Kejahatan Anak: Tanggung Jawab Bersama Keluarga, Masyarakat Dan Negara

Lembaga Pemasyarakatan Anak

Lembaga Pemasyarakatan Anak

Oleh : Arini Retnaningsih

Data Komnas Perlindungan Anak menyebutkan ada 6000-an anak yang setiap tahunnya berurusan dengan hukum.  Karena jumlah Lembaga Pemasyarakatan Anak hanya 16 dari 33 propinsi di Indonesia, maka sebagian dari mereka menjalani  hukuman di penjara dewasa.

Merebaknya kejahatan yang melibatkan anak-anak ini tentu mengundang tanya, apa yang sedang terjadi pada anak-anak kita?  Siapa yang harus bertanggung jawab? Meletakkan kesalahan pada bahu anak-anak itu sendiri tentu tidak benar.  Menuntaskan kasus kejahatan anak mesti dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait . Begitupun tidak hanya dengan semata-mata memberikan sanksi hukum yang hanya merupakan tindakan represif, lantas mengabaikan tindak preventif yaitu faktor yang menjadi pemicunya.

Siapa yang Bertanggungjawab Melahirkan Kejahatan Anak

Saat terjadi kejahatan anak, para pakar dan aktivis perlindungan anak terpaku pada masalah bagaimana melepaskan anak dari jeratan penjara.  Mereka beralasan penjara bukanlah tempat yang layak bagi anak.  Berdasarkan penelitian AusAID dan Unicef, anak-anak yang menjalani hukuman penjara harus berbagi ruangan sel dengan narapidana dewasa, kekurangan air bersih, kekurangan gizi, dan kondisi kesehatan tidak terawat, dan tekanan mental. Kondisi buruk secara fisik dan mental menyebabkan narapidana anak sangat depresi dan tidak sedikit yang mencoba membunuh diri.

Secara terpisah, Direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak FISIP Universitas Indonesia Irwanto menegaskan, pemenjaraan anak untuk kasus kriminal ringan ibarat hukuman seumur hidup. Trauma masa kecil dan cap buruk dari masyarakat akan menyebabkan masa depan anak hancur  (vivanews.com, 23/07/2011).

Sanksi pemenjaraan bagi anak pelaku kriminal adalah ekses, akibat yang muncul dari sebab.  Memecahkan masalah yang merupakan akibat tanpa memecahkan sebab-sebabnya, seperti kita mengobati gejala-gejala penyakit, namun tidak mengobati apa yang menjadi sebab sakitnya.  Tentu tidak sembuh-sembuh. Menghilangkan ekses akan lebih efektif dilakukan dengan menghilangkan penyebabnya.  Maka sebab-sebab yang memunculkan kriminalitas anak perlu dipahami secara mendalam untuk bisa dicarikan solusinya yang tepat.

Sebagian pihak menuding bahwa penyebab dari kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral

di kalangan anak.  Namun, kemiskinan dan kerusakan moral juga hanya ekses.  Orang yang berpikir mendalam akan mampu melihat hal ini.

Kemiskinan yang mencengkeram lebih dari 32 juta penduduk adalah sesuatu yang tidak masuk akal bagi negeri yang memiliki kekayaan sumberdaya alam berlimpah seperti Indonesia.  Namun pengelolaan yang salah menjadikan hal itu sebagai sebuah keniscayaan..  Sumberdaya alam diserahkan hanya kepada segelintir orang dengan modal besar.  Bahkan dijual kepada para pemilik modal dari luar negeri.  Rakyat yang menjadi pemilik sah kekayaan itu hanya bisa menonton, bagaimana tanah mereka dikeruk, kekayaan alam mereka diangkut, dan mereka harus puas dengan mendapat sedikit remah-remahnya.

