Oleh: Erwin Permana
Beberapa saat belakangan media ramai membicarakan kasus kematian aktivis Hak Azazi Manusia Sondang Hutagalung yang melakukan aksi bunuh diri di depan istana presiden. Banyak pihak yang mendukung aksi Sondang tersebut dengan menyebutnya sebagai pahlawan karena rela berkorban nyawa untuk sesuatu yang di perjuangkannya. Namun tidak sedikit pula pihak yang berpandangan sinis karena memandang sikap emosional tersebut bukanlah solusi untuk mengurai persoalan Negara yang karut marut.
Dalam hal ini penulis tidak dalam posisi mendukung atau sinis atas aksi yang dilakukan oleh Sondang. Yang menarik bagi penulis untuk dikaji adalah apakah kematian Sondang Hutagalung akan menyebabkan terjadinya people power seperti aksi Muhammed Bouazizi yang berhasil menyalakan api revolusi di Tunisia? Selanjutnya penulis mencoba memberikan jalan keluar dari benang kusut yang menjadi soal.
Sengaja penulis tidak menyinggung perihal motif atas aksi yang dilakukan oleh Sondang. Sebab, mungkin semua orang sudah mengetahui bahwa motif dibalik aksi Sondang adalah rasa frustasi yang luar biasa terhadap pemerintah yang ndableg.
Sebagian kalangan mengira bahwa Sondang melakukan aksinya karena terinspirasi dari Bouazizi. Jika kematian seorang Bouazizi memantik revolusi Tunisia dan berbuah penggulingan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Bahkan revolusi tersebut kemudian menerjang Negara-negara Arab lain dan berhasil menjatuhkan penguasa tiran dikawasan itu. Maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kematian Sondang juga akan menyebabkan terjadinya people power di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis berpendapat ada dua faktor utama yang perlu dicermati:
Pertama, Kultur Masyarakat. Jika memperhatikan kultur masyarakat Indonesia yang serba nrimo, agaknya sulit berharap akan terjadi pergerakan rakyat pasca kematian Sondang sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah. Sebelum kematian Sondang sebetulnya sudah begitu banyak masyarakat yang mati lantaran tidak kuat menaggung beban hidup. Entah dengan cara gantung diri, minum racun serangga, terjun dari bangunan yang tinggi dsb. Dari semua kejadian tersebut jangankan diharapkan akan memantik api revolusi dan menggerakkan seluruh komponen masyarakat untuk memberangus rezim yang zalim. Menimbulkan sedikit panas dan gerah bagi penguasa pun rasa-rasanya tidak. Ketika kejadian-kejadian tersebut muncul dimedia telekomunikasi pemerintah cukup mencounternya dengan ucapan “turut berduka” atau “turut prihatin”. Maka keluarga korbanpun akan segera melupakan anggota keluarganya. Apalagi jika mulut manis pemerintah tersebut diiringi dengan sedikit “amplop” tanda prihatin. Hal itu sudah cukup bagi keluarga korban menganggap pemerintah berhati malaikat.
Disamping Nrimo, adanya budaya primordialisme di Indonesia semakin mempertipis harapan akan terjadinya pergerakan rakyat pasca kematian Sondang. Dalam Budaya Primordialisme di Indonesia kedekatan etnik merupakan factor utama yang menentukan kekuatan kohesi social. Tidak jarang diantara etnik-etnik yang berbeda sering terjadi clash social. Kalau Sondang Hutagalung adalah pemuda asli Batak, maka dalam kasus kematiannya yang paling mungkin untuk bergerak adalah etnik Batak kalau bukan hanya marga Hutagalung saja.
Akan tetapi realitas saat ini di Indonesia primordialisme yang ada semakin kerdil yakni bukan lagi ikatan etnik tapi sudah mengerucut pada ikatan kekeluargaan. Dalam Primordial-kekeluargaan solidaritas hanya berlaku bagi mereka yang masih memiliki ikatan kekeluargaan. Jika yang mendapat masalah adalah orang lain yang berasal dari luar anggota keluarganya maka solidaritas dan rasa kesetiakawanan sulit diharapkan. Oleh karena itu, dalam kasus kematian Sondang yang paling bisa digerakkan adalah keluarga besar Sondang Hutagalung. Atau barangkali yang bisa diharapkan adalah solidaritas dari teman-teman seorganisasi Sondang. Tapi tidak akan sanggup membuat rakyat bergerak.
Kedua, Mekanisme suksesi rezim berkuasa. Jika kita memperhatikan dukungan masyarakat Tunisia pasca kematian Bouazizi sangat kuat dan solid. Maka, harus difahami dukungan rakyat tersebut bukan semata-mata sebagai bentuk balas dendam rakyat terhadap pemerintah atas kematian Bouazizi an sich. Akan tetapi lebih kepada rasa muak dan jijik masyarakat yang sudah mencapai puncak terhadap rezim berkuasa. Rasa muak yang sudah tersebar rata pada setiap orang Tunisia. Sehingga tanpa ada yang mengomandoi rakyatpun bergolak dan melakukan perlawanan yang mematikan. Dalam hal ini kematian Bouazizi berfungsi sebagai trigger atas pergerakan rakyat untuk menumbangkan rezim Zine al-Abidine Ben Ali.
