RUU Perlindungan PRT: Bukan Sekadar Pembelaan
Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasi Muslimah HTI)
Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional yang diperingati pada 15 Februari, berbagai aksi dilakukan sejumlah elemen masyarakat. Di antaranya meminta pemerintah segera menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT menjadi undang-undang. Pasalnya, sejak 2010 RUU tersebut tidak pernah dibahas dan macet di DPR.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) misalnya, mendesak pemerintah agar pemerintah meratifikasi konvensi kerja layak PRT di sidang perburuhan internasional, dan revisi UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri (Indopos, 15/2).
UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memang hanya mengatur mengenai pekerja dari sisi hubungan industrial. Tidak menjelaskan mengenai PRT. Padahal, berdasarkan data International Labour Organization (ILO), jumlah PRT di dalam negeri mencapai 10 juta lebih. Sedangkan di luar negeri mencapai 5 juta lebih.
Tidak adanya UU yang melindungi PRT, menyebabkan mereka rentan mendapat perlakuan tidak manusiawi. Seperti kekerasan oleh majikan, pemerkosaan, tidak mendapat upah sebagaimana mestinya, bahkan hingga pembunuhan. Namun, benarkah UU PRT akan menyelesaikan masalah?
REALITAS PRT
Realitas membuktikan, umumnya PRT ditempatkan dalam relasi subordinat, dimana majikan diposisikan lebih tinggi derajatnya dibanding PRT. Budaya patriarkis juga dituding menjadi penyebab hingga masyarakat kurang menghargai pekerjaan di sektor rumah tangga karena dinilai tidak produktif. Akibatnya, PRT cenderung diremehkan.
Kerja domestik kerumahtanggaan dianggap tidak membutuhkan keterampilan (skill), sehingga dinilai rendah. Misalnya, upah yang diterima jauh dari kelayakan, walaupun PRT itu bekerja hingga 15 jam setiap hari. Akomodasi yang menjadi hak mereka, seperti kamar pribadi yang layak dan sanitasi acap kali terabaikan. Merekapun tak hanya mengerjakan pekerjaan dengan spesialisasi tertentu saja, tetapi semua pekerjaan domestik menjadi beban mereka. Kondisi semakin parah bila majikan memperlakukan mereka melewati batas toleransi sosial, bahkan melakukan tindakan kriminal termasuk eksploitasi seksual.
Padahal PRT memberikan andil besar bagi perputaran roda ekonomi keluarga bersangkutan. Dalam kasus suami-istri bekerja (di luar rumah), mereka mampu menyelesaikan pekerjaannya secara profesional karena pekerjaan rumah tangganya telah dikerjakan oleh PRT. Karena itu PRT memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam sebuah keluarga.
Maka, tuntutan atas perlindungan bagi PRT wajar belaka. Diharapkan, selain menjadi pencegahan segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, pelecehan dan kekerasan terhadap PRT, RUU itu mampu menjadi pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai nilai yang setara dengan semua jenis pekerjaan lain. PRT terlindung dalam mewujudkan kesejahteraan, serta mengatur hubungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. Hanya, regulasi seperti apakah yang benar-benar mengangkat harkat pada PRT?
DRAFT USULAN
Usulan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diajukan JALA PRT antara lain berisi:
1. Hubungan kerja PRT dan Pemberi Kerja harus memiliki dasar hukum, bahkan PRT juga harus memiliki kuasa khusus yang berhak mewakili dirinya dalam membuat perjanjian kerja.
2. Perjanjian kerja memuat masa berlaku perjanjian, hak dan kewajiban PRT dan Pemberi Kerja, syarat dan kondisi kerja.
3. Setiap PRT berhak bebas dari segala bentuk kekerasan, intimidasi, tekanan, eksploitasi, kerja berbahaya. PRT juga berhak mendapat perlindungan.
4. PRT berhak mendapatkan upah, termasuk upah lembur, kenaikan upah pertahunnya, THR serta jaminan (kesehatan, melahirkan, hari tua, dan lain-lain), termasuk memberikan pesangon bila terjadi pemutusan hubungan kerja.
5. Menentukan waktu istirahat PRT selama jam dan waktu kerja, cuti; mempekerjakan PRT melebihi waktu kerja ideal harus dengan persetujuan PRT dan membatasi waktu kerja lembur.
