Lebih dari 3.000 warga Libya Jumat kemarin (20/1) melakukan aksi di timur kota Benghazi, menuntut hukum syariah Islam menjadi sumber konstitusi masa depan negara Afrika Utara tersebut.
“Islam! Islam!, “Teriak para demonstran, dengan beberapa massa mengacungkan Al-Quran, seorang wartawan AFP melaporkan dari lokasi.
Sebuah pernyataan pers yang didistribusikan pada aksi itu menyerukan sebuah pasal yang mengidentifikasi Islam sebagai agama negara yang akan ditambahkan ke dalam konstitusi.
Pasal harus non-negotiable dan tidak berubah dalam referendum yang akan datang terkait konstitusi, pernyataan itu mengatakan.
“Para pengunjuk rasa yang menyerukan hukum syariah sebagai sumber hukum yang secara jelas dinyatakan dalam konstitusi,” kata Fakhri al-Ghaith, seorang tokoh Islam Libya, yang hadir di Tahrir Square Benghazi mengatakan kepada AFP.
Demonstran juga menyatakan oposisi terhadap rencana untuk membuat Libya menjadi negara federal.
Kepala Dewan Transisi Nasional Libya, Mustafa Abdul Jalil, telah menyatakan pada tanggal 23 Oktober tahun lalu bahwa syariah akan menjadi sumber utama perundang-undangan di negara Libya yang baru.
“Kami sebagai sebuah negara Muslim telah mengambil syariah Islam sebagai sumber hukum, karenanya setiap hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam secara hukum batal,” kata Abdul Jalil.
Dia membuat deklarasi tiga hari setelah pembunuhan Muammar Qaddafi yang mengakhiri konflik berdarah melawan pemerintahannya yang meletus Februari lalu dari Benghazi dan menyebar di seluruh negeri.
Selain Benghazi, ratusan Islamis juga melakukan aksi di dalam Tripoli dan di Sabha di gurun selatan negara itu.
Di Tripoli Aljazair Square, Islamis membakar “Buku Hijau,” buku pegangan Gaddafi tentang politik, ekonomi dan kehidupan sehari-hari, untuk menggarisbawahi bahwa Al-Quran harus menjadi sumber utama undang-undang negara.
Para demonstran Islam mencakup anggota Ikhwanul Muslimin dan kelompok Salafi, yang lebih memilih negara yang terinspirasi oleh syariah.
Aksi Ppotes ini menawarkan sekilas masa depan politik Libya di mana partai-partai Islam dan sekuler diharapkan untuk bersaing merebut kursi dalam majelis nasional yang dijadwalkan akan dipilih pada bulan Juni untuk merancang konstitusi bagi negara Afrika Utara itu.
Para ahli percaya bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kekuatan politik yang paling terorganisir dan bisa muncul sebagai pemain politik terkemuka di Libya setelah Gaddafi.
Demonstran di Aljazair Square juga melambaikan poster yang menuntut sistem keuangan Islam dan larangan adanya riba dan menyerukan sebuah konstitusi yang berasal dari hukum syariah.
Pada bagian lain, deputi Gubernur Bank sentral Libya bulan lalu mengatakan hukum yang mengatur perbankan Islam akan diterbitkan pada kuartal pertama 2012, namun menekankan bahwa bank-bank baik konvensional maupun syariah akan diizinkan untuk beroperasi di Libya.
“Kami ingin menjalankan hidup kami sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, baik itu ekonomi, politik atau hubungan kami dengan negara-negara lain,” kata Abdul Basit Ghuwaila, seorang pengkhotbah di sebuah masjid Tripoli. “Kebanyakan orang berpikir Islam adalah hanya tentang hukuman yang keras.”(eramuslim.com, 21/1/2012)