Oleh: Hafidz Abdurrahman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “terorisme” diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik. Pelakunya disebut teroris, yaitu orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, cet. IV, 1995, 1048).
Jika kita menggunakan definisi ini, maka masalah terorisme ini bisa dipetakan menjadi dua: Pertama, tindakan kekerasan yang melanggar hak orang lain, yang menyebabkan hilangnya harta, nyawa dan kehormatan. Kedua, kekacauan, instabilitas politik dan keamanan.
Terorisme: Crime Again Humanity
Sebagai agama dan ideologi yang lengkap dan sempurna, Islam telah memberikan solusi yang jelas dan tegas terhadap kedua poin di atas. Tindakan teror, baik secara verbal maupun fisik, sama-sama diharamkan oleh Islam. Nabi menyatakan, “Siapa saja yang meneror orang Islam demi mendapatkan ridha penguasa, maka dia akan diseret pada Hari Kiamat bersamanya.” (Lihat, as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, VII/44). Teror yang dimasuk di sini bisa berbentuk verbal maupun fisik. Demikian juga hadits Nabi, “Siapa yang menghunus pedang terhadap seorang Muslim, maka benar-benar telah menumpahkan darahnya.” (Lihat, as-Syaibani, Syarah as-Sair al-Kabir, I/6). Kedua hadits ini jelas mengharamkan tindakan teror. Karena itu, tindakan ini dianggap pelanggaran syar’i (mukhalafah syar’iyyah), dan merupakan bentuk krimininal (jarimah).
Dalam Islam, setiap pelanggaran ada sanksinya, sesuai dengan bentuk dan kadarnya. Jika tindakan teror yang dilakukannya menyebabkan hilangnya nyawa orang banyak, maka menurut mazhab Hanafi, orang tersebut harus dibunuh, tidak perlu membayar diyat. Namun, menurut Imam as-Syafii, itu belum cukup. Selain harus dibunuh, dia diwajibkan membayar diyat kepada seluruh keluarga korban. Alasannya, karena nyawa yang dia renggut lebih dari satu. Jika di-qishash, maka nyawanya hanya berlaku untuk satu korban, sementara korban yang lain belum mendapat bagian. Karena itu, dia wajib membayar diyat, agar defisit qishash tersebut bisa ditutup (Lihat, as-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/99).
Namun, jika tindakan teror yang dilakukan tidak sampai menyebabkan hilangnya nyawa, tetapi hanya menimbulkan hilangnya anggota badan, maka Islam menetapkan diyat untuk masing-masing. Dengan ketentuan: (1) Jika anggota badan tersebut hanya mempunyai satu organ, maka jika organ tersebut terluka, wajib dibayar 100 unta; (2) Jika terdiri dari dua organ, dan yang terluka hanya salah satu, seperti telinga sebelah kiri, maka wajib dibayar 50 unta; (3) Jika terdiri dari sepuluh bagian, seperti jari, maka setiap jari wajib dibayar 10 unta. Diyat ini berlaku, jika organ tersebut hilang. Namun, jika hanya terluka, dan luka tersebut luka dalam, maka diyat yang harus dibayar adalah sepertiga (Lihat, al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat).
Demikian juga terkait dengan harta yang dirusak, dan kehormatan wanita yang direnggut, semuanya ada balasannya. Semuanya ini telah dirinci dan dibahas oleh para fuqaha, dan banyak kita temukan rinciannya di dalam kitab-kitab fiqih mereka. Inilah ketentuan Islam terkait dengan teror yang mengakibatkan hilangnya nyawa, harta dan kehormatan, dilihat dari aspek tindakan kriminalnya.
Terorisme: Ancaman Keamanan
Dampak yang diinginkan oleh aksi teror, sebenarnya bukan hanya menghilangkan nyawa, harta dan kehormatan, tetapi untuk mengganggu keamanan dan menciptakan kengerian di tengah-tengah masyarakat. Aksi teror ini termasuk dalam kategori kegiatan yang bisa mengancam keamanan, meski bukan satu-satunya. Sebab, masih ada kegiatan lain yang bisa mengancam keamanan.
Sebut saja, murtad dari Islam, bughat (memberontak) baik disertai aksi perusakan, pembakaran, sabotase dan pendudukan pos-pos vital di dalam negara, disertai dengan serangan terhadap kepemilikan individu, umum dan negara, atau memisahkankan diri dari negara dengan mengangkat senjata dan melakukan perang terhadap negara. Selain itu, termasuk aktivitas yang mengancam keamanan adalah perompakan, pembajakan, merampok harta dan menghilangkan nyawa pemiliknya. Juga serangan terhadap harta orang awam, baik dengan mencuri, merampok maupun korupsi; serangan terhadap jiwa mereka, baik dengan memukul, melukai maupun membunuh, serta serangan terhadap kehormatan mereka, baik dengan pembunuhan karakter, tuduhan berzina maupun menzinai. Selain aktivitas yang jelas-jelas mengancam keamanan tadi, ada aktivitas lain yang dilakukan oleh Ahl Raib, Muslim maupun non-Muslim yang bekerja sama dengan negara kafir harbi untuk menghancurkan negara Islam. Ini juga termasuk aktivitas yang bisa mengancam keamanan negara.
