalan terhuyung-huyung di tepi jurang. Krisis utang euro yang telah melanda benua itu, telah mengancam melepaskan kekuatan gelap nasionalismenya yang tertidur selama enam puluh tahun.
Di Timur, Dunia Arab yang diperbudak oleh rezim-rezim otokratis yang disusupkan oleh kekuatan-kekuatan Eropa mulai berjatuhan seperti kartu domino, dan mengungkap kekuatan-kekuatan perubahan yang dinamis namun belum teruji.
Peristiwa-peristiwa ini jika dilihat melalui kaca mata optimisme diinterpretasikan secara positif oleh sebagian orang; Eropa akan menjadi lebih kuat dan lebih bersatu dari sebelumnya, dan Dunia Arab akan berubah menjadi sebuah oasis kebebasan dan demokrasi.
Namun bila dilihat melalui kaca mata realisme, gambar yang muncul akan sama sekali berbeda. Eksperimen yang dilakukan oleh pasca-modern Eropa secara cepat akan segera berakhir, dan Dunia Arab akhirnya akan membebaskan dirinya dari belenggu setan kolonialisme dengan mencabut rezim-rezim otokratis pro-Barat. Kematian kedua sistem politik itu tidaklah terjadi secara kebetulan, namun terkait dengan kemunduran pengaruh Amerika secara global. Dalam banyak hal, sistem politik di Eropa dan Dunia Arab merupakan produk dari hegemoni dan kelicikan Amerika.
The Marshall Plan memberikan bangunan bagi Amerika untuk mengendalikan kecenderungan Eropa untuk melakukan perang dan mengekang ambisi benua itu untuk mencari dan mempertahankan koloni-koloninya di luar negeri. Pasca Perang Dunia II, para pemimpin Amerika berusaha untuk mengurangi dominasi Eropa di dunia. Seperti dikatakan oleh sejarawan John Lumberton Harper, Presiden AS Roosevelt ingin “melakukan pengurangan secara radikal bobot pengaruh Eropa” sehingga dengan demikian memungkinkan untuk “mempensiunkan Eropa dari percaturan politik dunia” (Harper, Visions of Europe : Franklin D. Roosevelt , George F. Kennan, dan Dean G. Acheson, Cambridge UK , 1996).
Di bawah bayang-bayang bantuan ekonomi dan arsitektur keamanan Amerika, Eropa yang porak-poranda oleh perang dunia memetakan rute baru menuju postmodernisme- suatu pemutusan atas negara-bangsa yang bertikai yang telah merongrong benua itu di masa lalu. Akhirnya, lahirlah Uni Eropa (UE), di mana nasionalisme ditekan dan kedaulatan nasional memberi jalan kepada otoritas transnasional untuk memimpin di Brussels. Eropa mengaggumi penciptaan postmodern mereka dan menyebutnya sebagai evolusi alami dari model negara bangsa. Seorang pendukung utama dari model ini, Robert Cooper yang merupakan penasehat mantan Perdana Menteri Tony Blair, mengatakan, “Sistem postmodernisme di mana kita, orang Eropa, hidup tidak bergantung pada keseimbangan;. Tidak juga menekankan pada kedaulatan atau pemisahan urusan dalam negeri dan urusan luar negeri.
Uni Eropa telah menjadi sistem yang berkembang dengan pesat untuk saling melakukan campur tangan urusan dalam negeri masing-masing, hingga pada urusan bir dan sosis … Penting untuk disadari betapa hal ini merupakan revolusi yang luar biasa. ” (The New Liberal Imperialisme, The Guardian, Minggu 7 April 2002). Namun, lahirnya negara postmodern juga memakan biaya. Uni Eropa tidak dalam posisi untuk menantang supremasi Amerika di dunia dan telah memberikan banyak koloninya kepada negeri itu. Amerika menggunakan banyak cara untuk menundukkan Uni Eropa, terutama pada anggota terkuatnya, Jerman: perluasan NATO, ekspansi Uni Eropa untuk memasukkan negara-negara anggota baru, dan penggunaan mata uang tunggal yakni euro.
