Oleh Luthfi Afandi, SH (Humas HTI Jabar)
Rencana Kemendagri untuk membatalkan perda minuman keras dengan alasan bertentangan dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol digugat banyak pihak, diantaranya oleh Pemda/Pemkot yang memiliki Perda Miras, MUI Pusat dan daerah, Ormas Islam hingga Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Mereka beralasan, pencabutan Perda Miras akan semakin membiarkan miras merajalela dan memicu tingginya angka kriminalitas. Sampai dengan saat ini, Kabupaten/Kota yang mengeluarkan perda minuman keras yang dianggap bertentangan dengan Keppres 3/1997 adalah Kota Bandung, Kabupaten Indramayu, Kota Banjarmasin, Kota Balikpapan, Kota Tangerang, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Maros, Kota Sorong, dan Kabupaten Pamekasan.
Keppres Bermasalah
Permasalahan minuman keras di Indonesia, sesungguhnya berpangkal dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini akan membuka ruang bermunculannya bisnis haram termasuk minuman keras. Prinsipnya, selama ada permintaan pasar, menguntungkan bagi pengusaha dan ada pemasukan buat negara, maka bisnis apapun termasuk yang merusak masyarakat akan difasilitasi. Alasan inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang terbitnya Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Keppres inilah yang membuka ruang bagi para pengusaha untuk memproduksi minuman beralkohol dengan izin dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Pasal 2). Selain itu, Keppres ini pun membedakan minuman beralkohol yang termasuk dalam kategori barang dalam pengawasan dan yang tidak diawasi. Minuman beralkohol yang diawasi adalah yang kadar alkoholnya antara 5% hingga 55% (golongan B dan C), adapun yang kadar alkoholnya 1%-5% (golongan A) tidak termasuk dalam pengawasan (pasal 3). Itu artinya, minuman yang kadar alkoholnya 5% atau di bawah itu, bebas dijual tanpa ada pembatasan tempat.
Perda Minuman Beralkohol
Perlu diketahui, bahwa kemunculan dan isi Perda minuman beralkohol di berbagai daerah sesungguhnya mengacu kepada Keppres 3/1997. Hanya saja, di beberapa daerah ada yang lebih mengetatkan lagi pengawasan dan peredarannya, yakni bukan hanya untuk minuman beralkohol golongan B dan C tetapi termasuk golongan A, atau yang kadar alkoholnya antara 1%-5%. Seperti halnya Perda Kota Bandung No. 11 tahun 2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Dalam Perda tersebut dinyatakan bahwa semua golongan minuman beralkohol peredarannya termasuk dalam pengawasan (pasal 4). Boleh jadi, pasal inilah yang dianggap oleh Kemendagri bertentangan dengan Keppres 3/1997.
Alhasil, karena acuan utama pembuatan Perda minuman beralkohol adalah Keppres 3/1997, maka jika diperhatikan, isi Perda Miras sejatinya tidak jauh berbeda dengan Keppres. Isi Perda masih membolehkan peredaran minuman keras di tempat tertentu. Di Bandung misalnya, minuman keras masih diperbolehkan dijual di Hotel Berbintang 3 hingga Berbintang 5, Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Selaka, Pub karaoke, Kelab Malam, Diskotik; dan Duty Free Shop (pasal 5). Ini artinya, isi Perda pun sejatinya belum melarang total peredaran minuman beralkohol bahkan cenderung melegalisasi minuman beralkohol.
Pencabutan Perda Miras
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa isi Perda Miras sejatinya tidak dalam rangka melarang total minuman keras. Isinya hanya mengatur, mengendalikan dan mengawasi peredaran minuman beralkohol. Pada sisi yang lain, rencana kemendagri membatalkan perda minuman keras dengan alasan bertentangan dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 dipastikan akan lebih memperparah keadaan. Bisa dipastikan, peredaran minuman keras akan semakin merajalela dan tentu akan sangat berbahaya bagi moralitas rakyat karena akan memicu aneka ragam bentuk kejahatan, karena kita tahu bahwa minuman keras adalah pangkal kejahatan (al khamru ummul khabaits). Dalam hal ini, adanya Keppres 3/1997 dan rencana pembatalan perda miras menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengacu kepada kepentingan bisnis (kapitalis) daripada kepentingan penjagaan moralitas rakyatnya. Inilah cermin dari penguasa sekuler-kapitalistik.
Solusi Islam
Syariat Islam jelas mengharamkan minuman keras (khamr) (Al-Maidah [5]: 90) dan memandang meminum khamr sebagai kemaksiatan besar dan pelakunya harus dijatuhi sanksi had. Adapun had peminum khamr adalah dijilid 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga mengharamkan dan menghilangkan semua hal yang terkait dengan khamr, mulai dari perizinan, produksi (pabrik), distribusi (toko yang menjual minuman keras), hingga yang meminumnya. Semuanya dilaknat Allah swt. Dalam hal ini, pemerintah wajib mengambil kebijakan mencabut Keppres 3/1997 dan menggantinya dengan kebijakan yang melarang total miras mulai dari hulu hingga hilir. Bahaya khamr dan semua keburukan akibatnya hanya akan bisa dihilangkan dari masyarakat dengan penerapan syariah Islam secara utuh. Karena itu, impian kita akan masyarakat yang tentram, bersih, bermartabat dan bermoral tinggi, hendaknya mendorong kita melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan syariah Islam dalam bingkai sistem politik yang telah ditetapkan Islam, yakni sistem Khilafah. Wallahu A’lam.
selamatkan negara dgn syriah tanpa syariah isalam tadak mungkin masyarakat bisa sejatra