Perempuan Peduli Keluarga Siap Tegakkan Khilafah

** Dialog Nasional Tokoh Perempuan

HTI Press. Para tokoh perempuan peduli keluarga bertekad bersama-sama menyelamatkan keluarga dari kehancuran. Caranya, dengan menyampaikan dakwah kepada masyarakat mengenai konsep keluarga ideal menurut Islam dan tata cara meraihnya. Juga, turut serta berjuang secara politik untuk mengubah sistem liberal menuju tatanan masyarakat yang islami, yakni menegakkan syariah dalam naungan Khilafah.

Demikian rekomendasi yang disetujui para peserta Dialog Nasional Tokoh Perempuan yang diadakan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) dengan tema  “Peran Strategis Keluarga Ancaman dan Tantangan”. Acara bertepatan dengan Hari Ibu, 22 Desember ini diadakan di Gedung Sucofindo, Jakarta, kemarin (22/12/11) Lebih 100 tokoh nasional berbagai profesi hadir, mulai dari Banda Aceh, Lampung, Solo, Yogya, Surabaya, Jakarta, Bogor, Bandung, Balikpapan, Palembang, Makassar, Jember, Malang, dan Banjarmasin.

Dimulai dengan tayangan tentang fakta-fakta potret keluarga Indonesia saat ini, terpapar jelas bagaimana kerapuhan dan kehancuran keluarga. Seperti tingginya angka perceraian, anak-anak terjerumus kriminalitas, narkoba, seks bebas dan berbagai kemaksiatan lainnya. Fakta di atas mengundang keprihatinan dari para tokoh.

Seperti Dra Hurriyah, Hakim Mahkamah Syari’yyah Banda Aceh.  Menanggapi masalah perceraian, ia membeberkan dua faktor penyebab, yakni internal dan eksternal.  “Internal, yang utama adalah kekurangpahaman masing-masing suami-istri dalam menjalankan perannya,”  ujar Hurriyah.

Selain itu, kekurangan dalam pemenuhan ekonomi juga menjadi pemicu yang berujung pada pertengkaran. Masalah ekonomi itu, terkait dengan masalah eksternal, yakni bagaimana negara mampu menjamin lapangan kerja bagi para suami. “Faktor ekternal lain yang memicu kerapuhan keluarga, diantaranya KDRT,  keberadaan lelaki idaman lain dan wanita idaman lain,” katanya.

Sementara Hasniah Hasan, Kabag Pembinaan Keluarga Sakinah Kemenag Surabaya menuturkan, selama 37 tahun menjadi konsultan keluarga, ia menemukan banyak kasus. Satu kata kunci mengenai kehancuran keluarga, lanjut Hasniah, yakni keluarga sudah kehilangan agama. “The family has loss religion. Padahal urutan pertama, the golden key dalam membangun keluarga adalah agama,” katanya.  Di Surabaya, lanjutnya, gadis-gadis hamil 3-4 bulan dinikahkan dengan nonmuslim, walau nikahnya cara Islam. “Jadi akar masalahnya, ketidakselektivan memilih pasangan hidup, ortu kurang membimbing cara memilih pasangan,” tegasnya.

Akibatnya, keluarga yang dibangun rapuh. Kalau kemudian terjadi perceraian, dampaknya merembet ke anak. “Anak kehilangan kasih sayang, karena toh jika ibu menikah lagi,  ibu sibuk dengan suami baru, ayah sibuk dengan istri baru. Anak malah terjerumus seks bebas,” katanya.

Pendapat  ini diperkuat Maisarah Ali dari Aisyiyah. Ia membenarkan, keluarga-keluarga saat ini sangat jauh dari tuntunan rasul. “Padahal Rasul sudah  member  contoh detail bagaimana membangun keluarga,” katanya.

Hj Ismah Kholil dari DPP MHTI pun menambahkan, kehancuran keluarga ini memang sudah didesain oleh kekuatan global. Kenapa? Karena saat ini sedang terjadi arus kapitalisasi global, dimana ada aturan internasional yang  harus ditaati negara-negara yang ikut meratifikasi,” katanya.

Akar masalah keluarga adalah diterapkannya sistem Kapitalisme yang merupakan persekongkolan penguasa dan pengusaha. Akibatnya hajat hidup orang banyak dibisniskan, sehingga rakyat kesulitan hidup. “Terjadi pemiskinan struktural, akibat UU yang dikeluarkan semuanya untuk kepentingan pengusaha. MK  sendiri mensinyalir jual-beli pasal,” ujarnya.

Contoh kasus Mesuji, penguasa dan aparat memihak pada pengusaha. “Ini ciri kapitalis: akibatnya kriminal dimana-mana, pemiskinan dimana-mana, dan itu menjadi sumber konflik keluarga. Ini dampak kapitalisasi global,” katanya.

