Menurut penelitian ICW, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari pos APBN disalahgunakan untuk membiayai kampanye pemilu kepala daerah.
Indonesian Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun lalu melakukan penelitian di empat kabupaten dan provinsi yang baru saja melaksanakan pemilukada. Hasilnya, korupsi melingkar di daerah terjadi lewat penggunaan dana raksasa dari berbagai sumber; termasuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari pos APBN.
Riset evaluasi dilakukan ICW di Kabupaten Pandeglang dan Kota Jayapura, serta pemantauan pemilukada di Kabupaten Kampar, Riau dan Provinsi Banten. Secara umum, mayoritas kandidat adalah politisi yang sekaligus pengusaha.
Tidak ada transparansi penggunaan anggaran, karena sebagian besar kandidat ‘menyembunyikan’ total dana kampanye dari perusahaan dan pengusaha pendukungnya. Hal ini diungkapkan oleh peneliti ICW, Ade Irawan, di kampus Universitas Paramadina, Jakarta , Selasa.
Modal utama para kandidat, kata Ade, terbanyak berasal dari dana pribadi dan keluarga, serta pengusaha lokal yang bergantung dari dana-dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain itu, modal pemenangan berasal pula dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat.
“Bukan cuma dana APBN yang dibajak (bansos dan hibah), tetapi dana APBN yang populis pun digunakan seperti dana BOS dan DAK. Seperti di Banten dana BOS dibuat buku yang sampulnya Ibu Gubernur (Ratu Atut Chosiyah) dengan pesan kecil dan gambarnya besar. Di Pandeglang bahkan ada instruksi dari Sekretaris Daerah (Sekda) agar dana BOS digunakan untuk membuat baliho di sekolah dengan pesan-pesan kampanye incumbent. Di Pandeglang, dana CSR (Corporate Social Responsibilty) Bank Jabar pun dibelikan sarung bergambar bupati,” ungkap Ade Irawan.
Sedangkan dari hasil pemantauan di Jayapura, Pemilukada yang berlangsung Oktober 2010 dan diulang karena terdapat sengketa pada Fenruari 2011, dimenangkan oleh pasangan politisi pebisnis Benhur Tommy Mano dan Nur Alam.
Peneliti ICW Apung Widadi mengatakan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jayapura sama sekali tidak netral.
“Di Jayapura, baik KPUD maupun Panwaslu itu tidak bekerja secara maksimal bahkan cenderung larut dalam kepentingan elit politik lokal. Ketua KPU dan Sekretarisnya dipenjara, dua anggota Panwaslu dipenjara. Ini ‘ kan sudah menandakan kredibilitas mereka dirusak oleh elit (politik) di sana,” ujar Apung Widadi.
Sama dengan tiga daerah lainnya, politik uang dan sumber-sumber ekonomi yang dikuasai elit politik lokal yang sekaligus pebisnis, masih jadi persoalan khas. Bedanya, politik uang tidak diberikan perorangan melainkan per-desa atau per-kampung.
Apung Widadi menambahkan, “Mungkin kalau di kita politik uang itu dibagi ke rumah-rumah terus memberikan uang, tetapi kalau di Jayapura itu satu truk, orang satu kampung itu di-drop ke TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara).”
Pro kontra pemilukada langsung sejak lama dibicarakan karena sering menimbulkan sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi dan kerusuhan massal di beberapa provinsi dan kabupaten/kota.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman, mengatakan bahwa dari hasil evaluasi setahun terakhir, pemilukada dengan biaya tinggi tetap tidak terelakkan.
“DPD masih melihat dengan demokrasi yang berkembang di tengah kemajuan teknologi sekarang ini, tentu pilihan langsung masih jadi pilihan. Tapi dengan catatan, supaya efisiensi itu bisa dilakukan, misalnya dengan penyeragaman pelaksanaan Pemilukada yang serentak pada tingkat provinsi, seperti yang pernah dilakukan di Sumatera Barat, sehingga biayanya bisa ditekan sampai separuh,” demikian penjelasan Irman Gusman. (voanews.com, 14/2/2012)