Terhadap masing-masing aktivitas tersebut, Islam telah menetapkan hukum yang jelas dan tegas. Orang murtad, termasuk mereka yang mengemban dan menyebarkan paham sesat, baik dengan embel-embel Islam maupun tidak, jika sebelumnya Muslim, maka dia diminta bertaubat, dan diberi waktu tiga hari. Jika dalam waktu tersebut tidak bertaubat, maka dia harus dibunuh. Terhadap bughat (memberontak) baik disertai aksi perusakan, pembakaran, sabotase dan pendudukan pos-pos vital di dalam negara, disertai dengan serangan terhadap kepemilikan individu, umum dan negara, namun tidak mengangkat senjata, maka mereka harus dihentikan oleh polisi. Jika polisi tidak mampu, maka bisa meminta bantuan tentara. Namun, jika mereka mengangkat senjata dan melancarkan perang, maka mereka harus diperangi. Dalam hal ini, selain polisi, tentara bisa dilibatkan, hingga mereka berhasil dilumpuhkan. Namun, sebelumnya, mereka harus diminta untuk kembali, meletakkan senjata dan taat kepada negara. Jika tidak bersedia, baru diperangi.
Terhadap perompakan, pembajakan, merampok harta dan menghilangkan nyawa pemiliknya, mereka harus diberantas oleh kepolisian untuk dihabisi, karena perang melawan mereka bukan perang untuk memberi pelajaran, tetapi untuk membasmi. Mereka bisa dibunuh, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, disalib dan dibuang ke luar kota. Ada yang cukup dipotong tangan dan kaki secara menyilang, tidak dibunuh. Atau, ada yang hanya dibuang, tidak dipotong tangan dan kakinya, dan tidak dibunuh. Semuanya sesuai dengan tindakan yang mereka lakukan.
Demikian juga serangan terhadap harta orang awam, baik dengan mencuri, merampok maupun korupsi; serangan terhadap jiwa mereka, baik dengan memukul, melukai maupun membunuh, serta serangan terhadap kehormatan mereka, baik dengan pembunuhan karakter, tuduhan berzina maupun mezinai, maka negara bisa mengawasi, mengontrol dan menghukum mereka dengan menerapkan hukum-hukum peradilan yang terkait.
Semuanya ini dilakukan berdasarkan bukti, dan tidak boleh ada sanksi apapun yang dijatuhkan kepada mereka hanya karena “diduga”. Sebab, prinsip pengadilan dalam Islam adalah, al-ashl bara’tu ad-dzimmah (asas praduga tidak bersalah). Islam membolehkan dilakukannya penangkapan, jika ada indikasi kuat yang mengarah kepada pelaku, agar bisa ditanya. Meski begitu, dengan tegas Islam mengharamkan penyiksaan, teror dan sejenisnya terhadap orang yang diduga atau dituduh sebagai pelaku. Islam mengharamkan aktivitas spionase terhadap mereka, termasuk menyadap telpon, email dan sebagainya.
Namun, larangan spionase tersebut dikecualikan terhadap Ahl Raib. Meski boleh jadi mereka adalah Muslim, tetapi karena keterkaitan mereka dengan orang Kafir Harbi fi’lan, dan kebolehan untuk memata-matainya, maka hal yang sama juga berlaku terhadap Ahl Raib ini. Meski demikian, kebolehan tersebut dibatasi dengan dua syarat: Pertama, jika Departemen Perang dan Keamanan Dalam Negeri menyatakan, bahwa hasil pengawasannya membuktikan mereka terlibat dengan negara kafir harbi fi’lan. Kedua, hasil pengawasan tersebut kemudian diserahkan kepada Qadhi Hisbah, dan Qadhi Hisbah menyatakan bahwa aktivitas mereka bisa membahayakan Islam dan kaum Muslim. Jika dua syarat ini terpenuhi, maka negara melalui Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa memata-matai mereka. Namun, jika dua syarat tersebut tidak terpenuhi, tidak boleh.
Dengan cara seperti itu, negara akan bisa menyelesaikan masalah terorisme dari akar-akarnya. Solusi yang dibangun berdasarkan fakta kejahatan yang memang benar-benar telah dilakukan oleh pelakunya, bukan sekedar dugaan, apalagi rekayasa demi kepentingan politik penguasa komprador dan majikannya. Wallahu a’lam.