Sepanjang tahun 2011, Indonesia Police Watch mencatat sebanyak 16 orang tewas dan 69 lainnya terluka akibat sikap mudah menembak (trigger happy) polisi di Indonesia. Ada dua polisi yang menembak istrinya, satu korban tewas dan lainnya luka tembak.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyebutkan dua kategori, yakni aksi main tembak dan aksi salah tembak. Neta menjelaskan, aksi main tembak terjadi di sekitar wilayah tambang dan kawasan perkebunan, tepatnya saat warga sedang memperjuangkan hak-haknya dalam sengketa dengan pengusaha tambang atau perkebunan.
Aksi salah tembak terjadi saat polisi sedang mengejar pelaku kriminal. Akibat polisi tidak profesional, warga yang tidak bersalah menjadi korban.
“Sejumlah korban penembakan ternyata tidak mendapat bantuan (dari) polisi. Korban penembakan di Mesuji, Lampung, misalnya, sampai 17 November 2011 belum mendapat bantuan biaya perawatan dari Polri. Padahal mereka menjadi korban penembakan membabi buta aparat keamanan di Lampung,” tutur Neta.
Neta mengemukakan, pada masa Orde Baru, aparat ABRI cenderung diperalat pengusaha. Setelah reformasi, para pengusaha cenderung memanfaatkan dan memperalat polisi. “Dengan dalih menjaga keamanan dan menjaga obyek vital, polisi cenderung mengedepankan sikap represif, yang dulu dipertontonkan ABRI,” ungkapnya.
Menurut Neta, perusahaan membayar polisi lebih mahal ketimbang gaji yang mereka terima dari negara. “Uang sudah membuat polisi tidak independen. Uang telah memperalat polisi untuk memusuhi rakyat kecil,” katanya.
Untuk menghidari polisi terus-menerus diperalat, menurut Neta, perlu kontrol yang kuat dari DPR dan DPRD, serta negara. “Atasan di kepolisian harus terus-menerus mengingatkan anak buahnya bahwa tugas mereka melindungi rakyat dan bukan menghamba kepada para pengusaha berduit,” kata Neta. (kompas.com, 19/12/2011)