6. Dalam kasus PRT meninggal dunia maka ahli waris PRT berhak mendapatkan hak-haknya sesuai yang diatur dalam perjanjian kerja.
7. Diusulkan pula mengenai Lembaga Kerja Sama Hubungan Kerja Rumah Tangga (LKHRT) yang dibentuk pemerintah dengan tugas mediasi dan pengawasan antara PRT dengan majikan. LKHRT terdiri dari Serikat Pekerja Rumah Tangga, perwakilan dari pengguna jasa, serta Dinas Tenaga Kerja dan Kantor Pemberdayaan Perempuan.
8. Pekerja anak harus mendapatkan ijin tertulis dari orang tua atau wali. Membatasi waktu kerja PRT anak termasuk memberikan kesempatan dan fasilitas pendidikan sesuai dengan pilihan PRT.
9. Setiap PRT berhak membentuk dan/atau menjadi anggota dan/atau pengurus serikat PRT.
10. Pemberi kerja dapat memutuskan hubungan kerja terhadap PRT dengan alasan PRT telah melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
11. Pemberi Kerja tidak dapat memutuskan hubungan kerja dengan alasan PRT: sakit, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi dan/atau serikat PRT,dan lain-lain. Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi calon PRT dan PRT yang memenuhi standar pendidikan nasional.
12. Bagi yang melanggar dapat diberikan sanksi Pidana penjara antara 1 bulan-15 tahun atau denda antara Rp.10,000,000,- – Rp. 600,000,000.
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi merespon draft yang disusun JALA PRT dengan beberapa revisi. Konsep draft revisi RUU PRT yang disusun Kemenakertrans ini berisi tiga hal pokok. Pertama, pengakuan bahwa PRT merupakan profesi dan karenanya perlu ada regulasi yang mengatur serta melindunginya. Kedua, perlindungan hak dasar PRT sebagai pekerja. Seperti jam kerja, upah hari libur, diperlakukan layak dan manusiawi.
Ketiga, penghargaan terhadap aspek-aspek sosial budaya tentang keberadaan PRT dengan majikan. Kebiasaan dan pola hubungan unik yang selama ini berjalan, diberikan pengecualian dalam UU PRT seperti abdi dalem di keraton, santri yang bekerja di pesantren serta mereka yang ngenger atau ikut keluarga sambil bersekolah. Kewajiban seorang PRT terhadap para majikan juga diakomodir di dalam draft revisi UU PRT. Agar perlindungan hak PRT di dalam draft revisi UU PRT, tidak akan memberatkan majikan.
AGENDA PESANAN?
Sekilas, draft di atas sungguh berpihak pada PRT. Namun, upaya legislasi RUU PRT tentu tidak lahir dari ruang hampa atau sekadar berangkat dari nurani yang tulus ingin mengangkat harkat dan martabat PRT yang notabene kebanyakan perempuan dan gadis belia.
Ini bisa ditelusuri darimana sumber inspirasi RUU PRT tersebut, yakni International Labour Organisation (ILO) sebagai organisasi resmi PBB untuk ketenagakerjaan. ILO memberi mandat agar setiap negara memperhatikan kesempatan bagi setiap perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kerja layak (decent work) dan produktif dalam kebebasan, kesetaraan, keamanan dan kemuliaan manusia.
Memperhatikan sejumlah bagian yang terkait dengan pekerja domestik dalam beberapa konvensi yang disusun ILO sejak 1949- 2006, dan juga sejumlah instrumen internasional lain ILO menuangkannya dalam konvensi internasional yang disebut sebagai Domestic Workers Convention.
Indonesia sendiri ikut mencanangkan Decent Work Country Programme (DWCP) 2006-2010 demi amanat pencapaian MDGs, Poverty Reduction Strategies (PRSs), The United Nations Development Assistance Framework (UNDAF) serta National Development Strategies. Dalam program tersebut ILO menjadikan isu utamanya adalah gender, tripartit, dialog sosial dan aksi normatif. Prioritas dan hasil yang diharapkan oleh DWCP di antaranya adalah menghentikan eksploitasi dalam pekerjaan, termasuk memberikan proteksi yang lebih baik khususnya bagi pekerja domestik/PRT.