Rezim Ben Ali yang korup dan sudah berkuasa selama 23 tahun telah menimbulkan kesengsaraan yang luar biasa bagi kehidupan rakyat. Rakyat Tunisia sama sekali sudah tidak menginginkan dipimpin oleh Ben Ali, sedangkan masa suksesi kepemimpinan yang ditunggu tidak ada kejelasan. Rakyat akhirnya memahami, satu-satunya cara untuk mensuksesi rezim Ben Ali adalah dengan people power. Oleh karena itu, ketika ada momentum untuk menggulingkan Ben Ali secara paksa, rakyat tidak mau menaggung derita lebih lama lagi. Kesempatan tersebut pun tidak disia-siakan. Pergerakan rakyat Tunisia inilah yang kemudian dengan cepat menular ke Negara-negera Arab lain lantaran kemiripan corak kepemimpinan dan kultur masyarakat.
Hal ini tentu saja berbeda dengan di Indonesia. Walaupun pemerintah Indonesia dan Tunisia sama jahat dan zalimnya namun di Indonesia ada mekanisme suksesi kepemimpinan nasional selama lima tahun sekali. Masa suksesi lima tahun ini lah yang membuat pergerakan rakyat menjadi tidak efektive. Sebab sebagian masyakat akan berfikir lebih baik bersabar saja dan menunggu beberapa tahun lagi masa kerja pemerintah yang buruk akan berakhir. Dengan adanya mekanisme suksesi kepemimpinan selama lima tahun tersebut gelombang pergerakan rakyat relative dapat dikerdilkan. Jadi masa pemilu yang lima tahun tersebut sebetulnya adalah perangkap agar rakyat seantiasa terlelap dalam tidur yang panjang sekaligus menahan laju kebangkitan rakyat karena mimpi-mimpi yang selalu diperbaharui.
Jalan Keluar: Penegakkan Khilafah bukan penegakkan HAM!
Sebagai aktivis Sondang berhadapan dengan banyak sekali fakta kebobrokan dan penderitaan masyarakat kecil yang buntu jalan keluarnya. Sedangkan rasa ingin memperjuangkan hak masyarakat yang hilang sangat menggebu. Tetapi, berhadapan dengan tembok kezaliman pemerintah yang sudah mapan. Inilah agaknya yang membuat amarah Sondang memuncak ke ubun-ubun dan nekad melakukan aksi bakar diri.
Sebetulnya Sondang tidak perlu sampai nekad melakukan aksi bakar diri jika melihat persoalan dengan jernih. Jika mau berfikir jernih, maka akan terlihat dengan jelas bahwa yang menjadi sumber penderitaan rakyat adalah penerapan system Kapitalistik-Sekuler yang diadobsi dari Barat. Sistem ini lah yang menghancurkan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Siapapun yang memimpin hasilnya akan sama yakni penderitaan rakyat!
Karena itu yang harus dilakukan saat ini bukan tuntutan penegakkan keadilan, sebab dalam system Kapitalis Sekuler tidak ada yang namanya Keadilan. Juga bukan menuntut penegakkan HAM karena HAM bagi penguasa Kapitalis Sekuler adalah menjalankan system Kapitalis Sekuler yang rusak yang hasilnya juga kerusakan. Yang harus dilakukan adalah mengganti system Kapitalis Sekuler ini dengan system Islam dibawah institusi Khilafah. Hanya dengan pergantian system Kapitalis Sekuler saja seluruh penderitaan rakyat dapat diakhiri.
Jika salah satu alasan Sondang atas aksinya adalah harapan akan memantik pergerakan rakyat. Maka apakah dengan perjuangan penegakkan Khilafah akan membuat rakyat bergerak? Pastinya iya. Sebab perjuangan penegakkan Khilafah adalah perjuangan rakyat. Bukan saja rakyat pada satu teritorial sempit tetapi rakyat lintas suku, ras, golongan, warna kulit bahkan lintas bangsa-bangsa dunia. Dengan landasan aqidah Islam yang melahirkan segenap aturan hidup mengikat seluruh umat manusia untuk melebur menjadi satu ummat. Tidak berbeda antara muslim Indonesia, Malaysia, Arab, Eropa dsb. Dan tidak boleh merasa lebih unggul muslim disatu territorial tertentu dibanding dengan muslim diwilayah lain. Sebab, yang menentukan unggul atau tidak seroang muslim adalah derajat ketaqwaannya.
Upaya perjuangan penegakkan Islam adalah upaya menyiapkan masyarakat agar sadar perihal kesempitan hidup yang dideritanya, membongkar makar penguasa zalim dan solusinya out of the box yakni system Islam. Hanya masyarakat yang sadar saja yang bisa diharapkan melakukan pergerakkan memberangus rezim. Dan yang lebih penting adalah masyarakat yang sadar akan memastikan pergerakan mereka terpola pada satu tujuan dengan solusi yang tuntas. Tidak sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah dimana pergerakan rakyat tidak memiliki tujuan yang jelas selain mengganti rezim yang korup. Tapi setelah rezim korup tumbang? Rezim korup selanjutnya siap menggantikan. Itulah bahayanya jika pergerakkan hanya didasari kepada tuntutan yang kecil-kecil semacam pergantian rezim. Tenaga para aktivis terkuras hanya untuk mengulangi sejarah buruk yang sama.
Oleh karena itu, pesan mendalam yang tersimpan dibalik kematian Sondang bagi para aktivis adalah jika perjuangan yang dilakukan bukanlah perjuangan penerapan Islam maka sudah jelas akan sia-sia. Sedangkan pesan bagi rakyat banyak adalah sudah saatnya seluruh masyarakat Indonesia menyadari bahwa tanpa penerapan Islam, penderitaan demi penderitaan akan terus berlanjut tanpa akhir. Allahu’alam.[]