Inilah system ekonomi kapitalis yang diterapkan oleh negara.  Sistem ini ditandai dengan penyerahan pengelolaan kekayaan sumberdaya alam dan distribusinya kepada individu.  Individu yang mampu memiliki akses terhadap sumberdaya akan terpenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan yang tidak memiliki akses tidak akan mampu memenuhinya.  Sistem ini menciptakan kesenjangan yang lebar antara pemilik akses dengan yang tidak memilikinya.  Dengan demikian muncullah kemiskinan yang tersistematis.

Sebuah paradoks ketika di tengah kehidupan rakyat yang miskin, pameran kekayaan dan kemewahan menjadi komoditas yang dijual melalui berbagai media massa.  Ini memunculkan keinginan-keinginan yang di luar jangkauan, yang akhirnya dipenuhi dengan jalan yang tidak dapat dibenarkan.  Lihatlah kasus pembunuhan Christopher Tanujaya, sang juara olimpiade  sains beberapa waktu lalu.  Sang pembunuh ternyata hanya menginginkan handphone yang dibawanya.

Anak dan remaja rentan terjerumus dalam kejahatan seperti ini.  Tuntutan pergaulan, mode yang berkembang, dan proses identifikasi diri yang salah, yakni dengan mengidolakan para selebriti berikut gaya hidup mereka, menjadikan banyak anak dan remaja tidak mampu berpikir rasional.

Kondisi ini diperparah dengan merebaknya kerusakan moral di masyarakat.  Paham kebebasan menjadikan individu bebas melakukan apapun yang disukainya, termasuk hal-hal yang membahayakan moral anak seperti pornografi dan pornoaksi.  Sementara masyarakat semakin permisif, membiarkan individu melakukan apa saja dan mengabaikan fungsi kontrol sosial.

Kerusakan yan terjadi semakin massif dengan rusaknya tatanan dalam lingkup terkecil masyarakat yakni keluarga.  Kesibukan orang tua termasuk ibu yang ikut bekerja mencari nafkah, membuat anak tidak terpantau dengan baik perkembangan moral dan agamanya.  Di satu sisi proses perusakan anak justru banyak berlangsung di lingkungan yang paling dianggap aman ini.  Perusak itu bisa jadi televisi, internet, CD, majalah, komik dan sebagainya.

Orangtua sekarang cenderung tidak peduli dengan apa yang dilahap mata sang anak. Terkadang orangtua yang malah membiasakannya, seperti mengajak anak menonton sinetron, memberikan fasilitas internet dan HP, namun lalai memantaunya.

Dengan demikian, merebaknya kejahatan anak bukanlah disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan banyak faktor yang terlibat.  Namun inti dari semuanya adalah sekulerisme, menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan.  Sistem ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, semua digarap lepas dari agama.

Islam, sebagai suatu system yang sempurna berasal dari Pencipta manusia, memberikan solusi integral dalam masalah kejahatan anak.  Sayangnya, solusi tersebut tidak pernah dilirik oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam masalah ini.  Ibarat mutiara yang terbenam dalam lumpur, solusi Islam perlu diangkat dan dipaparkan agar nampak kecemerlangannya.

Paradigma “Dewasa”

Dilema hukuman pada anak sebenarnya bermuara pada kesalahan orientasi dalam penetapan ukuran anak dan dewasa.  Islam menggariskan bahwa anak yang mencapai usia baligh secara bersamaan harus pula sampai pada tingkatan ‘aqil’, berakal, yaitu matang dalam pemikiran.  Fakta saat ini menunjukkan sebaliknya, anak-anak mencapai masa baligh, tapi penalarannya masih jauh dari matang.  Fakta ini muncul dari penetapan definisi anak ala Barat, yang lahir dari suatu yang mereka klaim sebagai ‘hasil penelitian psikologi ‘.

Barat mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke atas.  Ini karena mereka berangkat dari asumsi, bahwa anak usia 12-18 tahun, masih berada dalam masa transisi dan turbulensi, yang berakibat pada labilnya emosi dan belum matangnya penalaran anak.  Konsekuensinya, anak usia ini belum dapat dihadapkan di muka hukum.  Definisi ini kemudian dibakukan sebagai standar internasional.

