Ribuan orang berdemonstrasi di kota-kota Libya antara lain di Tripoli dan Benghazi. Mereka menuntut agar Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru mengharuskan penerapan syariah Islam, dan Islam adalah sumber utama konstitusi.
Para demonstran yang turun ke jalan atas undangan kelompok-kelompok Islam-dalam demonstrasi mengusung tema “Loyalitas pada para martir dan terluka-menekankan wajibnya penyatuan wilayah Libya dan haramnya pemisahan.
demonstrasi dilakukan menjelang penetapan (legalisasi) Dewan Transisi Nasional atas Undang-Undang Pemilu yang mendapat banyak penolakan dari organisasi-organisasi sipil dan kelompok-kelompok Islam.
Di lain pihak, Ikhwanul Muslimin Libya mengecam atas sikap Dewan Transisi Nasional yang enggan melakukan perubahan mendasar dalam rancangan undang-undang pemilihan, meskipun telah banyak usulan dan catatan-catatan yang disampaikan oleh kekuatan nasional dan politik.
Ikhwanul Muslimin ini-dalam sebuah pernyataan yang salinannya diterima Aljazeera-menuntut Dewan Transisi untuk tidak memonopoli proses pengambilan keputusan, sebab hal itu akan mengancam proses politik.
Ikhwanul Muslimin meminta kepada Dewan untuk mengamandemen undang-undang pemilu guna memberikan kesempatan lebih besar untuk akses kaum perempuan dan orang yang berkompetensi. Sebagaimana ia juga mendesak Dewan untuk mempercepat penerbitan undang-undang yang mengatur kehidupan politik, sebab itu merupakan dasar bagi negara sipil modern, demikian pernyataan itu mengatakan.
Sementara di tempat yang sama, seorang diplomat Barat yang terlibat dalam diskusi dengan Komisi Tinggi Pemilihan Libya mengatakan bahwa Libya akan membatalkan usulan untuk mengalokasikan sepuluh persen kursi di Majelis Nasional yang baru bagi perempuan.
Dan diharapkan akan terpilih Majelis yang baru sebanyak 200 anggota pada bulan Juni untuk menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) setelah penggulingan Kolonel Libya Muammar Gaddafi pada tahun yang lalu (aljazeera.net, 21/1/2012).