Muslimah HTI Yogyakarta: Khilafah, Solusi Tuntas Seks Bebas
HTI Press. Masih Pantaskah Yogyakarta Menyandang Predikat sebagai kota Pendidikan dan Budaya? Pertanyaan ini dilontarkan oleh pemandu diskusi terbatas yang bertema “Seks Bebas Makin Merebak, di Mana Peran Keluarga Masyarakat dan Negara?” pada Ahad (12/2) di Aula TK Taruna Al-Qur’an Kompleks Pondok Pesantren Taruna Al-Qur’an, Yogyakarta.
Fakta seks bebas di Yogyakarta sungguh memprihatinkan. Sebut saja dua contoh kasus yang belum lama terjadi, yaitu pesta mesum yang dilakukan oleh 7 laki-laki dan 2 perempuan usia remaja SMA di Hutan Semampir, Semugih, Rongkop, Gunungkidul. Bahkan pesta ini diabadikan dengan ponsel (kompas.com, 1/2/2012). Razia Polres Bantul di Pantai Parangkusumo, Bantul, mendapati oknum 5 PNS sedang berada di kamar dengan selingkuhannya (jogjatv.tv/ 18/3/2011). Itu baru dua kasus. Belum lagi dengan banyaknya kasus HIV/AIDS yang terjadi. Menjamurnya tempat-tempat hiburan penyedia sarana-sarana yang memudahkan seks bebas turut andil dalam meingkatnya jumlah pelaku seks bebas.
Masalah ini dianalisis oleh 8 narasumber yang terdiri dari praktisi pendidikan, intelektual muda, praktisi kesehatan dan Muslimah HTI Provinsi DIY. “Mata pelajaran agama Islam yang hanya 2 jam pelajaran seminggu dan dalam kuasa pendidikan sekuler, tidak akan mampu membendung pengaruh multimedia yang menjadi sarana menuju seks bebas” demikian ungkap Tumiyati, praktisi pendidikan. “Maka keluarga harus menanamkan akidah yang kuat pada anak.” lanjutnya. Sementara itu, menurut intelektual muda W. Riski Fitriandini, S.Si., undang-undang Indonesia sekarang ini penuh dengan masalah dan kontradiksi. Sanksi yang ditetapkan oleh undang-undang Indonesia tidak membuat jera pelaku seks bebas. “Kasus Ariel dan Luna Maya, yang dijerat dengan UU Pornografi pasal 27, Ariel hanya dijatuhi hukuman 3,5 tahun.” papar Riski. “Masyarakat juga dengan mudahnya “memaafkan” kasus ini.” lanjutnya. Meti Astuti, SEI., MEK. selaku dosen dan aktivis Muslimah HTI mengungkapkan bahwa undang-undang yang bermasalah juga terjadi di negara-negara lain. “Undang-undang yang kontradiktif merupakan hasil ratifikasi dari konvensi-konvensi yang diselenggarakan oleh negara-negara di dunia.” ungkapnya. “Jadi, tata perundang-undangan yang ada merupakan hasil konspirasi global.” kata Meti Astuti. Sementara itu, Direktur RSKIA Sakinah Idaman, Dra. Sri Muslimatun Damanhuri, M. Kes lebih banyak mengungkapkan fakta-fakta akibat seks bebas yang ditemukan di rumah sakitnya.
Solusi pemerintah berupa pendidikan sekuler, dan undang-undang tersebut terbukti tidak menyelesaikan permasalahan seks bebas. Tidak efektif karena solusi tersebut berasal dari kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, Pimpinan Muslimah HTI Daerah Yogyakarta, Siti Eulis Munaesih, SS. menyatakan bahwa harus ada sinergi untuk menyelesaikan permasalahan seks bebas ini dari keluarga, masyarakat dan negara. “Keluarga hendaknya menanamkan aqidah Islam yang kuat pada anak serta memberikan perhatian dan kontrol terhadap pembentukan kepribadian anak.” paparnya. Lebih lanjut, masyarakat memberikan kontrol sosial pada individu-individu di dalamnya dan terhadap negara. Negara hendaknya mampu menutup akses munculnya seks bebas, mewujudkan sistem pendidikan yang integral, memberi sanksi tegas bagi para pelaku seks bebas. “Negara yang mampu menyelesaikan permasalahan seks bebas dengan tuntas adalah negara yang menerapkan syariah Islam yaitu Khilafah Islamiyah.” tegas Siti Eulis Munaesih.
Forum diskusi terbatas berjalan dengan perhatian penuh dari 25 peserta dari kalangan praktisi pendidikan, ormas, dan praktisi kesehatan. Launching Komunitas Perempuan Peduli Keluarga oleh Muslimah HTI DPD I HTI Provinsi DIY mengakhiri diskusi terbatas ini.[] MHTI DIY