Muhammad Bajuri
Pengantar
Khalifah adalah kepala negara Islam, yang disebut juga dengan Amîrul Mu’minîn (pemimpin kaum beriman) dan al-Imâmul A’dzam (pemimpin tertinggi). Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta tidak ada seorang pun yang menyekutuinya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:
فَاْلإِمَامُ الأَعْظَمُ الذِّي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
“Pemimpin tertinggi (al-Imâmul A’dzam) masyarakat adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Artinya semua urusan yang terkait dengan pemeliharaan urusan rakyat dan negara merupakan kewenangan al-Imâmul A’dzam (pemimpin tertinggi), yakni Khalifah. Oleh karena itu, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh berkata: “Asas Daulah Islam adalah Khalifah. Sedang yang lainnya adalah wakil Khalifah atau tim penasihat (mustasyâr) baginya. Dengan demikian, Negara Islam adalah Khalifah yang menerapkan sistem Islam.” (an-Nabhani, ad-Daulah al-Islâmiyah, hlm. 231).
Lalu, Khalifah ini mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya yang begitu besar dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta dalam penerapan sistem Islam?
Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 24, yang berbunyi: “Khalifah mewakili umat dalam pemerintahan dan penerapan syariah.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 124).
Terkait dengan Khalifah ini mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta dalam penerapan sistem Islam, maka dalam hazanah pemikiran Islam kita temukan pendapat-pendapat ulama sebagai berikut:
Khalifah Wakil Allah
Ini adalah pendapat sebagian ulama, di antanya az-Zujad, seperti yang dikatakan Ibnu Mandzur dalam “Lisânul Arab” bahwa boleh para imam (Khalifah) disebut dengan para wakil (pengganti) Allah di muka bumi. Dalilnya adalah firman Allah: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu Khalifah di muka bumi.” (TQS. Shad [38] : 26). Bahkan berdasarkan firman Allah: “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (TQS. Al-An’am [6] : 165), ada sebagian ulama yang membolehkan Khalifah dipanggil dengan: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” (Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 25).
Sementara al-Baghawi membolehkan sebutan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah itu hanya kepada Nabi Adan dan Dawud-‘alaihimâs salâm-saja, tidak untuk selain keduanya. Beliau berkata: “Dan tidak seorang pun dinamakan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah sesudah keduanya.” (al-Qalqasyandi, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/8).
Sedang al-Imam az-Zamakhsyari memboleh sebutan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah itu kepada semua Nabi selain keduanya. Ketika menjelaskan firman Allah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.“(TQS. Al-Baqarah [2] : 30), Beliau berkata: “Firman Allah ini boleh diartikan dengan wakil atau pengganti-Ku (khalîfah minni), sebab Adam itu khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah di muka bumi, begitu juga setiap Nabi.” (az-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, 1/271).
Pendapat bahwa “Khalifah wakil Allah” ini lemah, dan penggunaan ayat-ayat tersebut sebagai dalil bukan pada tempatnya. Sebab pembahsan di sini tentang sandaran jabatan Khilafah, yakni “Kepemimpinan umum bagi semua kaum Muslim di dunia guna menerapkan syariah Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia”, bukan tentang Khalifah secara mutlak. Jadi, masalahnya berbeda.
Oleh karena itu, mayoritas ulama melarang sebutan tersebut, bahkan orang yang mengatakannya disebut fâjir (pelaku maksiat). Mereka berkata: “Khalifah itu menggatikan orang yang tiada atau meninggal, sedang Allah tidak ghaib dan tidak meninggal.” Khalifah Abu Bakar menolak ketika dikatakan kepadanya: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” Abu Bakar dengan tegas berkata: “Aku bukan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah, namun aku pengganti Rasulullah.” (al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 15). Begitu juga Umar bin Khattab, dalam hal ini, beliau bersikap tegas menolak sebagaimana Abu Bakar. Sikap tegas Abu Bakar dan Umar menunjukkan bahwa telah ada Ijma ‘ Sahabat yang melarang penamaan pemimpin negara Islam dengan sebutan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah.
