Wewenang Polisi Dipereteli

Penanganan keamanan nasional yang sejak masa reformasi ditangani Kepolisian Negara Republik Indonesia akan ditangani Dewan Keamanan Nasional. Itu terjadi jika substansi dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang masih berada di Sekretariat Negara disetujui parlemen.

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, di Jakarta, Minggu (8/1), mengakui, dari sisi Polri, RUU Keamanan Nasional terasa memereteli kewenangan dalam menentukan keamanan nasional. Namun, sebenarnya RUU itu justru menempatkan kewenangan kepolisian dalam hal keamanan nasional secara proporsional.

Sebelumnya, kata Kristiadi, kita melakukan ”kesalahan sejarah” karena menempatkan sepenuhnya kewenangan keamanan nasional kepada Polri, sesuai perubahan UUD 1945 dan ketetapan MPR. Kristiadi mengakui, RUU itu adalah regulasi penting untuk mengamankan kepentingan nasional. Apalagi, masyarakat mendambakan kehidupan tahun 2012 lebih aman setelah dihadapkan pada gangguan rasa aman karena terjadi kekerasan antara aparat dan warga serta kekerasan antarwarga, seperti di Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan), Bima (Nusa Tenggara Barat), Aceh, dan Papua.

Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar mengakui pula, polisi tidak akan sanggup sendirian menangani keamanan nasional.

Bukan kepolisian lagi

Dalam RUU Keamanan Nasional, pemerintah mengajukan perubahan, kewenangan dalam bidang keamanan menjadi milik Dewan Keamanan Nasional. Padahal, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyatakan, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dalam RUU Keamanan Nasional disebutkan, pengelolaan keamanan nasional harus dilaksanakan semua perangkat negara dan komponen masyarakat. Penyelenggaraan keamanan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dirasakan perlu harmonisasi dan sinkronisasi.

Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan, Pos M Hutabarat di Jakarta, Sabtu, menampik, RUU Keamanan Nasional memereteli kewenangan polisi. RUU Keamanan Nasional itu mengintegrasikan berbagai UU yang terkait dengan keamanan nasional, termasuk UU Polri, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan UU lain yang terlalu sektoral.

Pos Hutabarat mengatakan, ada ruang kosong pengaturan TNI dan Polri. Hal ini terkait dengan perbantuan TNI ke Polri yang saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU tentang Keadaan Darurat. ”Misalnya, ada konflik di kabupaten A, bupati mengatakan Polri tidak mampu mengatasi. Menurut perppu ini, bupati bisa meminta kepada TNI. Namun, TNI tidak mau. Ini yang ingin kita isi,” katanya. Dengan demikian, menjadi satu kesatuan dalam pengaturan keamanan nasional.

Pimpinan Polri belum bersedia menanggapi soal RUU Keamanan Nasional ini. Namun, Penasihat Ahli Kepala Polri Kastorius Sinaga di Jakarta, Sabtu, mengakui, ada catatan dan pemikiran penting dari Polri terkait RUU itu yang belum terakomodasi. Catatan itu terkait pengertian penyelenggaraan keamanan nasional dan pengertian Dewan Keamanan Nasional.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia, Edy Prasetiono, menilai, undang-undang untuk mengatur keamanan nasional memang dibutuhkan. Namun, ada beberapa substansi yang harus diatur dalam UU itu, terutama terkait siapa pembuat kebijakan. Juga siapa yang membuat keputusan tentang penggunaan instrumen koersif dan operasionalisasi. Perlu ada penegasan terkait dengan siapa yang menetapkan gradasi situasi keamanan.

Edy mengakui, ada kegamangan pemerintah dalam mengambil keputusan terkait keamanan nasional. Beberapa kasus merebaknya kekerasan belakangan ini salah satunya disebabkan oleh pemerintah tak jeli melihat situasi.

Menurut Pos Hutabarat, sesuai RUU Keamanan Nasional, jika nanti diundangkan, akan dibentuk Dewan Keamanan Nasional. Dewan diketuai presiden dan dijalankan ketua harian yang jabatannya setingkat menteri. Polri menjadi anggota Dewan Keamanan Nasional. Dewan akan menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional, termasuk mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional.

Selain Dewan Keamanan Nasional di tingkat pusat, menurut Pos Hutabarat, ada forum koordinasi keamanan nasional daerah provinsi dan kabupaten/kota yang diketuai kepala daerah setempat. Hal ini akan mengefisienkan koordinasi karena ditangani satu lembaga. ”Contohnya kasus Bima. Ada forum keamanan di provinsi. Jika tak menular di provinsi lain, bisa diselesaikan di provinsi,” katanya.

Edy menekankan, TNI hanya bisa digerakkan oleh Presiden. Dewan yang memberikan rekomendasi, tetapi keputusan penggunaan TNI sebagai kekuatan koersif tetap ada di Presiden.

Di bawah Presiden

Kastorius Sinaga menegaskan, Polri telah memberi catatan pasal per pasal untuk draf RUU Keamanan Nasional sebelum amanat presiden keluar. Namun, sejumlah catatan dan pikiran Polri itu belum masuk.

Menurut Kastorius, catatan penting yang ditekankan Polri adalah statusnya tetap di bawah Presiden. Polri mempertanyakan pengertian fungsi penyelenggaraan keamanan nasional. ”Pengertian itu terkait pengambilan fungsi komando atau tidak?” paparnya. Ia mencontohkan, jika di daerah ada aksi kekerasan, kepala polda mengerahkan pasukan Brimob. Pengerahan pasukan itu berada di bawah komando Polri atau Dewan Keamanan Nasional?

Haris menambahkan, sebaiknya RUU Keamanan Nasional mengatur pembagian tugas atas jenis ancaman. Dengan demikian, RUU itu tidak dipandang sebagai upaya memereteli wewenang Polri. (kompas.com, 9/1/2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*