Disfungsi dan Disorientasi Ancam Keluarga Muslim Indonesia
Angka perceraian yang tinggi di Indonesia beberapa tahun terakhir menjadi ancaman yang cukup serius bagi keluarga Indonesia. Kapitalisme dan liberalisme dinilai menjadi penyebabnya.
Topik tersebut menjadi bahan diskusi dalam kunjungan silaturahim Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke kantor Harian Umum Republika di Warung Buncit (16/12). Kunjungan tersebut diterima di antaranya oleh Wakil Pemimpin Redaksi Arys Hilman dan Wakil Redaksi Pelaksana Syahrudin El Fikri.
Juru bicara Muslimah HTI Iffah Ainur Rochmah menyampaikan, sistem kapitalisme berperan besar bagi kehancuran keluarga Indonesia, terutama keluarga Muslim. “Ada disfungsi dan disorientasi dalam keluarga saat ini,” ujarnya.
Disfungsi yang dimaksud adalah bahwa keluarga diposisikan semata sebagai institusi penunjang ekonomi rumah tangga. Banyak pernikahan, kata Iffah, yang dipertahankan untuk alasan ekonomi. Kasus ini banyak ditemukan pada pihak istri.
Hanya saja, meningkatnya kesadaran perempuan tentang emansipasi memungkinkan mereka memperoleh nafkah sendiri. “Pada kasus-kasus inilah banyak perempuan berani mengambil keputusan bercerai,” katanya, prihatin.
Yang lebih menyedihkan, tambahnya, faktor ekonomi menjadi penyebab tertinggi kasus perceraian dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada 2011. “Dan hebatnya lagi, dari angka perceraian itu, lebih dari 65 persen merupakan kasus gugat cerai,” ujarnya.
Sementara itu, ancaman yang sama juga datang dari adanya misorientasi, yakni ketimpangan peran dalam keluarga itu sendiri. “Peran suami istri dalam keluarga menjadi tidak spesifik. Bahkan tak jarang ada pertukaran peran,” tuturnya.
Hal itu, kata Iffah, tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang positif, khususnya bagi perempuan. Menurutnya, perlu ada upaya konstruktif yang menyelamatkan keluarga Indonesia dari arus kapitalisme. Hal itu dimaksudkan untuk menghindarkan perempuan Indonesia dari liberalisasi yang kebablasan.
Ia menyayangkan banyaknya pihak yang memandang hal itu semata sebagai konsekuensi dari kesetaraan gender. “Dalam Islam justru sebaliknya. Islam mengatur peran itu dalam aturan yang jelas,” katanya.
Ia mengaku optimistik perempuan memiliki peran yang besar untuk menyelamatkan keluarga. Menyikapi ancaman tersebut, kata Iffah, HTI bermaksud menggelar kegiatan yang akan memfasilitasi pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut.
Kegiatan tersebut berbentuk dialog nasional dan akan dilaksanakan pada peringatan Hari Ibu mendatang, yakni 22 Desember. Acara tersebut akan mengundang 200 tokoh perempuan dari berbagai kota di Indonesia.
Dari diskusi tersebut, ditargetkan akan diperoleh output berupa komitmen tentang tindak lanjut solutif di lapangan dan bidang masing-masing. Dalam kunjungan yang berlangsung sekitar satu jam itu, Iffah menggarisbawahi pentingnya dialog lintas sektor dalam mencari solusi atas berbagai permasalahan umat.
“Tak jarang, nilai-nilai yang telah ditanamkan pada anak dalam keluarga kemudian berbenturan dengan yang ditemui si anak di lingkungan luar rumah. Itu yang harus diantisipasi dan disinkronkan,” tandasnya. (republika.co.id, 16/12/2011)