Salah satu hasil reformasi yang dominan adalah Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Hal itu dianggap sebagai kemenangan bagi rakyat. Sebab rakyat dianggap bisa menentukan sendiri penguasa bagi mereka. Rakyat bisa memilih penguasa yang sesuai dengan keinginan mereka demi kemaslahatan mereka. Harapannya rakyat bisa memilih penguasa yang paling memperhatikan kepentingan mereka dan karena dipilih rakyat maka penguasa itu akan memperhatikan nasib rakyat dan bekerja demi kemaslahatan rakyat, sebab penguasa itu merasa berutang budi kepada rakyat yang telah memilihnya. Itu asumsinya. Namun faktanya sungguh jauh berbeda. Yang terjadi penguasa daerah (Kepala Daerah dan wakil kepada daerah) hanya sibuk bekerja demi kepentingannya sendiri, kepentingan kelompoknya, juga untuk membalas budi dari pihak yang mendanainya untuk memenangkan Pemilu Kada.
Kepala Daerah dan wakilnya bekerja demi kepentingannya masing-masing. Akibatnya terjadilah konflik kepentingan antara Kepala Daerah dengan wakilnya. Potensi terjadinya konflik itu makin besar jika masing-masing didukung oleh partai yang berbeda. Apalagi jika masing-masing bernafsu untuk maju dalam Pemilu Kada berikutnya. Maka konflik kepentingan pun tak terhindarkan terjadi antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah. Tak jarang konflik itu sudah meluas kepada perpecahan di tubuh pemerintah di daerah. Pemerintahan pun tidak berjalan semestinya. Bagaimana mungkin urusan pembangunan dan kemasyarakat akan bisa berjalan dengan baik jika antara Kepala Daerah dengan wakilnya selalu gontok-gontokan? Keduanya saling berhadapan, saling memupuk rivalitas. Perpecahan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terjadi antara lain lantaran keduanya sama-sama dipilih secara langsung. Kompetisi serta rivalitas muncul karena keduanya sama-sama merasa mendapatkan dukungan langsung dari masyarakat.
Hal itu diperparah oleh adanya ketidakjelasan fungsi, peran dan wewenang masing-masing antara kepada daerah dan wakilnya. Akibatnya pembagian peran dan tanggungjawab itu tergantung pada kesepakatan keduanya. Tak jarang, kesepakatan itu tidak ada. Inilah salah salah satu sumber kedisharmonisan Kepala Daerah dengan wakilnya.
Ujung-ujungnya pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pun ramai-ramai pecah kongsi. Itulah yang terihat dari data yang ada di Kemendagri. Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenoek mengungkapan pada 25/12/2011, bahwa dari data kemendagri dari 244 Pemilu Kada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi. Kemesraannya cepat berlalu.
Berdasar data Kemendagri pula, diketahui hanya 6,15 persen pasangan Kepala Daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada Pemilu Kada untuk periode selanjutnya. Sedemikian besar presentase pasangan Kepala Daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai itu dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika Pemilu Kada (detiknews.com, 25/12).
Ketidaksejalanan pasangan Kepala Daerah ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dibuat daerah bersangkutan. Banyak pula yang ikut bertarung memperebutkan posisi Kepala Daerah pada Pemilu Kada selanjutnya. (Tempo.co, 27/12).
Dominasi Pragmatisma dan Nafsu Kekuasaan
Fakta pecah kongsi itu menunjukkan beberapa hal: pertama, belum terjadi dan mungkin tidak akan terjadi, perubahan paradigma politik yang hanya berputar pada masalah kekuasaan. Hal itu terlihat jelas dari pecah kongsinya Kepala Daerah dan wakilnya yang kemudian saling berhadap-hadapan di Pemilu Kada berikutnya. Juga tampak pada fakta dimana terjadi pertukaran posisi, yang semula menjadi Kepala Daerah namun karena sudah dua periode sehingga tidak bisa mencalonkan lagi, maka ia tetap maju dalam Pemilu Kada namun berubah posisi menjadi calon wakil kepada daerah. Jika dia tidak maju maka isterinya, anaknya atau kerabatnya yang lain maju menggantikan posisinya. Dominannya nafsu kekuasaan itu juga tampak dari majunya Wakil Kepala Daerah incumbent dalam Pemilu Kada berhadap-hadapan dengan kepala daerah incumbent. Untuk itu pasangan mereka pun harus pecah kongsi. Jadi tampak jelas dominannya nafsu kekuasaan dalam proses tersebut.