Adanya strategi yang sengaja menghancurkan keluarga ini dibenarkan Rachma Qomariah, dosen UIKA yang juga peneliti dan pemerhati kebijakan internasional.  “Dari kajian yang ada, banyak kebijakan internasional yang menghancurkan keuarga. Misalnya  hasil konferensi Beijing atau BPFA Beijing yang mewajibkan Indonesia untuk mengimplementasikan hasil nya, yakni pengarusutamaan gender , sehingga seluruh pembangunan nasional diarahkan untuk meningkatkan kesetaraan gender,” bebernya. Juga hasil konferensi CEDAW, dimana intinya adalah bagaimana menghilangkan seluruh bentuk diskriminasi. Dan semua itu diimplementasikan dalam bentuk undang-undang.  “Nah, perbedaan peran suami-istri dalam keluarga misalnya, dianggap diskriminasi, jadi harus dihilangkan. Ini kan jelas merusak tatanan keluarga,” tandasnya.  Akhirnya dampaknya keluarga hancur, karena peran laki-laki dan perempuan sama-sama bersaing.  Akan terjadi disfungsi dalam keluarga, ayah berperan sebagai ibu dan sebaliknya.

Lantas bagaimana konsep keluarga yang ideal? Tokoh Aisyiyah Nurdiati Akma menegaskan dengan surat An-Nisa. Keluarga ideal menurutnya adalah arrijalu qowamuna ala nisa. “Rumah tangga yang jadi pemimpin harus tetap bapak. Sehebat apapun perempuan, harus tetap menunjukkan bahwa suami adalah pemimpinnya, lebih dari dirinya. Kalaupun perempuan bekerja, jangan niatkan cari uang, tapi untuk mengamalkan ilmunya,” katanya.

Konsep keluarga ideal dicontohkan pula oleh Mahbubah Aseri, alumni Al-Azhar Mesir.  Yakni, keluarga yang dibangun atas pondasi akidah Islam. “Ada wanita suaminya pergi jihad, anaknya kecil-kecil banyak, lalu ada tetangga tanya, kenapa suami diizinkan jihad, siapa yang kasih makan anakmu? Jawab wanita itu, aku kenal suami itu sebagai perantara rezeki, bukan pemberi rezeki, jadi kalau dia  pergi, tetap ada yang memberi rezeki. Inilah buah dari aqidah,” katanya.

Mengenai peran ibu mendidik anak, ia mengisahkan, di masa lalu, seorang wanita, Ummu Rabiah, ditinggalkan suaminya jihad sampai 27 tahun. Saat ditinggal, ia hamil 3 bulan dan ditinggali uang 3000 dinar. Akhirnya  anaknya jadi ulama besar  bernama , Rabiah. Ketika suaminya menanyakan 3000 dinar, istrinya mengatakan, mana yang lebih suka kau sukai, 3000 dinar atau anakmu yang jadi ulama?  “Jadi, pendidikan agama adalah pondasi pokok bagi anak,” tegasnya.

Dedeh Wahidah Ahmad dari DPP MHTI menambahkan, keluarga ideal adalah keluarga pejuang yang sama-sama berusaha memperjuangkan diterapkannya sistem Islam. Hal ini  mengingat keluarga saat ini dikepung dengan persoalan, terutama menyerang aqidah. “Keluarga kita tidak bisa menghadapi sendiri, harus bersama-sama dengan keluarga lain dalam menghadapi serangan penghanuran keluarga ini,” katanya.

Iffah Ainurrochmah, juru bicara MHTI menambahkan, negara punya peran strategis dalam mewujudkan keluarga ideal. Karena, sesungguhnya pemimpin itu adakah perisai, yang akan melindungi rakyatnya. “Benarkah kita bisa melindungi keluarga kita, dengan sistem dan pemimpin saat ini? Kita butuh negara yang mensejahterakan, yang menerapkan kebijakan yang prokeluarga, kita butuh negara yang kompatibel dengan keluarga Islam,” bebernya.

Oleh karena itu butuh akivitas politik untuk menghasilkan langkah tindak berkontribusi pada penerepan system Islam, menggantikan system kapitalis yang sudah terbukti menghancurkan keluarga. “Kita ingin seluruh masyaraat muslimin terselamatkan. Bahkan tatanan sistem yang menyeluruh dengan baik. Karena kerusakan diserang dari berbagai bidang, hukum, pendidikan, kebijakan, UU, kepemimpinan, maka butuh perubahan menyeluruh pula,” tandasnya.

Di akhir acara, para tokoh nasional ini sepakat membentuk komunitas perempuan peduli keluarga. Tujuannya untuk menyelamatkan keluarga dari kehancuran akibat penerapan sistem kapitalis yang menyebarkan pemikiran dan aturan liberal.(*)

Lihat juga: [FOTO] Dialog Nasional Tokoh Perempuan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*