Ada akibat yang mengerikan dari penetapan batas usia anak ini.  Ketentuan internasional yang melarang anak untuk dijatuhi sanksi pidana, menyebabkan anak “bebas” melakukan tindakan kriminal.  Akibatnya, kejahatan anak terus meningkat karena tidak adanya sanksi yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan anak.  Tidak hanya kuantitas, namun juga kualitas, dalam arti kejahatan anak semakin sadis.

Lihatlah bagaimana di Sumenep, Madura, Amr gadis kecil yang baru menginjak umur 12 th tega melenyapkan nyawa sepupunya Ririn (3 th) hanya gara-gara ingin memiliki anting emas si balita.  Atau kasus anak-anak SMP yang melakukan pemerkosaan terhadap teman sekolahnya.  Apakah anak-anak seperti ini kemudian layak untuk dibebaskan dari jerat hukum ?  Bagaimana perasaan keadilan kita melihat akibat kejahatan tersebut bagi korban dan keluarganya ?

Dalam kondisi seperti yang terjadi saat ini, menghukum anak-anak pelaku kejahatan sebagaimana menghukum orang dewasa memang terkesan tidak adil.  Ini karena kejahatan anak bukan semata-mata kesalahan anak, tetapi juga pengaruh sekian banyak faktor perusak yang ada di keluarga, masyarakat, dan negara.  Terlebih lagi, ini adalah kesalahan ketika menjadikan masa baligh tidak bersamaan dengan ‘aqil’.

Pendefinisian anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum Islam.  Ini karena ketika anak sampai di usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan dosa.  Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk mampu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.

Baligh” diambil dari  bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai“, maksudnya “telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan“. Menurut Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo dalam bukunya Fiqh Anak, secara etimologis, al-bulugh ialah al-wushul al-idrak (sampai dan mengenal/memahami).  Sedangkan menurut makna  terminologis, al bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tanda-tanda seorang anak  telah mencapai usia baligh.  Menurut Huzaimah T. Yanggo, Jumhur ulama berpendapat, tanda-tanda kedewasaan yang terdapat pada masing-masing laki-laki dan perempuan : al-ihtilam atau bermimpi berhubungan suami-isteri.  Disamping itu, ada juga tanda khusus bagi anak-anak wanita, yaitu haid atau menstruasi dan kehamilan.  Dalil bahwa tanda-tanda baligh adalah dengan bermimpi adalah firman Allah:

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin”  (TQS.An-Nur[24]:59).

Umumnya anak laki-laki mengalami baligh pada usia 12-15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9-12 tahun.

Baligh, tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada kewajiban memenuhi seruan Allah.  Mulai saat itu, seorang anak dikatakan telah dewasa.  Dia berkewajiban terikat dengan hukum syara.  Menurut Huzaimah, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat al-wujub), dan kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara sempurna (ahliyat al-‘ada).  Jika dia mentaati aturan, maka dia akan memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar aturan syariat, maka akan kena sanksi.  Semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan sendiri.  Tidak bisa dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain.

Begitupun di hadapan hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya.

Dalam Islam, hal itu adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia sekaligus juga mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.  Yang saat ini menjadi masalah tentu adalah bagaimana agar anak saat baligh ia juga mencapai tahap “aqil”.

Agar Aqil dan Baligh Berjalan Seiring

Syariah Islam mengarahkan anak sesuai masa baligh. Proses pendidikan anak dalam Islam, pada dasarnya mengarahkan anak agar dewasa secara pemikiran (aqil) seiring dengan kedewasaannya secara biologis (baligh).