Kedua, fakta ini makin menegaskan bahwa di dalam politik ala demokrasi itu paradigma politiknya adalah “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Siapa menjadi kawan dan siapa menjadi lawan ditentukan oleh ada tidaknya pertemuan kepentingan. Jika kepentingan bisa bertemu maka saat ini menjadi kawan. Sebaliknya jika kepentingan tidak bisa bertemu atau bahkan berhadap-hadapan maka saat itu menjadi lawan satu sama lain.
Ketiga, fakta ini menunjukkan bahwa dalam politik yang ada saat ini pragmatisme menjadi ideologi para politisi. Tolok ukur yang dipakai adalah manfaat. Itu artinya apapun akan dilakukan yang penting bisa merealisasi manfaat atau bisa mendatangkan keuntungan bagi para politisi. Jika pragmatisme itu menjadi ideologi penguasa, akibatnya kekuasaan yang ada di tangannya tidak dijadikan jalan pengabdian untuk kemaslahatan rakyat, tetapi justru digunakan untuk merealisasi kepentingannya sendiri, kelompok, donatur dan pemodalnya juga partainya. Rakyat dan kepentingan rakyat pada akhirnya hanya dijadikan alat, kedok dan justifikasi untuk membuat program, kegiatan dan kebijakan yang pada hakikatnya lebih untuk kepentingannya sendiri, pemodal, kelompok dan partainya.
Usulan Perbaikan Akan Berhasil?
Semua fakta kekisruhan seputar Kepala Daerah dan wakil kepada daerah dan perilaku mereka adalah hasil langsung dari konsep otonomi daerah, yang salah satu unsur utamanya adalah Kepala Daerah dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu Kada. Setelah berjalan enam tahun lebih dan ternyata banyak menimbulkan banyak masalah maka pemerintah dalam hal ini Kemendagri berusaha memperbaikinya dengan mengajukan revisi UU pemerintahan daerah.
Untuk memperbaiki hal itu pemerintah melalui Kemendagri akan mengusulkan agar gubernur nantinya dipilih oleh DPRD. Sementara walikota atau bupati, tetap dipilih langsung. Untuk wakil walikota atau wakil bupati, diusulkan agar ditunjuk oleh wali kota atau bupati terpilih enam bulan setelah terpilih. Kemendagri mengusulkan agar jabatan Wakil Kepala Daerah diisi pegawai negeri sipil, yang jenjang birokrasinya tertinggi di daerah tersebut. Hal ini salah satu cara untuk menghindari pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pecah kongsi sebelum masa jabatan berkakhir. Disamping itu menurut Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar Moenek, usulan itu juga semata-mata untuk memberikan jaminan kepastian efektivitas dan stabilitas penyelanggaran pemerintahan di daerah. Karena mereka sudah berpengalaman. Makanya yang diajukan harus tiga calon yang berpengalaman. Selain itu, alasan penentuan Wakil Kepala Daerah berasal dari kalangan birokrat, karena mereka tidak terlalu berambisi secara politik dibanding Wakil Kepala Daerah yang berasal dari partai politik dan dipilih secara langsung (lihat, rakyatmerdekaonline.com, 26/12).
Apakah usulan itu bisa memperbaiki keadaan dan menghasilkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah seperti yang diharapkan? Mungkin usulan itu akan bisa sedikit mengurangi fenomena kekisruhan yang sekarang terjadi. Namun agaknya belum bisa merealisasikan apa yang diharapkan. Sebabnya, pertama, wali kota dan bupati tetap saja dihasilkan dari proses Pemilu Kada yang tentu saja akan tetap membutukan biaya besar. Dan itulah salah satu akar masalah munculnya penguasa buruk yang lebih mementingkan kepentingan sendiri, pemodal dan kelompoknya. Apalagi tentu saja pengajuan calon wali kota dan calon bupati itu akan tetap melalui parpol, sehingga wali kota dan bupati terpilih akan tetap “berutang budi” kepada parpol yang mengusungnya dan karenanya ia harus membalas budi itu. Diluar itu, kepentingan cukong yang memodali Pemilu Kada akan tetap dikedepankan. Dan tidak menutup kemungkinan, wakil wali kota atau bupati itu akan dipilih dari orang yang bisa menjalankan dan menjamin kepentingan-kepentingan itu. Faktor kedua, adanya “jaminan” wali kota dan bupati terpilih akan memegang jabatannya sampai selesai periodenya bagaimanapun keadaannya.
