Pencabutan Perda Miras dan Salah Kaprah Penanganan Narkoba
Kita sepakat narkoba adalah musuh bersama. Kita pun sepakat bahwa kerugian akibat narkoba sudah tak terhitung, baik kerugian ekonomi, kerugian sosial, hingga kerugian peradaban berupa ancaman “lembek”-nya generasi bangsa akibat deraan narkoba. Kita pun tahu peredaran narkoba sudah menjalar hingga ke pelosok-pelosok kampung. Kita pun menyaksikan sudah banyak korban jatuh, dan mereka adalah anak-anak muda, generasi penerus bangsa. Narkoba sudah mewabah di mana-mana, uang terhambur-hamburkan untuk membeli narkoba. Tak terkecuali kalangan mahasiswa, artis, pejabat, pebisnis, aparat pemerintah, eksekutif, bahkan anak-anak.
Namun keanehan terjadi di negeri ini. Belum lama ini, Kementerian Dalam Negeri RI menggulirkan wacana pencabutan Peraturan-peraturan Daerah yang dianggap berpotensi melawan aturan di atasnya. Sepanjang 2011, Kementerian Dalam Negeri telah mencabut 351 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah karena dinilai bertentangan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Sembilan di antara Perda yang dicabut itu mengatur tentang pelarangan peredaran minuman beralkohol. Menurut Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri RI, pencabutan beberapa perda itu karena melanggar aturan yang lebih tinggi dan itu sudah sesuai ketentuan.
Langkah ini jelas kontraproduktif terhadap berbagai upaya untuk menghadang laju perusakan generasi yang diakibatkan oleh jeratan minuman beralkohol, juga belitan narkoba. Langkah ini juga sekaligus menguatkan bahwa selama ini upaya penanggulangan persoalan miras, narkoba, dan zat berbahaya lainnya tampak tidak serius.
Ketidakseriusan ini juga tampak dari bagaimana upaya menangani/menanggulangi persoalan narkoba di negeri ini yang tidak efektif, tidak menusuk ke jantung persoalan, sehingga kita seringkali dibuat pesimis bahwa narkoba akan berhasil kita lumpuhkan dari bumi Indonesia. Tak sedikit cermin sukses negara lain dalam mengefektifkan pemberantasan narkoba, namun kesuksesan itu tak jua hinggap di negeri kita.
Kita punya Badan Narkotika Nasional (BNN), sebuah institusi yang cukup kredibel dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan operasional terhadap upayapencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Berbagai instansi pemerintah tergabung dalam barisan BNN, mulai Polri, Kemendagri, Kemenlu, Kemenhan, Kemenhukam, Kemenkeu, Kemenhub, Kemensos, Kemenkes, Kemenag, Kemendiknas, Kemenperin, Kemendag, Kementan, Kemenakertrans, Kemenhut, Kemenkominfo, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kejagung, BPOM, hingga TNI dan BIN. Cukup “gagah” sebenarnya secara kelembagaan.
Secara sejarah pun, kelembagaan per-narkotika-an di negeri ini sudah cukup panjang perjalanannya. Dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) RI No. 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, salah satunya penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahayanarkoba.
Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat,disiapkanlah perangkat berupa UU No. 5/1997 tentang Psikotropika dan UU No. 22/1997 tentang Narkotika. Presiden Abdurahman Wahid kala itu kemudianmembentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) yang beranggotakan 25instansi pemerintah terkait. Tatkala BKNN pun dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius, melalui Keppres No.17/2002, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). Dalam perkembangannya agar kinerja BNN optimal, maka fungsinya ditopang oleh Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK).
Perangkat hukum pun terus diperkuat dengan disahkannya UU No. 35/2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU No. 22/1997. Berdasarkan UU baru ini, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
Dengan latar sejarah, kesiapan perangkat hukum dan kelembagaan semacam itu mestinya pemberantasan narkoba di Indonesia berjalan dengan sigap. Namun nyatanya, hingga kini kita terus disodori fakta-fakta tak sedap tentang peredaran dan penyalahgunaan narkoba berikut korban-korban yang ditimbulkannya. Melihat fenomena ini, bisa jadi ada sesuatu yang salah terkait penanggulangan narkoba ini.
Kalaulah boleh disebut “salah kaprah”, beberapa fakta memang cukup mengganjal. Soal penegakan hukum harus diakui bahwa Indonesia termasuk yang “lunak”. Sejumlah peraturan perundangan yang ada belum mampu menumbuhkan efek jera kepada para pelaku, karena UU tersebut masih banyak celah dan kekurangan. Belum lagi tidak tegasnya aparat penegak hukum. Bahkan ada petugas yang memanfaatkan hal ini untuk mencari keuntungan pribadi. Revisi UU Narkotika yang memindahkanpengelolaan pengawasan narkotika dari Kemenkes ke BPOM dan peran doktermembawa efek pelemahan tersendiri. Jumlah dokter yang tidak sebanding dengan pengguna narkotika, tentu menjadi sandungan serius dari sisi pengawasan.