Ajaran Islam yang memerintahkan untuk mengajari anak  shalat pada usia tujuh tahun (HR Ahmad, at Tirmidzi, Thabrani dan Hakim), dan diperbolehkannya memukul tanpa menyakitkan anak  yang berusia sepuluh tahun bila ia tak mau sholat (HR Ahmad, Tirmidzi, Thabrani dan Hakim) hingga  ditetapkannya usia baligh sudah terbebani hukum syariah (mukallaf) (HR Imam Zaid dalam musnadnya dari Ali bin Abi Thalib, lihat asy Syakhshiyyah al-Islamiyah, juz III, hal 35)  menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal masa  turbulensi. Yang ada hanya masa kanak-kanak hingga tamyiz (bisa membedakan baik- buruk, benar-salah), dan selanjutnya masa baligh  sebagai pintu gerbang kedewasaan. Kalaupun ada masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa, maka akan berlangsung tidak terlalu lama sekitar dua sampai tiga tahun. Tidak ada penundaan kedewasaan. Anak dididik untuk siap memasuki masa baligh.  Dan ketika  sudah baligh, maka ia diperlakukan sebagai orang dewasa yang harus  menjalankan berbagai kewajiban yang  Allah telah  tetapkan baginya.

Sejarah membuktikan, sistem pendidikan Islam  telah melahirkan orang-orang hebat di usia yang masih sangat belia. Usamah bin Zaid menjadi jenderal yang memimpin pasukan pada usia 18 tahun. Telah masuk Islam dan mengikuti halqah nabi, para pejuang Islam seperti Ali bin Abi Thalib (8thn), Thalhah bin Ubaidillah (10thn), Arqam bin abi Arqam (12thn), Abdullah bin Mas,ud (14thn), dll.  Imam Syafi’i hafal al Quran pada usia 9 tahun dan fatwanya didengar mulai usia 14 tahun. Muhammad al-Fatih memimpin 250.000 pasukan memasuki Konstantinopel pada usia baru 24 tahun.

Kita bisa bandingkan hal ini dengan sistem pendidikan kapitalistik dan sekuleristik saat ini yang menghasilkan anak-anak muda  yang egois, manja, tidak mandiri, malas, sibuk dengan berbagai permainan sia-sia dan tidak mau menjalankan berbagai kewajiban syariah.

Agar aqil dan baligh berjalan seiring, orangtua berkewajiban untuk mempersiapkan anak mencapai tahap tersebut dengan sebaik-baiknya.  Beberapa poin penting untuk mengantarkan anak pada kedewasaan adalah :

1.      Menanamkan keimanan yang kuat pada anak.  Dari kecil, anak sudah diperkenalkan kepada Penciptanya melalui berbagai tanda kebesaran-Nya yang terindera.  Anak diajarkan untuk memahami hakekat hidupnya, darimana ia berasal, tujuan ia hidup di dunia, dan akan kemana ia setelah mati.  Anak diajak untuk merasakan berbagai nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, sehingga tumbuh cintanya kepada Allah.

Target dari proses pemahaman ini adalah anak paham (bukan hanya sekedar tahu) bahwa keterikatannya pada aturan Allah adalah wujud dari keimanan dan bukti rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan Nya. Diharapkan anak melakukan apapun perintah Allah dengan suka rela dan jauh dari keterpaksaan.

2.      Melatih dan Membiasakan Anak Menjalankan Perintah dan Menjauhi Larangan Allah.

Proses ini dilakukan sedini mungkin dengan pembiasaan, keteladanan, dan membangun pemahaman anak.  Abdullah bin Habib menuturkan, Nabi saw pernah bersabda : “Jika seorang anak telah mengetahui (membedakan) tangan kanannya dari tangan kirinya, maka latihlah ia menunaikan shalat” (HR Thabrani).  Begitupun Rasulullah saw memerintahkan untuk menyuruh anak shalat di usia tujuh tahun dan memukulnya bila ia tidak mau menjalankan shalat di usia 10 tahun.

Tidak hanya shalat, anak juga dibiasakan dan dididik dengan melakukan berbagai ibadah dan amal sholeh yang lain seperti membaca Qur’an, berzakat, bershadaqoh, menolong sesama,menutup aurat dsb.  Anak juga diajarkan mana perbuatan-perbuatan yang harus ia tinggalkan, seperti berdusta, menyakiti orang lain, memaki,mencuri, sombong dan sebagainya.

