Praktik Aborsi Mengkhawatirkan Nasib Generasi
Kasus-kasus aborsi yang direkam Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) membuat kita miris. Kasus aborsi mulai 2008 hingga 2010 terus meningkat. Ironisnya, 62 persen pelakunya melibatkan anak-anak di bawah umur. Diperkirakan selama kurun waktu tersebut, kenaikan angka kasus aborsi rata-rata 15 persen setiap tahunnya. Pada 2008 ditemukan ada 2 juta jiwa anak korban aborsi. Tahun berikutnya, anak korban aborsi bertambah 300 ribu jiwa. Pada 2010, bertambah lagi 200 ribu jiwa.
Kasus aborsi semakin mencolok di kota-kota besar. Yang paling mencengangkan adalah lebih dari separuh pelaku aborsi adalah anak di bawah umur. Anak-anak ini baru berumur kurang dari 18 tahun. Praktik aborsi yang paling dominan, sekitar dilakukan 37 persen pelakunya adalah dengan cara kuret atau pembersihan rahim, 25 persen melalui oral dengan meminum pil tertentu dan pijatan, 13 persen dengan cara suntik, dan 8 persen dengan cara memasukkan benda asing ke dalam rahim. Selain itu juga ada cara jamu dan akupuntur.
Melonjaknya angka abrosi, terutama yang melibatkan anak-anak di bawah umur tak bisa dilepaskan dari maraknya tayangan yang berbau pornografi. Dengan tayangan ini, anak-anak teransang untuk melakukan hubungan seks sebelum nikah. Akibat dari perbuatan ini si anak perempuan akhirnya hamil di luar nikah. Jika sudah demikian, untuk menutupi aib tersebut, aborsi kemudian dianggap solusi.
Data Komnas PA menyebut maraknya tayangan pornografi ini, diperkirakan ada sekitar 83,7 persen anak kelas IV dan V sudah kecanduan nonton film biru. Survey lain menyebut 62,7 persen remaja Indonesia sudah tidak perawan. Remaja itu rata-rata usia SMP dan SMA. Bahkan, 21,2 persen remaja putri di tingkat SMA pernah aborsi. Sebanyak 15 juta remaja puteri mengalami kehamilan dan 60 persen diantaranya berusaha aborsi.
Aborsi bisa menyeret dampak negatif bagi individu pelakunya. Secara medis, bisa menimbulkan pendarahan, infeksi rahim, anak cacat akibat penggunaan obat yang salah, yang semuanya bisa menimbulkan risiko-risiko seperti keguguran pada kehamilan selanjutnya, kemandulan bahkan kematian.
Fenomena Gunung Es
Aborsi memang merupakan fenomena gunung es, yang terlihat di permukaan hanya sedikit namun jumlah kasus yang sebenarnya sangat banyak. Jika ditelisik lebih jauh aborsi bukanlah masalah sederhana bagi pelakunya, namun biasanya dilatarbelakangi persoalan yang lebih kompleks, mulai dari alasan kehamilan yang tidak diinginkan akibat seks bebas, alasan perkosaan, alasan kesehatan ibu, hingga alasan sosial lainnya.
UU No 23/tahun 1992 tentang Kesehatan salah satunya mengatur tentang ketentuan aborsi. UU tersebut membolehkan aborsi selama ada indikasi medis, di antaranya jika kehamilan tersebut diteruskan bisa mencelakakan ibu atau khawatir bayi lahir dalam kondisi cacat. Namun yang terjadi saat ini, aborsi lebih banyak dilakukan bukan lantaran kondisi medis di atas, melainkan sebagai upaya untuk menutupi aib akibat hamil di luar nikah, yang ironisnya ini terjadi di kalangan remaja putri yang notabene merupakan benih-benih generasi bangsa.
Aborsi adalah problem sistemik. Ia akan tumbuh subur dalam sistem dimana seks bebas (perzinahan) tidak diberikan hukuman bagi pelakunya sehingga saat terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, untuk menutupi aib maka aborsi menjadi pilihan. Ketika pelaku aborsi tidak dikenai sanksi, remaja semakin keranjingan seks bebas karena jika hamil toh mudah untuk melakukan aborsi.
Jika ditelisik, faktor yang berkontribusi terhadap maraknya seks bebas ada tiga, Pertama, faktor yang langsung seperti sarana yang merangsang, dan adanya alternatif pemenuhan seks yang bisa diakses oleh masyarakat. Kedua, faktor sistemik berupa UU yang membiarkan seks bebas, tidak adanya sangsi tegas bagi pezina, seks bebas justru dilokalisasi dan dijadikan pemasukan negara dan sistem pendidikan sekuler. Ketiga, adanya kebijakan tekanan kekuatan internasional seperti dalam konvensi kependudukan kesehatan reproduksi, Hak Asasi Manusia, dan sebagainya.
Sayangnya solusi yang ditawarkan saat ini adalah solusi yang menjerumuskan, dan mesti digantikan dengan solusi yang menuntaskan yaitu dengan menghilangkan paradigma yang mendasari munculnya seks bebas (liberalisme dan sekularisme), menanamkan pemahaman bahwa seks bebas adalah perbuatan keji, menghilangkan sarana yang akan merangsang, membangun sistem yang akan menerapkan UU untuk menghilangkan seks bebas dan menerapkan sangsi yang tegas, membebaskan dari tekanan global. Dan ini harus dilakukan bersama-sama pada setiap individu dan keluarga, masyarakat dan negara.
Pendapat yang menyatakan bahwa negara atau siapa pun tidak berhak turut campur dalam setiap urusan pribadi seseorang dengan dalih itu adalah Hak Asasi Manusia (HAM), maka itu adalah pendapat yang keliru. Terlebih negara. Negara wajib memberikan perlindungan terhadap masyarakat secara umum. Bukan hanya individu per individu. Sehingga apabila ada perilaku pada individu yang memiliki potensi akan menimbulkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat, negara wajib melakukan pencegahan di awal. Sebagai contoh adalah peredaran gambar/video porno yang saat ini masih merajalela. Selain harus membuat larangan terhadap pengedaran materi pornografi serta menghukum pelakunya, negara juga wajib memberlakukan larangan zina.
Begitu juga dengan pandangan bahwa pendidikan seks merupakan metode paling efektif untuk mencegah terjadinya seks bebas itu juga merupakan pandangan yang keliru. Karena jika demikian yang terjadi sebenarnya adalah menyerahkan kembali keputusan kepada individu. Padahal, sudah jelas kesadaran tiap individu berbeda satu sama lain. Sehingga dalam hal ini perlu ada kontrol dari masyarakat dan penegakan hukum oleh negara sebagai sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh individu juga sebagai pencegah bagi individu lain. Semua komponen bangsa harus bergerak. Karena kita sadar seks bebas jelas-jelas mengancam masa depan generasi muda. (Siti Nuryati)
Inilah buah ideologi Kapitalis sekuler. Memberi solusi bukan mensolusi, tapi malah menambah masalah baru yang lebih besar. Oleh karena itu mari kita berjuang untuk menerapkan syari’ah Islam dan menegakkan daulah Khilafah.