Perdagangan narkoba adalah perdagangan global yang sangat lihai mengintip dan menggunakan kelemahan sistem hukum negara-negara yang menjadi lintasan produksi, distribusi dan konsumsinya. Kenyataan tentu lebih memprihatinkan lagi di negara-negara berkembang yang umumnya sistem dan penegakan hukumnya lemah, terlebih di negara-negara yang tingkat korupsinya besar. Korupsi akan makin menyuburkan perdagangan dan peredaran narkoba. UNDCP menegaskan,perdagangan narkoba perlu korupsi agar tumbuh, dan sarana kuat untuk menyuapkan masyarakat apapun adalah uang. Kita pun bisa membayangkan betapa menariknya Indonesia –negara yang sistem dan penegakan hukumnya sangat lemah dengan tingkat korupsi yang luar biasa–untuk dijadikan lintasan “empuk” perdagangan global narkoba.
Selain aspek hukum, “salah kaprah” lainnya adalah soal paradigma dalam memandang pelaku sebagai “korban”. Ketika pengguna narkoba lebih didudukkan sebagai “korban”, maka hukum akan tumpul menyentuhnya. Jika sudah demikian, hukum bukanlah momok yang harus ditakutinya. Padahal sesungguhnya seorang pemakai narkoba tidak bisa dipandang semata-mata sebagai korban. Pasalnya, perilaku menggunakan narkoba adalah perilaku sadar. Ia tahu bahwa melakukan itu salah dan melanggar hukum. Selama ini peraturan yang ada terkesan “menyayang-nyayang” yang kecanduan sementara di sisi lain membahayakan yang sehat/bukan pengguna narkoba.
Hal lain yang perlu kita sorot adalah soal metode penanganan pecandu. Di sini “salah kaprah” kembali terjadi, yaitu dipilihnya terapi metadon sebagai cara penanggulangan. Padahal metadon merupakan opiat sintetis yang segolongan dengan heroin, kodein, dan morfin. Malahan metadon yang tinggal diminum itu lebih’murni’ jika dibandingkan dengan putau atau narkoba sejenis. Artinya, metadon ini bukanlah ‘pengobatan’ tapi zat cair ‘pengganti’ kebutuhan pencandu. Dengan demikian pecandu narkoba tidak bisa serta merta lepas dari ketergantungan. Praktik terapi metadon di berbagai klinik/puskesmas menunjukkan tak sedikit pecandu yang sudah melebihi masa terapi, tapi masih saja menggunakan metadon. Parahnya, mereka bahkan meminta dokter menaikkan dosisnya. Ada juga yang menjadikan metadon sebagai pelarian saat mereka tidak mendapatkan “barang”.
Terhadap pilihan detoksifikasi pun, selama ini tak ada aturan yang mewajibkan pasien harus mengikuti rehabilitasi mental dan sosial. Padahal ketergantungan narkotika adalah perilaku, bukan sekadar efek zat adiktif. Tanpa rehabilitasi mental dan sosial yang mengubah perilaku korban, ia akan kembali mengonsumsi narkoba. Pun demikian dengan upaya pencegahan melalui berbagai sosialisasi bahaya narkoba melalui seminar-seminar. Sebanyak apapun seminar yang diadakan tidak akan mengubah pandangan terhadap narkoba bila hal tersebut tidak dibarengi dengan usaha penyadaran yang menukik jauh ke dalam diri. Di sinilah peran agama untuk terus menumbuhkan keimanan sebagai benteng diri bagi setiap individu masyarakat, serta perlunya kontrol sosial dari masyarakat untuk menjadikan narkoba, pecandu dan pengerdarnya sebagai musuh bersama. Tanggung jawab negara melalui tindakan sigap didukung perangkat hukum yang tegas sangat dituntut untuk membentengi jiwa-jiwa rakyatnya agar tidak terjerembab dalam kubangan narkoba. []
HTI TERUS MAJU
ketika demokrasi menjadi motor perubahan, maka rakyat yang sudah teracuni oleh zat yang memabukkan akan memilih wakil mereka yang mendukung orang-orang bisa membuat aturan yang bisa melegalkan penggunaan zat itu. Sekalipun apa yang mereka legalkan itu tidak masuk akal, mereka tidak akan peduli, karena mereka sudah tidak berakal ketika memutuskannya.
Perjuangan terus harus kita lakukan, giatkan dakwah untuk memuliakan manusia dengan pentingnya penerapan syariah.