3.      Mengajarkan Tanggung Jawab.  Anak dilatih dengan memberikan berbagai tugas dan tanggung jawab sesuai dengan perkembangan usianya.  Anak dikenalkan konsekuensi dari menjalankan atau mengabaikan tanggung jawab dengan system reward and punishment, imbalan dan sanksi yang tepat.  Dengan demikian saat baligh, anak tidak lagi tergantung kepada orang lain dan terbiasa untuk memikirkan konsekuensi dari perbuatannya.

4.      Membantu Anak untuk Mencari Identitas Diri.  Dari kecil anak dipahamkan bahwa ia adalah seorang muslim, dan ditumbuhkan kebanggaannya sebagai muslim dengan menceritakan berbagai kisah kebesaran Islam.  Bantu anak untuk mencari sosok yang layak untuk ia teladani dengan mengajarkan sirah Rasul, sejarah para shahabat dan para pejuang muslim.

5.      Mengajarkan kepada Anak tentang Tanda Baligh dan Konsekuensinya

Itulah beberapa poin yang bisa dilakukan oleh orangtua dan keluarga dalam mempersiapkan anak memasuki masa baligh dengan sekaligus mencapai tahap aqil.  Dengan tercapainya dua tahap ini secara bersamaan, maka tidak ada alasan untuk menunda kedewasaan sampai usia 18 tahun.

Tanggung Jawab Masyarakat dan Negara

Pendidikan anak tidak dapat semata-mata dilakukan oleh keluarga.  Ada banyak tantangan, yang keluarga tidak mampu untuk mengatasinya.  Lingkungan pergaulan yang buruk, maraknya peredaran miras dan narkoba, derasnya tayangan porno, merebaknya pemikiran yang sesat-menyesatkan, semua itu tidak akan mampu untuk diatasi oleh keluarga.

Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna.  Ini karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang menjauhkan anak dari tindak kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan hukum tersebut.

Rasulullah saw bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara :

“Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)

“Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (Hr Muslim dan Ahmad)

Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap warganegara dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan (lihat Sistem Ekonomi Islam, Taqiyuddin An Nabhani, hal 70-74).

Dengan jaminan seperti ini, para ayah diberikan kesempatan kerja untuk mencukupi nafkah keluarga.  Para ibu dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai pendidik anak-anak di rumah sehingga bisa berkonsentrasi mencetak anak-anak yang berkualitas.

Begitupun negara membentengi aqidah dan akhlak anak dengan melarang peredaran miras, narkoba, produk-produk yang bermuatan pornografi, dan seluruh pemikiran sesat yang merusak.  Negara juga menjamin pendidikan berkualitas bagi anak dan seluruh warga untuk membentuk aqidah, kepribadian dan karakter keilmuan berlandaskan Islam.

Tidak hanya tindakan preventif, negara juga menerapkan hukum pidana Islam sebagai tindak represif.  Dengan penerapan tegas hukum-hukum ini, setiap muslim yang sudah baligh terkena sanksi saat melakukan tindak kriminal.  Fungsi hukum yang seperti ini adalah mencegah jatuhnya korban dan sekaligus membentengi setiap warganegara untuk tidak melakukan kejahatan ketika imannya sedang menurun.

Masyarakat juga memiliki tanggung jawab dalam mencegah munculnya kasus kejahatan anak.  Mereka berkewajiban melakukan kontrol sosial, baik kepada individu anggota masyarakat maupun  mengoreksi kesalahan negara.

Dengan tegak dan saling bersinerginya tiga pilar ini, yakni keluarga, masyarakat dan negara, maka masalah kejahatan anak, bahkan seluruh warganegara, dapat teratasi.  Terbentuklah masyarakat yang bertaqwa, berakhlak mulia, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan Islam ke seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*