Melalui pendekatan ini, Amerika mampu mengontrol tuas kekuatan ekonomi dan militer di Eropa. Hal ini berlanjut hingga runtuhnya Lehman Brothers, yang mengakibatkan terjadinya depresi ekonomi saat ini. Krisis keuangan Amerika adalah penyebab sebenarnya di balik gejolak ekonomi dan politik Eropa. Hal ini mempercepat keruntuhan Uni Eropa sehingga merusak supremasi Amerika selama enam puluh tahun atas urusan-urusan Eropa. Mungkin, Jerman akan muncul dari reruntuhan Uni Eropa sebagai kekuatan utama yang tidak hanya mampu menggagalkan kepentingan Amerika di Eropa, tetapi menggantikan negara itu sebagai penjamin utama perdamaian dan keamanan di benua itu. Krisis euro dan buka Militerisme Jerman telah mejadikan Berlin untuk bisa melakukan apapun untuk membentuk peta politik Eropa dengan gambarannya sendiri.
Pertanda lain adalah bahwa dalam konteks sejarah Eropa, pengalaman postmodern benar-benar merupakan sebuah anomali. Kecendrungan Eropa adalah untuk menghindari perdamaian dan terlibat dalam perang yang dipicu oleh nasionalisme yang tak terkendali dan nafsu menguasai bangsa-bangsa lain.
Dunia Arab pada hari ini berutang banyak pada struktur politik dan lembaga-lembaga pada kekuatan-kekuatan Eropa lama yang menjajahnya itu. Namun, setelah tahun 1945, Amerika muncul sebagai negara terkemuka di dunia dan memasuki dunia Arab dengan tujuan menggusur pengaruh Inggris dan Perancis, dan merebut ladang-ladang minyak Timur Tengah. Departemen Luar Negeri AS menggambarkan penemuan itu sebagai “[Timur Tengah] merupakan sumber kekuatan strategis yang luar biasa, dan salah satu hadiah terbesar pada sejarah dunia.”
Amerika tidak berniat untuk menggantikan rezim-rezim despotik itu, melainkan berusaha menempatkan agen-agennya sebagai rezim-rezim sementara sambil membuat alasan-alasan palsu tentang kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia. Amerika dengan bermodal “Doktrin Truman” mulai melanjutkan mencabut kebebasan Dunia Arab dari para tiran dan kemampuan untuk memerintah diri sendiri. Negara itu secara diam-diam menopang rezim-rezim itu agar penduduk negara-negara Arab tetap terpenjara dan tunduk. Tapi pada tahun 2011, pemberontakan rakyat meletus di seluruh wilayah negara-negara Arab, dengan menjatuhkan sebagian tiran, dan menggoyahkan tatanan politik yang telah dibangun dengan susah payah untuk disatukan oleh Amerika.
Pada saat ini, percaturan politik tidak lagi didominasi oleh kaum sekularis, namun sebuah gelombang baru kebangkitan Islam dengan cepat mengisi kekosongan ini. Di Maroko, Tunisia, dan Mesir Islam politik mulai naik dan mendominasi media politik. Kemungkinan besar Libya dan Yaman akan juga mengikuti. Tidak ada ungkapan yang melambangkan tren Islam saat ini yang lebih baik daripada yang dikatakan oleh Perdana Menteri Tunisia moderat, Hamadi Jebali, yang menyebut masa kini sebagai “momen ilahi pada sebuah negara baru, dan mudah-mudahan merupakan Masa Kekhalifahan ke-6,” dan bahwa “pembebasan Tunisia akan, Insya Allah, menyebabkan pembebasan Yerusalem. ” Jika kaum moderat memiliki desain megah untuk menghidupkan kembali Kekhalifahan maka seorang dapat menggambarkan apa yang paling diinginkan oleh massa Arab.
Konsep negara bangsa merupakan hal yang asing bagi dunia Arab, dan diimpor ke wilayah tersebut oleh kekuatan-kekuatan Eropa. Kecenderungan alami dari massa Arab adalah tertarik terhadap sistem Khilafah-sebuah sistim politik yang membuat mereka bersatu di bawah seorang pemimpin tunggal selama lebih dari seribu tahun. Dan tentu saja dunia Arab sungguh berada pada lintasan itu, dengan tidak mempedulikan apa yang digambarkan oleh pemerintah Amerika.
Pada saat Amerika sedang berjuang untuk menjaga dirinya dari kemerosotan, nasib dua sistem politik akan berubah untuk selamanya. Dunia kemudian akan kembali kepada model masa pra-1945- yang merupakan dunia multipolar, yang didominasi oleh pusat-pusat pengaruh geopolitik yang berbeda, dengan Kekhalifahan di puncaknya.
Sumber: www.khilafah.com