Secara khusus agenda ini tidak dapat dipisahkan dari upaya mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender. Beberapa laporan sesi-sesi diskusi tentang Domestic Workers yang dilakukan ILO menunjukkan hal itu. Salah satunya adalah staff and technical support yang tergabung dalam The International Domestic Workers’ Network (IDWN) adalah bagian yang membidangi Gender& Equality and Trade Union Development. Latar belakang kemunculan konvensi tersebut tidak lepas dari pandangan bahwa PRT adalah bagian dari pekerjaan domestik. Sektor ini didominasi oleh perempuan dan gadis muda, yang banyak diantara mereka merupakan penduduk migran, atau berasal dari komunitas yang secara historis tidak diuntungkan.
Mengingat betapa banyak instrumen internasional beraroma gender yang digunakan dalam penyusunan konvensi tentang Domestic Workers, tak pelak lagi, pensahan RUU itu akan semakin menambah deretan undang-undang di Indonesia yang memudahkan aktualisasi ide-ide berbasis gender.
INVESTASI SOSIAL EKONOMI
Mengutip siaran pers yang dirilis Komnas Perempuan pada tanggal 31 Mei 2011, ada beberapa alasan penting mengapa Indonesia harus berada di depan memperjuangkan perlindungan PRT. Pertama PRT adalah penopang kerja publik melalui institusi domestik yaitu keluarga. Alasan kedua, pekerjaan rumah tangga menjadi tumpuan banyak perempuan karena mudah diakses dan menjadi alternatif pekerjaan. Paling tidak setiap tahunnya sekitar 600.000 – 700.000 perempuan Indonesia bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja sebagai PRT. Selain itu, banyak PRT yang menjadi orang tua tunggal dan atau penyangga ekonomi keluarga besar mereka.
Apalagi investasi sosial yang diharapkan kecuali menguatnya kesadaran tentang keadilan dan kesetaraan gender? Dalam kultur masyarakat urban yang menimpakan beban nafkah tidak hanya kepada suami tetapi juga pada istri, mereka menuntut istri untuk keluar rumah mengejar karier. Kondisi tersebut memaksa perempuan keluar rumah di pagi buta dan kembali pulang saat matahari telah tenggelam. Pada pundak sang bibi-lah urusan rumah dilimpahkan dan pada “si mbak” ditimpakan pengurusan anak.
Jika kemudian prestasi perempuan meningkat pesat secara akumulatif, imbasnya pada kenaikan GDI, GEM dan IPM yang selanjutnya akan menaikkan gengsi negara. Karena itulah kesejahteraan PRT, sang pahlawan keluarga harus terjamin kepentingan sosial ekonominya melalui RUU ini demi melejitnya peran publik perempuan karier. PRT aman, majikanpun tenang untuk mensukseskan agenda gender yang berkesetaraan dan berkeadilan.
Inikah yang disebut andil PRT sebagai tenaga-tenaga tak terlihat (invisible powers) yang memungkinkan berjalannya kehidupan ekonomi negara? Bagaimana dengan ‘hilangnya rasa bersalah” ketika urusan rumah tangga dan kebutuhan fisik (dan psikologis?) anak beres, maka tak jadi masalah jika para istri/ibu tetap ‘berkontribusi pada peningkatan kehidupan ekonomi keluarga dan negara? Tak menjadi persoalankah kelestarian posisi sebagai ibu yang mengawal kesuksesan rumah tangga dan generasi masa depan?
Investasi sosial lainnya adalah menguatnya jargon internasional tentang kesadaran terhadap kesehatan reproduksi. Pada draft RUU Perlindungan PRT yang diajukan JALA PRT, PRT berhak mendapatkan akses informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi, serta hak-hak lainnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan kehidupan seksual dan reproduksinya. Hasil reportase ILC sesi ke-9 tercantum rekomendasi tentang pekerja domestik berupa pengambilan langkah penghapusan diskriminasi terhadap pekerjaan dan profesi.
Negara anggota hendaknya konsisten dengan standar tenaga kerja internasional, di atas pertimbangan lainnya: (a)memastikan bahwa penyusunan tes medis terkait kebutuhan kerja memperhatikan prinsip kerahasiaan atas data pribadi dan privasi pekerja domestik; (b) mencegah setiap diskriminasi terkait tes tersebut, dan (c) memastikan bahwa tidak ada pekerja domestik yang perlu melakukan tes HIV maupun tes kehamilan, atau menyembunyikan status kehamilan/HIV-nya.