Dengan begitu, gugurlah hujjah mereka yang berpendapat bahwa Khalifah adalah wakil Allah (khalîfatullâh). Khalifah bukan wakil Allah, apapun alasannya. Sehingga penggunaan sebuat “khalîfatullâh” secara mutlak tidak boleh berdasarkan syariah (al-Khalidi, Qawa’id Nidzam al-Hukmi fil Islam, hlam. 232).
Khalifah Wakil Nabi Saw
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Ibnu Khaldun, Abu Ya’la, al-Mawardi, al-Baidhawi, Aduddin al-Iji, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 231). Mereka menggunakan sebutan Khalifah kepapa setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim, sebab ia menggantikan Rasulullah dalam mengurusi umatnya. Sehingga setiap Khalifah disebut dengan “Khalifah Rasulullah, pengganti Rasulullah”. Oleh karena itu mereka sepakat bahwa “Imamah itu dibuat untuk khilafah nubuwah (kepemimpinan Nabi) dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” (al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 5).
Dalil mereka yang berpendapat bahwa Khalifah wakil Nabi adalah perkataan Abu Bakar. Ketika dikatan kepada Abu Bakar: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” Abu Bakar dengan tegas berkata:
لَسْتُ بِخَلِيْفَةِ اللهِ، وَلَكِنيِّ خَلِيْفَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku bukan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah, namun aku pengganti Rasulullah Saw.” (al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 14/355).
Pendapat ini juga lemah karena tidak didukung oleh dalil yang kuat. Sebab jelas sekali dengan mengkaji fakta sejarah bahwa Abu Bakar bukan wakil Nabi Saw. Bahkan tidak ada satu pun nash yang menujukkan bahwa Rasulullah mengangkat Abu Bakar untuk menggantikannya dalam mengurusi semua urusan kaum Muslim. Akan tetapi, Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah memalui proses pemilihan yang dilakukan kaum Muslim di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau benar-benar menjadi Khalifah dengan baiat kaum Muslim. Sebab syara’ telah menjadikan kekuasaan di tangan umat, sehingga umat dapat membaiat siapa saja yang dikehendaki untuk mewakilinya dalam kekuasaan (Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 27).
Sementara perkataan Abu Bakar “Khalîfah Rasulullah” adalah majazi bukah sesungguhnya. Dalam arti bahwa beliau datang setelah Rasulullah dalam mengurusi urusan kaum Muslim, dan beliau tidak menjadi Khalifah karena diangkat Nabi Saw untuk menggantikannya. Jika tidak demikian, tentu Umar, Utsman dan Ali disebut dengan “Khalîfah Rasulullah“. Namun hal ini tidak pernah terjadi sama sekali, dan tidak seorang pun mengatakannya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233).
Khalifah Wakil Khalifah Sebelumnya
Al-Qalqasyandi berkata: “Sesungguhnya jabatan Khilafah itu terkadang didapat oleh seorang Khalifah dari Khalifah sebelumnya.” Sehingga dikatakan Fulan menggantikan Fulan secara berurutan hingga berakhir pada Abu Bakar radhiyallâhu ‘anhu. Lalu, beliau disebut dengan “Khalîfah Rasulullah Saw“. Karenanya di awal berkuasa, Umar dipanggil dengan “Khalîfah Khalifah Rasulullah Saw“. (al-Qalqasyandi, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/6).
Ketika menjelaskan firman Allah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.“(TQS. Al-Baqarah [2] : 30), ath-Thabari berkata: “Khalifah yang sesungguhnya berasal dari perkataanmu, Fulan menggantikan Fulan dalam perkara ini ketika ia menjalankan perkara itu sesudahnya. Dari sini, maka Penguasa Tertinggi (as-Sulthân al-A’dzam) disebut dengan Khalifah, sebab ia menggantikan penguasa sebelumnya. Kemudian ia menduduki kekuasaan menggantikannya. Dengan demikian, ia khalifah (wakil atau pengganti) sebelumnya.” (ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, 1/153 ).
