Oleh: Hafidz Abdurrahman
Menurut Puji Suharjoko, APBN adalah suatu daftar atau penjelasan terperinci mengenai penerimaan dan pengeluaran negara dalam jangka waktu satu tahun yang ditetapkan dengan Undang-undang, serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (http://www.babejoko.web.id/2010/10/04/anggaran-pendapat-an-dan-belanja-negara). Karena itu, APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN ditetapkan dengan undang-undang. Tahun anggaran APBN meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (Wikipedia, Ensiklopedia Berbahasa Indonesia, bab APBN).
APBN terdiri atas: (1) Anggaran pendapatan, yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah;(2) Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah; (3) Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Sesuai dengan GBHN, Pemerintah Indonesia menerapkan prinsip anggaran belanja (APBN) berimbang (balanced budget). Hanya saja, dalam prakteknya, pemerintah menganut prinsip anggaran belanja defisit (defisit budget). Secara umum, pengertian anggaran pendapatan belanja berimbang (balanced budget) adalah suatu keadaan di mana penerimaan sama dengan pengeluaran. Sedangkan dalam konteks negara, yang dimaksud dengan anggaran berimbang (balanced budget) adalah bila penerimaan pajak sama dengan pengeluaraan pemerintah dalam suatu periode tertentu.
Secara garis besar, penerimaan negara bisa dibagi menjadi dua, yaitu penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Pos penerimaan pembangunan adalah aliran pemasukan yang berasal dari utang luar negeri, baik berupa bantuan proyek maupun bantuan program. Sementara penerimaan pajak pemerintah selalu lebih kecil dibandingkan pengeluaran pemerintah dalam setiap periode anggaran. Karena itu, berdasarkan definisi ekonomi, anggaran pemerintah ini sebenarnya tidak bisa dikatakan menganut anggaran berimbang (balanced budged), tapi sebenarnya menganut anggaran defisit (defisit budget). Adapun cara yang dilakukan untuk menyeimbangkan neraca, pemerintah melakukan utang dalam dan luar negeri, serta menggenjot penerimaan melalui sektor pajak.
Ini adalah mekanisme baku dalam penyusunan APBN di negara-negara kapitalis, termasuk Indonesia. APBN disusun oleh pemerintah, diajukan ke DPR, kemudian dibahas oleh DPR dan pemerintah, melalui menteri keuangan, setelah itu disetujui dan disahkan dalam bentuk UU APBN. Karena mekanismenya seperti ini, maka penerimaan dan pengeluaran dalam satu tahun anggaran, termasuk alokasi per masing-masing penerimaan dan pengeluaran APBN tersebut bersifat fixed. Konsekuensinya, setelah disahkannya UU APBN, maka besaran penerimaan dan pengeluaran tersebut juga harus fixed, tidak boleh kurang atau lebih.
Ini membawa dua konsekuensi: Pertama, terkait dengan penerimaan yang biasanya mengacu pada asumsi dolar sebagai patokan, dan tingkat inflasi. Jika dalam rentang satu tahun tersebut asumsi dolar dan tingkat inflasinya berubah, maka APBN pun akan direvisi, sehingga ada istilah APBN-P. Kedua, terkait dengan pengeluaran, karena pengeluaran tersebut juga bersifat fixed, maka alokasi anggaran tersebut harus habis dan terserap. Tetapi, faktanya tidak semua anggaran belanja tersebut habis dan bisa diserap semua. Pada titik inilah, seringkali dilakukan berbagai cara agar anggaran tersebut bisa dihabiskan.
Mekanisme seperti ini jelas berbeda dengan APBN Khilafah. Harus dipahami, bahwa Negara Khilafah juga mempunyai APBN. Tetapi bedanya, APBN Khilafah tidak dibuat setiap tahun. Pertama, karena APBN Khilafah tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Sebab dalam penyusunan APBN, yang nota bene pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah, khalifah selaku kepala negara bisa menyusun sendiri APBN Khilafah tersebut melalui hak tabanni yang melekat pada dirinya. Pendapat Majelis Umat dalam hal ini tidak mengikat khalifah. Kedua, APBN yang telah disusun dan ditetapkan oleh Khalifah dengan sendirinya menjadi UU, yang harus dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintahan. UU APBN Khilafah ini juga tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Karena ini merupakan hukum syariah, di mana pendapat Majelis Umat di sini termasuk dalam kategori syura yang tidak mengikat bagi khalifah. Ketiga, alokasi dana per masing-masing pos pendapatan dan pengeluaran juga diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah, sehingga pada poin yang ketiga ini pun, APBN tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Meski, boleh saja Majelis Umat memberikan masukan, tetapi pendapatnya tetap tidak mengikat bagi khalifah. Karena dana per masing-masing pos pendapatan dan pengeluaran ini diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah, maka baik asumsi maupun realisasi pendapatan dan pengeluarannya dengan mudah bisa disesuaikan, tanpa membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat.
Dengan mekanisme seperti ini, APBN Khilafah bersifat tetap dari aspek pos pendapatan dan pengeluarannya, tetapi alokasi anggaran per masing-masing pos pendapatan dan pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika di tengah jalan ternyata penerimaannya kurang, maka dengan mudah khalifah akan menggenjot penerimaan tersebut. Begitu juga dengan pemasukannya, jika alokasi yang dianggarkan tadi lebih, maka kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan kepada pemerintah pusat, atau ditahan di masing-masing daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.
Selain itu harus dipahami, bahwa kebijakan keuangan dalam negara khilafah ini juga menganut prinsip sentralisasi. Karena dana dari seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya, bukan jumlah pemasukannya. Dengan kata lain, jika ada daerah yang sedang melakukan pembangunan dan membutuhkan dana besar, sementara boleh jadi pemasukannya tidak sebesar yang dibutuhkan, maka negara khilafah akan melakukan kebijakan subsidi silang. Demikian juga jika, karena satu dan lain, daerah membutuhkan dana besar, baik karena ada bencana alam maupun menghadapi serangan musuh di perbatasan, sementara pendapatannya tidak sebesar yang dibutuhkan, maka khilafah juga bisa melakukan kebijakan yang sama. Ini merupakan konsekuensi dari otoritas khalifah sebagai pemegang hak tabanni dalam penyusunan APBN khilafah.
Dengan cara seperti ini, tidak ada satu alokasi anggaran pun yang menguap atau tidak tepat sasaran. Di sisi lain, pemerataan pembangunan pun bisa dilakukan dengan baik. Bahkan, tidak akan terjadi penumpukan kekayaan di daerah tertentu, sementara yang lain kekurangan. Dimana konsekuensi lebih jauh dari point terakhir ini bisa mendorong daerah-daerah yang menguasai aset kekayaan yang besar, apalagi kehidupan rakyatnya ternyata miskin, untuk melepaskan diri dari wilayah negara. Fenomena yang terakhir inilah tampaknya yang terjadi di Indonesia saat ini, seperti dalam kasus Kerusuhan di Papua.
Maka, fenomena seperti ini tidak akan terjadi dalam Negara Khilafah. Karena pintu dan celah yang bisa membuka ruang tersebut benar-benar telah ditutup rapat-rapat, melalui Islam yang diterapkan oleh Negara Khilafah. Wallahu a’lam.[]
Alhamdulillah sangat bermanfaat infonya…
Kekhawatiran penganut demokrasi adalah ketika anggaran tersebut diserahkan kepada seorang kepala negara adalah akan terjadi kkn didalam pengerjaan proyek pembangunan, bagaimana mekanisme agar tidak terjadi kkn?