Dewan Perwakilan Rakyat kini makin rajin membentuk panitia khusus (pansus) yang tidak membahas undang-undang. Pansus dibentuk untuk mengawal, bila tidak disebut mengawasi, kasus-kasus yang menyedot perhatian masyarakat luas.
Padahal, tugas DPR ialah pengawas pemerintah. Jadi, DPR dengan kelengkapannya seperti komisi, badan kelengkapan, dan pimpinan memang seharusnya bertugas mengawasi kinerja pemerintah.
Contoh paling menonjol ialah Pansus Century, yang dibentuk ketika banyak anggota masyarakat yang mengadukan bahwa uang mereka hilang karena Bank Century kolaps. Padahal, DPR memiliki Komisi XI alias komisi yang mengawasi perbankan.
Masalahnya ialah untuk membentuk pansus bukan perkara sepele. Banyak biaya tambahan yang harus dikeluarkan agar pansus bisa berjalan. Contohnya, agar Pansus Century bisa berjalan DPR mematok anggaran sebesar Rp2,7 miliar untuk 2 bulan. Catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan bahwa untuk Rapat Paripurna pengambilan keputusan kasus Bank Century yang digelar dua hari pada Maret 2010, sekitar Rp4,5 miliar dihabiskan.
Anggota dewan menghabiskan anggaran sekitar Rp2,2 miliar per hari.
Rinciannya, honorarium Ketua DPR Rp6 juta per hari, honorarium empat orang Wakil Ketua DPR Rp22 juta per hari, dan honorarium untuk 426 anggota dewan (yang hadir) menghabiskan Rp2,1 miliar.
Hingga sekarang kasusnya pun masih terkatung-katung dan dialihkan pada tim pengawas Century. Masa kerja timwas diperpanjang dan ini pun menghabiskan anggaran.
Menurut Fitra, dalam Keppres No 26 Tahun 2010 tentang Rincian Anggaran Pemerintah Pusat tahun 2011, tercantum ada 5 pansus non-RUU dengan indeks satu pansus sebesar Rp2,8 miliar. Alokasi anggaran untuk 5 pansus sebesar Rp14,2 miliar.
Meski belum punya data pasti, menurut Koordinator Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafy, jumlah pansus non-RUU di DPR tahun ini melebihi apa yang dianggarkan pemerintah. Terlebih dengan dibentuknya dua pansus baru terkait kasus kekerasan yang terjadi belakangan, yakni Pansus Mesuji dan Pansus Bima. Pansus-pansus itu, katanya, seolah diada-adakan DPR untuk menghabiskan anggaran lewat honorarium yang didapat dengan menjadi anggota pansus.
Tidak efektif
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyebutkan mekanisme pengawasan sebuah isu dengan menggunakan pansus tidak efektif. Pansus-pansus non-RUU, khususnya terkait fungsi pengawasan, bahkan kerap kali dijadikan alat transaksi politik dan ekonomi oleh elite di DPR.
Selain itu, tambahnya, pansus atau panitia kerja sering kali dijadikan alat serang-menyerang antarfraksi parpol di DPR. Sebastian mencontohkan panja angket mafia pajak yang digulirkan kubu oposisi, tetapi gagal dalam voting karena Partai Demokrat kukuh menolak, Maret tahun lalu. Tak lama berselang, politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul menggulirkan isu akan membuka kembali Pansus Lapindo.
“Ini kan jelas arahnya mau ke mana,” ujarnya.
Sebastian tidak menampik bahwa pansus juga kerap dijadikan medium untuk menambah uang saku anggota dewan dengan mengejar honorarium yang lumayan besar.
Padahal, tambahnya, pelaksanaan fungsi pengawasan dewan banyak sekali mekanismenya. Ada rapat kerja, rapat dengar pendapat dan lain-lain. “Contohlah bicara soal infrastruktur, ngapain bikin pansus. Gelar rapat kerja, panggil menteri terkait. Lakukan kunjungan kerja. Jika di lapangan masalah masih belum beres, panggil lagi menterinya. Itu jauh lebih efektif,” ujarnya.
Senada dengan Sebastian, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam menilai pansus-pansus non-RUU yang dibentuk DPR memboroskan anggaran yang diambil dari uang rakyat. Pasalnya, mekanisme kerja pansus dinilai tidak jelas dan rekomendasinya pun mandul.
“Jenis honorariumnya banyak sekali. Rapat ada honornya, lalu ada biaya saat kunjungan ke lapangan, saat pengambilan keputusan, dan lain-lain. Selain itu, kinerja anggota dewan juga terganggu karena mereka melepaskan tanggung jawab legislatif karena pansus,” ungkapnya. (mediaindonesia.com, 9/1/2012)