Mereka yang berpendapat dengan pendapat ini sama sekali tidak memiliki hujjah, baik al-Qur’an maupunn al-Hadits. Mereka memahami hal itu hanya berdasarkan pada pengertian kata “khalîfah” menurut bahasa. Padahal arti bahasa saja tidak cukup dalam hal ini. Sebab masalahnya terkait dengan kepemimpinan negara tidak dengan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf), dan tidak pula dengan sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd), sehingga dikatakan bahwa Khalifah adalah wakil Khalifah sebelumnya. Apalagi, sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd), dan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf) tidak diakui dalam sistem pemerintahan Islam, bahkan sangat bertentangan. Sebab dalam sistem pemerintahan Islam kekuasaan berada di tangan umat, bukan di tangan khalifah. Dengan demikian pendapat ini pun tertolak sebagaimana pendapat-pendapat sebelumnya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233; Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 26).
Khalifah Wakil Umat
Pendapat ini adalah pendapat yang râjih (kuat), sebab Khalifah itu bukan wakil Allah SWT, bukan wakil Nabi Saw, dan tidak pula terbayangkang secara syar’iy dan akal bahwa Khalifah adalah wakil dari Khalifah sebelumnya. Khalifah tidak lain adalah wakil umat bukan yang lainnya. Umat yang membaiat Khalifah untuk memimpin pemerintahan dan kekuasaan menggantikan atau mewakilinya. Mengingat, umat dituntut untuk menerapkan hukum Islam, menegakkan hudûd (sanksi hukum pidana), menyiapkan tentara, berjihad, menaklukkan negeri dan lain-lainnya. Allah SWT berfirman:
﴿ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ﴾
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (TQS. An-Nisâ’ [4] : 58).
Dan firman-Nya:
﴿ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا ﴾
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (TQS. Al-Mâidah [5] : 38).
Allah SWT berfirman:
﴿ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ﴾
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya.” (TQS. At-Taubah [9] : 36).
Dan firman-Nya:
﴿ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ ﴾
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (TQS. Al-Anfâl [8] : 60).
Khithâb atau seruan dalam ayat-ayat tersebut ditujukan pada umat. Sebab kekuasaan berada di tangan umat. Akan tetapi, syara’ mengharuskan Khalifah saja yang memiliki otoritas menerapkan hukum Islam mewakili umat. Dengan demikian, realitasnya bahwa Khalifah adalah wakil umat dalam kekuasaan dan penerapan syariah Islam. Mengingat seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali dengan dibaiat oleh umat, maka baiat ini saja sudah cukup menjadi dalil bahwa Khalifah adalah wakil dari umat (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 234; Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 28; dan An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).
Dengan ketentuan UUD negara Islam pasal 24 ini, maka terjawab sudah kekhawatiran sebagian orang bahwa Khalifah yang insya Allah tidak lama lagi akan terwujudkan akan memimpin dengan sewenang-wenang dan diktator. Sebab Khalifah itu tidak memiliki kekuasaan, dan pemilik kekuasaan adalah umat. Keberadaa Khalifah tidak lain hanyalah menjadi wakil umat. Sehingga umat dapat mengambil kembali kekuasaannya, kapanpun umat mau ketika Khalifah tidak lagi bisa menjaga amanahnya. WalLâhu a’lam bish-shawâb.
Daftar Bacaan
Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu al-Fadhal Jamaluddin, Lisânul Arab, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizâmul Hukm fil Islâm, (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H /Pebruari 1995 M.
Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habin al-Bashri al-Baghdadi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr), Cetakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Ad-Daulah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid, Tafsîr ath-Thabari, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), Cetakan I, 2000.
Al-Qalqasyandi, Ahmad bin Abdullah, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, (Kuwait: Mathba’ah Hukumah al-Kuwait), Cetakan II, 1985.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al-Anshari Abu Abdillah, Tafsîr al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), tanpa tahun.
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Dar al-Fikr), tanpa tahun.