Apa yang dimaksud dengan mendapatkan akses informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi? Secara tersamar hal itu mengarah pada informasi yang terbuka tentang sex education. Patut disayangkan, informasi mengenai hal itu seringkali berkaitan dengan bagaimana melakukan hubungan seks dengan aman di luar pernikahan.
Standar tenaga kerja internasional juga harus memastikan agar calon PRT/PRT tidak perlu melakukan tes kehamilan atau HIV. Alasannya agar tidak terjadi diskriminasi terhadap calon PRT/PRT yang menderita HIV atau sedang hamil (di luar nikah?). Mengapa agenda ini ‘dipaksa” masuk dalam klausul RUU? Tentu untuk melempangkan jalan terciptanya iklim permisif terhadap kebebasan seksual, dengan dalih perhatian terhadap kesehatan reproduksi.
Inilah arus yang sedang digencarkan pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk kalangan PRT. KTT AIDS PBB baru berakhir 12 Juni 2011, pada saat yang sama festival gay Europride di Roma, Italia dimeriahkan oleh 300.000 orang! Tentu agendanya sama, menghilangkan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS, termasuk toleransi pada kaum yang berperilaku ganjil bak binatang.
Di sisi lain, diduga keuntungan ekonomi yang akan diperoleh Indonesia jika RUU ini disahkan, Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih baik di hadapan negara-negara yang mendatangkan TKW dari Indonesia. Pemerintah diharapkan akan ntensif melakukan pelatihan sesuai amanat RUU ini. Sehingga PRT, termasuk TKW makin profesional. Pengiriman TKW lancar, devisapun bertambah.
Aspek lain yang patut dicermati dalam rancangan RUU tersebut adalah urusan akad kerja dengan PRT seakan-akan dibawa ke arah industrialisasi. Rumah tangga diasosiasikan seperti pabrik, majikan dianggap sebagai pemilik perusahaan, hak kebebasan berorganisasi harus dengan wadah seperti serikat buruh, penentuan upah sesuai UMR, tersedianya jaminan sosial, bahkan mekanisme tripartit dan sanksipun ikut diadopsi.
Mungkinkah kondisi tersebut bisa diterapkan di Indonesia? Mengingat pengguna jasa PRT mayoritas adalah rumah tangga klas menengah? Tentu majikan akan berada pada posisi dilematis. Bagi perempuan karier tentu merepotkan jika tidak punya PRT, tapi jika tidak memenuhi ketentuan RUU itu akan mendapatkan sanksi. Satu-satunya cara adalah semakin keras mencari uang demi tertutupinya hak-hak PRT! Sebuah upaya kapitalisasi urusan rumah tangga.
Sesuatu yang seharusnya menjadi tanggungan negara, dilimpahkan secara penuh pada majikan. Seharusnya dengan jaminan kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi, dan sarana-sarana pelayanan publik yang baik dari negara, maka tak perlu aturan kontrak kerja antara PRT dan Pemberi kerja dibuat terlalu njlimet. Dalam prinsip Islam, kontrak kerja antara PRT dan Pemberi kerja tetap bisa mengakomodir keinginan kedua belah pihak sesuai prinsip akad, ikhtiar dan keridloan kedua belah pihak.
Masyarakat juga tak perlu mendengar lagi diskriminasi atau kekerasan yang menimpa PRT. Dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, ada qodli hisbah/muhtasib yang berpatroli untuk mengontrol dan menindak setiap pelanggaran syari’at. Setiap pelanggaran syari’at, termasuk kedzoliman terhadap PRT akan dianggap sebagai tindakan kriminal yang layak mendapatkan sanksi hukum.
Akhirnya, kita tetap harus mempertanyakan, benarkah bila RUU ini telah disahkan benar-benar kehipupan PRT terlindung? Ataukah nasibnya berakhir sama dengan sederetan UU yang telah ada di negri ini, menjadi mandul ketika berhadapan dengan kekuasaan dan uang. Memang tak bisa kita berharap perlindungan utuh terhadap seluruh masyarakat -tak hanya kalangan marjinal- bila payungnya adalah sisitem sekular yang penuh borok. Hanya pada satu hal kita berharap, sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta.(*)