Solusi Islam Wujudkan Pemimpin Pelayan Rakyat
Islam memiliki sistem penunjukan Kepala Daerah yang minim biaya bahkan tanpa biaya. Kepala Daerah tidak akan berpikir untuk mengembalikan modalnya. Kepala Daerah itu juga tidak akan tersandera oleh para cukong seperti halnya dalam sistem demokrasi. Penunjukan Kepala Daerah itu juga tidak bergantung pada peran parpol sehingga Kepala Daerah tidak perlu membalas budi kepada parpol.
Dalam sistem Islam, Kepala Daerah baik Wali (gubernur) atau ‘Amil (Kepala Daerah tingkat II) ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Negara (Khalifah) atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan itu. Kepala Daerah itu ditunjuk dari orang-orang yang memenuhi syarat. Dan diutamakan dari mereka yang memiliki ketakwaan, memiliki kemampuan dan kecakapan, berkarakter ihsan dan senantiasa berupaya menumbuhkan suasana keimanan dan ketakwaan di tengah masyarakat.
Kepala Daerah (wali atau amil) itu akan menduduki jabatannya sampai diberhentikan. Pemberhentian Kepala Daerah (wali atau ‘amil) terjadi jika Khalifah memberhentikannya. Pemberhentian Kepala Daerah oleh Khalifah itu boleh dilakukan meski tidak ada sebab seperti pelanggaran, kezaliman, kelalaian, dsb, yang dilakukan oleh kepada daerah itu. Tentu jika ada sebab-sebab yang mengharuskan seorang Kepala Daerah diberhentikan, yang bersangkutan harus diberhentikan. Dengan ketentuan seperti itu, dominasi Kepala Daerah terhadap kekuasaan dan tumbuhnya nafsu kekuasaan pada diri seorang Kepala Daerah bisa dicegah.
Pemberhentian seorang Kepala Daerah (wali atau ‘amil) juga dilakukan jika penduduk wilayah atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah yaitu majelis umat di tingkat daerah tersebut menampakkan ketidakridhaan dan ketidaksukaan mereka terhadap Kepala Daerah. Hal itu seperti yang dilakukan Rasul saw yang memberhentikan al-‘Ala’ bin al-Hadhrami dari jabatan ‘Amil di Yaman dikarenakan utusan ‘Abd Qays mengadukannya atau menampakkan ketidakridhaan mereka. Dalam hal ini Khalifah bisa menyelidiki yakni meminta penjelasan tentang apa yang diadukan dan kemudian menjelaskannya kepada rakyat di wilayah tersebut jika ternyata keadaannya tidak seperti yang diadukan seraya menanyakan kembali keridhaan penduduk wilayah atau daerah tersebut.
Dengan ketentuan ini maka Khalifah akan bersikap hati-hati dan seksama dalam memilih dan menunjuk Kepala Daerah. Yaitu hanya memilih mereka dari orang yang memiliki kemampuan dan kecakapan, orang yang takwa, seorang negarawan dan politisi sejati yang senantiasa memperhatikan dan bekerja untuk merealisasi kemaslahatan rakyat. Begitu pula Kepala Daerah yang menjabat akan tetapi seorang yang terus menjalankan pemerintahan dengan baik, jujur, adil dan memelihara urusan rakyat. Sebab jika Kepala Daerah itu tidak demikian, maka penduduk daerah itu atau wakil mereka bisa menampakkan ketidakridhaan atas pejabat Kepala Daerah tersebut sehingga dia diberhentikan dan bisa ditunjuk penggantinya yang lebih layak dan lebih baik.
Dengan demikan jelaslah bahwa sistem demokrasi sangat sulit atau bahkan hampir mustahil menghasilkan Kepala Daerah pelayan rakyat. Hasilnya hanya Kepala Daerah pelayan kapitalis yang mengutamakan kepentingan pemilik modal.
Kepala Daerah pelayan rakyat hanya akan bisa direalisasi dan dijamin eksistensinya dengan diterapkannya sistem Islam. Karena itu kekisruhan tentang Kepala Daerah yang terus terjadi dalam sistem demokrasi seperti yang terjadi selama ini seharusnya makin menyadarkan kita untuk memerjuangkan tegaknya syariah Islam dalam segala aspek daam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb wa ahkam. [Yahya Abdurrahman ; LS-HTI]